Mohon tunggu...
Sri Magfirah Asyuni
Sri Magfirah Asyuni Mohon Tunggu... Administrasi - Silent Reader

Penulis diary, pembaca bebas, pemuja sains, pencinta lanskap, penikmat film, penyuka kopi, perindu syurga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sudut yang Sama

3 Februari 2021   22:24 Diperbarui: 3 Februari 2021   22:52 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usianya masih 20 tahun, ketika seluruh fasilitas umum di Inggris ditutup termasuk tempatnya berkuliah sebagai langkah antisipasi pemerintah untuk mencegah penyebaran wabah penyakit pes oleh infeksi bakteri yang terjadi pada tahun 1665. 

Dua tahun belajar di rumah, memberinya waktu untuk menyelesaikan sebuah jurnal matematika yang panjang dan hasilnya kini dapat dinikmati ketika mempelajari ilmu kalkulus.  Ia kemudian bereksperimen memanfaatkan cahaya yang masuk ke dalam kamarnya menggunakan prisma kaca dan menemukan penjelasan tentang teori optik.  

Tidak hanya itu, pohon apel yang tumbuh di balik jendela kamarnya memberi pencerahan tentang sebuah teori.  Ketika ia duduk di taman luar rumah, apel- apel berjatuhan mengenai kepalanya.  Kejadian itu menjadi peristiwa memorable bagi lahirnya teori besar dan bermanfaat hingga saat ini yang dikenal sebagai teori gravitasi.  

Kisahnya di tulis lengkap oleh Washington Post, sebuah media cetak yang besar masa itu.  Kini, sangat mudah menemukan nama, karya bahkan kisah hidupnya dalam mesin pencari digital dan buku-buku sains modern sekalipun karyanya lahir di periode klasik.  Ia dikenal dengan nama Isaac Newton.

Kisah Isaac Newton menjadi kisah yang diajarkan dan diceritakan berulang-ulang di banyak forum selama masa pandemi sejak bulan Oktober 2019 sebagai kisah yang inspiratif. Kisah yang membakar semangat para pencari ilmu agar tidak menjadikan pandemi sebagai alasan untuk berhenti belajar. Sebagai mahasiswi di level magister, kisahnya sangat menyentuh dan berkesan dilihat dari berbagai perspektif .

Bayangkan saja bagaimana semangat intelektual Isaac Newton saat itu. Di tengah wabah yang mengancam dan pembatasan sosial, ia tidak terpaku pada keadaan. 

Pikirannya tidak terpenjara di dalam kamar, namun mengembara, menjelajah mencari jawaban dari pertanyaan yang muncul. Tanpa perangkat teknologi ber-icon apel tergigit, tanpa akses ke mesin pencari google, tanpa ponsel pintar agar bisa tersambung dengan siapa pun di belahan bumi lain atau perangkat audio visual canggih untuk bereksperimen. Ia berkawan dengan buku dan lembar-lembar catatannya.  Bereksperimen dari balik kamar. Hingga akhirnya,  melahirkan karya besar untuk dipersembahkan kepada peradaban. 

Jika di era Isaac Newton, kampus benar-benar ditutup dan proses pembelajaran terhenti, berbeda halnya dengan yang terjadi saat ini. Di tingkat universitas, kebijakan pemerintah menutup seluruh kampus bukan berarti proses pembelajaran berhenti. Namun, pola pembelajaran diubah dari pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran virtual atau yang dikenal dengan nama pembelajaran daring (dalam jaringan). Hampir 100% pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan media online. 

Pilihan model pembelajarannya sangat beragam sesuai dengan kebutuhan pengguna.  Baik untuk dosen maupun mahasiswa.  Kontennya pun bervariasi tergantung jenis subjek yang dipilih.  Mengumpulkan materi untuk meyusun makalah, membuat essai, menulis resume ataupun mengerjakan tugas-tugas perkuliahan lainnya menjadi praktis. Tugas-tugas yang telah selesai dikumpulkan dalam bentuk soft copy, lalu dikirim kepada dosen hanya dalam hitungan detik. 

Sumber informasi terbuka luas sehingga tugas-tugas yang dibebankan dengan berbasis ilmu terapan menjadi lebih mudah. Beragam pilihan platform menawarkan akses pada setiap informasi terkait artikel, jurnal, tesis, buku hingga biografi para tokoh. Kemudahan mengakses informasi, menyebarkan, menyusun kembali, hingga membuat sesuatu yang baru menjadi produk sistem pendidikan di tengah pandemi.

Pola pembelajaran ini terasa sangat ideal jika ditinjau dari segi pemanfaatan waktu dan efisiensi tempat. Mahasiswa tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berpakaian rapi dari ujung kaki hingga ujung rambut.  Bahkan tidak perlu memakai minyak wangi, gel rambut, kaos kaki hingga tidak perlu keluar rumah membelah jalan menuju kampus.  Hanya perlu terlihat rapi sebatas setengah badan di depan layar laptop. Selain itu, waktu dan tempat pembelajaran bersifat fleksibel dengan syarat tidak ada kendala dalam mengakses internet.

Sayangnya, walaupun proses pembelajaran daring memberi kemudahan bagi mahasiswa, tetapi di sisi lain ada konsekuensi ekonomis yang harus dijalani. Sebelum pandemi saja, biaya pendidikan relatif mahal dan cenderung semakin mahal ketika pembelajaran daring dilaksanakan. Biaya yang dihabiskan untuk keperluan akses internet, melampaui anggaran yang dipersiapkan.  

Pendidikan memang bukan perkara kecil karena tujuan akhirnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang kemudian ingin ditukar dengan setumpuk uang receh. Tetapi besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh mahasiswa, khususnya di masa pandemi adalah perkara musykil lainnya. Lantas, jika seperti ini, siapa yang bertanggung jawab membayar mahalnya pendidikan ?

Ketersediaan jaringan internet yang tidak merata di seluruh wilayah dan gangguan terhadap akses jaringan jika cuaca sedang tidak bersahabat menjadi kendala tersendiri. Beberapa mahasiswa yang berdomisili di daerah tertentu, mengalami kesulitan mengakses jaringan internet. 

Mereka harus mencari sinyal dengan cara yang tidak biasa dan melakukan beberapa langkah ekstrim hingga bertingkah cukup menggelitik.  Memanjat pohon yang tinggi demi mendapatkan keleluasaan jaringan menjadi rutinitas selama kuliah daring diberlakukan. Atau mencari sinyal disaat hari sudah gelap karena konon, aksesnya lancar di waktu-waktu tersebut.  Belum lagi saat melakukan misi "uji nyali" dengan melewati area yang ditetapkan sebagai zona merah karena deadline  tugas yang mulai mencekik.

Layaknya dua mata pisau, kemudahan dalam akses informasi berdampak pada cepat dan maraknya penyebaran hoax.  Informasi salah yang dibagikan melalui sistem broadcast memberi peluang mengubah persepsi penerima lalu menganggapnya menjadi informasi faktual. 

Hiruk-pikuk berita palsu mengancam kemunduran ilmu pengetahuan mengingat jumlah pendidik dan peserta didik sebagai komunitas terbesar di lingkup pendidikan kerap mengakses berbagai macam media berbasis online. Banyak pihak yang memanfaatkan keadaan demi tendensi pribadi.  Berhati-hati dalam memilih informasi menjadi perkara krusial agar tidak terjebak dalam isu-isu sesat, khususnya dalam menyusun argumentasi ilmiah yang memerlukan data dengan tingkat akurasi tinggi. 

Komunikasi dua arah yang biasanya terjadi pada kuliah luring (luar jaringan) atau tatap muka, terasa berbeda ketika kuliah daring.  Sebagian besar dosen hanya akan memberikan sekilas materi pembelajaran dilanjutkan dengan pembagian tugas individu. Mahasiswa dituntut secara mandiri memahami materi sesuai interpretasi masing-masing dan mencari informasi pendukung berdasarkan kompetensinya.  Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam penafsiran materi. 

Terlebih lagi, sulitnya menjaga ruang diskusi tetap kondusif dikarenakan dosen kewalahan mengarahkan alur diskusi sementara ruang diskusi terlalu terbuka, argumen beragam dan tidak terkontrol.  Interaksi antara mahasiswa dan dosen melalui media virtual tidak menumbuhkan kedekatan secara emosional.  Dan berakhir pada hilangnya kesan ta'zim seorang murid kepada sang guru yang seharusnya menjadi pondasi dari hubungan keduanya. 

Harus diakui bahwa pandemi telah mengubah wajah pendidikan mulai dari sistem, pendekatan, pola, tujuan, infrastruktur, kebijakan, metode hingga kualitas pendidikan. Para praktisi pendidikan berpikir keras mencari solusi untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkannya. Sebagian kalangan sibuk mengecam pemerintah yang dinilai tidak siap dengan unpredictable condition, mengkritik arah kebijakan dan menolak pola adaptasi kebiasaan baru. Mereka fokus pada ruwetnya situasi yang ditimbulkan selama pandemi. 

Tidak ada satupun argumentasi yang meragukan relevansi antara pandemi dan krisis yang terjadi saat ini. Namun, jika melihat dari perspektif yang berbeda, kita bisa sedikit tersenyum karena ada sisi kehidupan yang berubah dan nilai yang bergeser. Pandemi memicu pendidik dan peserta didik untuk meningkatkan kemampuan intelektual demi beradaptasi pada sistem pendidikan yang berbasis digital.  

Para pendidik dituntut untuk berinovasi, berimprovisasi, berkreasi mengintegrasikan teknologi yang selama ini tidak dilakukan secara masif. Peserta didik bertransformasi menjadi lebih mandiri dan aktif dalam proses menganalisa pengetahuan dan mengkonversi ilmu. Siklus ini mungkin saja menjadi langkah awal dari lahirnya sebuah sistem pendidikan yang lebih berkualitas dan sejalan dengan salah satu program UNESCO yaitu learning to live together.

Konten kreator yang selama ini layaknya hanya menjadi pemain pengganti,  kini bertukar peran menjadi pemain utama. Jika tenaga medis menjadi garda terdepan dalam penanganan masalah kesehatan, di sektor pendidikan; konten kreator memegang peranan cukup vital. Sebelum pandemi, kreatifitas mereka diaplikasikan dalam ranah entertainment saja sedang dibidang lain hanya sekelumit. 

Kini, mereka menuangkan berbagai macam ide dalam bentuk platform digital sebagai sarana pembelajaran untuk semua jenjang pendidikan. Ide cemerlang mereka direalisasikan dalam bentuk konten edukasi dengan pilihan media yang berlimpah. Mulai dari berbagai macam media audio, media audio visual, media visual diam, media visual bergerak, website, aplikasi, blog hingga beraneka ragam media sosial. Proses ini juga menggerakkan roda perekonomian walaupun hanya dalam skala kecil namun berkontribusi besar untuk menjaga sektor pendidikan tetap survive. 

Protokol kesehatan social distancing yang diartikan sebagai tindakan menjaga jarak, memberi nilai lain bagi kehidupan sosial.  Secara fisik masyarakat menjaga jarak, namun realitanya kepekaan sosial justru semakin terasa.  Di banyak fasilitas umum, kesadaran budaya antri mulai terlihat yang sebelumnya masyarakat justru enggan menghargai satu-sama lain dalam garis antrian. Walaupun mereka melakukan demikian untuk melindungi mereka dari sebuah virus, tetapi hal tersebut menyiratkan kepedulian sesama. 

Di samping itu, berbagai kalangan berlomba-lomba melakukan aksi sosial dengan mengumpulkan donasi untuk membantu kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan akibat pandemi.  Sebagian lainnya mengedukasi masyarakat yang minim informasi terkait pandemi baik secara langsung maupun menggunakan media sosial.  

Di lingkup keluarga, para orang tua yang dulunya sibuk bekerja, kini memiliki banyak waktu di rumah bercengkrama bersama keluarga. Tetangga mulai saling bertegur sapa dari balik dinding, tradisi berbagi makanan di kompleks pemukiman kian marak dan semangat tolong-menolong dalam masyarakat semakin kental. 

Membicarakan pandemi, tidak hanya tentang cerita tragis, sadis dan krisis . Tetapi juga, ada value yang perlu kita apresiasi, yang lahir dari situasi pelik ini. Menelisik kembali kisah Isaac Newton, memberi kita sudut pandang lain untuk menyikapi situasi buruk.  Menghadapi pandemi saat ini beserta imbasnya, tidak harus menjadi sehebat Newton.  Tetapi, kita bisa berdiri di sudut yang sama, tempat Newton melihat dirinya kala itu.

Newton memilih untuk mengikuti hasrat intelektualnya dibandingkan diam di dalam kamarnya menunggu keadaan membaik. Begitupun dengan kita. Memilih bergerak melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang ada di pundak masing-masing dan melakukan hal-hal yang bermanfaat, atau hanya melihat dari balik kisi-kisi jendela rumah dan mulai mengeluhkan banyak hal. Jika merujuk pada prediksi WHO yang menyatakan bahwa pandemi akan berlangsung dalam hitungan dekade, maka ada baiknya kita bersiap menyingsingkan lengan baju lebih tinggi dari sekarang....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun