Sayangnya, walaupun proses pembelajaran daring memberi kemudahan bagi mahasiswa, tetapi di sisi lain ada konsekuensi ekonomis yang harus dijalani. Sebelum pandemi saja, biaya pendidikan relatif mahal dan cenderung semakin mahal ketika pembelajaran daring dilaksanakan. Biaya yang dihabiskan untuk keperluan akses internet, melampaui anggaran yang dipersiapkan. Â
Pendidikan memang bukan perkara kecil karena tujuan akhirnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang kemudian ingin ditukar dengan setumpuk uang receh. Tetapi besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh mahasiswa, khususnya di masa pandemi adalah perkara musykil lainnya. Lantas, jika seperti ini, siapa yang bertanggung jawab membayar mahalnya pendidikan ?
Ketersediaan jaringan internet yang tidak merata di seluruh wilayah dan gangguan terhadap akses jaringan jika cuaca sedang tidak bersahabat menjadi kendala tersendiri. Beberapa mahasiswa yang berdomisili di daerah tertentu, mengalami kesulitan mengakses jaringan internet.Â
Mereka harus mencari sinyal dengan cara yang tidak biasa dan melakukan beberapa langkah ekstrim hingga bertingkah cukup menggelitik.  Memanjat pohon yang tinggi demi mendapatkan keleluasaan jaringan menjadi rutinitas selama kuliah daring diberlakukan. Atau mencari sinyal disaat hari sudah gelap karena konon, aksesnya lancar di waktu-waktu tersebut.  Belum lagi saat melakukan misi "uji nyali" dengan melewati area yang ditetapkan sebagai zona merah karena deadline  tugas yang mulai mencekik.
Layaknya dua mata pisau, kemudahan dalam akses informasi berdampak pada cepat dan maraknya penyebaran hoax. Â Informasi salah yang dibagikan melalui sistem broadcast memberi peluang mengubah persepsi penerima lalu menganggapnya menjadi informasi faktual.Â
Hiruk-pikuk berita palsu mengancam kemunduran ilmu pengetahuan mengingat jumlah pendidik dan peserta didik sebagai komunitas terbesar di lingkup pendidikan kerap mengakses berbagai macam media berbasis online. Banyak pihak yang memanfaatkan keadaan demi tendensi pribadi. Â Berhati-hati dalam memilih informasi menjadi perkara krusial agar tidak terjebak dalam isu-isu sesat, khususnya dalam menyusun argumentasi ilmiah yang memerlukan data dengan tingkat akurasi tinggi.Â
Komunikasi dua arah yang biasanya terjadi pada kuliah luring (luar jaringan) atau tatap muka, terasa berbeda ketika kuliah daring. Â Sebagian besar dosen hanya akan memberikan sekilas materi pembelajaran dilanjutkan dengan pembagian tugas individu. Mahasiswa dituntut secara mandiri memahami materi sesuai interpretasi masing-masing dan mencari informasi pendukung berdasarkan kompetensinya. Â Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam penafsiran materi.Â
Terlebih lagi, sulitnya menjaga ruang diskusi tetap kondusif dikarenakan dosen kewalahan mengarahkan alur diskusi sementara ruang diskusi terlalu terbuka, argumen beragam dan tidak terkontrol. Â Interaksi antara mahasiswa dan dosen melalui media virtual tidak menumbuhkan kedekatan secara emosional. Â Dan berakhir pada hilangnya kesan ta'zim seorang murid kepada sang guru yang seharusnya menjadi pondasi dari hubungan keduanya.Â
Harus diakui bahwa pandemi telah mengubah wajah pendidikan mulai dari sistem, pendekatan, pola, tujuan, infrastruktur, kebijakan, metode hingga kualitas pendidikan. Para praktisi pendidikan berpikir keras mencari solusi untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkannya. Sebagian kalangan sibuk mengecam pemerintah yang dinilai tidak siap dengan unpredictable condition, mengkritik arah kebijakan dan menolak pola adaptasi kebiasaan baru. Mereka fokus pada ruwetnya situasi yang ditimbulkan selama pandemi.Â
Tidak ada satupun argumentasi yang meragukan relevansi antara pandemi dan krisis yang terjadi saat ini. Namun, jika melihat dari perspektif yang berbeda, kita bisa sedikit tersenyum karena ada sisi kehidupan yang berubah dan nilai yang bergeser. Pandemi memicu pendidik dan peserta didik untuk meningkatkan kemampuan intelektual demi beradaptasi pada sistem pendidikan yang berbasis digital. Â
Para pendidik dituntut untuk berinovasi, berimprovisasi, berkreasi mengintegrasikan teknologi yang selama ini tidak dilakukan secara masif. Peserta didik bertransformasi menjadi lebih mandiri dan aktif dalam proses menganalisa pengetahuan dan mengkonversi ilmu. Siklus ini mungkin saja menjadi langkah awal dari lahirnya sebuah sistem pendidikan yang lebih berkualitas dan sejalan dengan salah satu program UNESCO yaitu learning to live together.