Mohon tunggu...
Sri Lestari
Sri Lestari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Reader & Blogger

Never give up and always learrn to be better

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Widipa yang Lenyap Ditelan Malam

9 Maret 2022   14:52 Diperbarui: 16 April 2022   11:29 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabut itu tampak lekat, berpadu dengan gelap, membentuk selimut yang melekat dengan mesra. Tak ada terang benderang, hanya ada bias-bias cahaya matahari yang mengintip malu dari cakrawala. Tak ada bising percakapan, hanya ada gemercik dedaunan yang saling beradu satu sama lain. Tak ada jalan setapak, hanya ada semak belukar yang memenjara kaki. Sejauh apapun mata memandang, yang ada hanyalah hamparan hijau yang tumbuh lebat dan menjulang hingga ke awang-awang.

Kau tak pernah berpikir akan mengarungi belantara dengan sepasang kaki yang terus menjerit lelah. Kau memaksa kakimu terus menjelajah begitu dalam. Namun kau tak punya pilihan. Sebab kau tak mungkin berhenti sampai kau menemukan tempat yang bisa memberikanmu sebuah kehidupan. Di saat seperti ini kau berharap seekor capung tiba-tiba muncul di depanmu, menawarkan punggung dan mengantarmu hingga ke tujuan. Bidadari yang memberimu sepasang sayap untuk terbang. Atau kurcaci yang datang menghampirimu dan mengajakmu tinggal di gubuknya. Tapi tentu saja mustahil. Khayalan yang tak akan terwujud nyata. Hanya mimpi yang bisa membuatmu terlibat di dalamnya.

Bersama khayalan-khayalan itu kau terus melangkah. Dan saat bias cahaya semakin bertolak jauh ke awang, kau akhirya menemukan sebuah gubuk kecil. Letaknya tepat di pinggir sungai. Siapa yang membangunnya? Kau tak tahu. Jika bukan kurcaci mungkin saja hantu-hantu belantara yang tahu akan kedatanganmu.

Kini, belantara gelap telah berselimut dengan sebenar-benarnya gelap. Kau pun segera menyalakan api sebelum gelap menenggelamkanmu hingga membuatmu tak bisa melihat tanganmu sendiri di depan mata. Namun mempertahankan api agar terus menyala sepanjang malam adalah sesuatu yang sulit. Kau hampir frustrasi dan hampir saja melewati waktu hanya dengan berbaring sambil menunggu matahari terbit sebelum samar-samar kau melihat kilau keemasan yang berasal dari semak belukar beberapa meter di depanmu.

Api telah padam. Membantu penglihatanmu sehingga menunjukkan jika cahaya itu benar-benar ada. Ragu kau mendekat, mengintip melalui celah daun yang terbuka dan seketika kau melebarkan mata. Kau memastikan sekali lagi. Kali ini kau benar-benar terperangah. Pemandangan itu sungguh nyata.

Kau pun menyingkirkan semak-semak dengan membabi buta. Lalu segera saja kau menggali lubang di bawahmu lebih lebar dan masuk ke dalamnya. Dengan tegas matamu memberi tahu bahwa pemandangan di bawahmu ini sungguh benar adanya.

"Dia di bunuh karena tak bisa memberi keturunan."

Kau terperanjat mendengar suara yang muncul tiba-tiba. Kau hampir terjatuh menimpa makhluk-makhluk di bawah sana jika tanganmu tak sigap berpegang erat pada kedua sisi lubang yang baru saja kau gali.

"Kau siapa?" tanyamu terkejut.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kau siapa? Bagaimana bisa kau berada di sini?"

"Aku Widipa."

"Aku belum pernah melihat makhluk sepertimu."

Setelah memperhatikan lebih jelas, kau tahu bahwa yang berbicara denganmu saat ini adalah seekor kelelawar. Makhluk yang kau taksir berukuran sebesar kepala manusia itu menggantung terbalik pada akar pohon yang menyembul dari balik tanah. Tak ada perbedaan lebih dengan kelelawar yang biasa kau jumpai di atap rumah selain ukuran dan tentu saja karena makhluk satu ini mampu berbicara.

***

Di usir dari desa alasan kau mengasingkan diri. Seluruh penduduk di desa itu mengusirmu lantaran kau berulangkali kedapatan memburu aneka hewan liar dan menjualnya kepada pedagang asing demi meraup banyak keuntungan. Kau dianggap sebagai warga pendatang yang tak tahu diri. Warga mengecam tindakanmu karena dinilai merugikan mereka.

Namun kini kau bisa mengucap syukur. Karena hal itu rupanya mengantarkanmu pada pintu yang bernama keberuntungan, di mana kau menemukan hal besar yang tak kau kira sebelumnya.

"Semesta mengirimmu sebagai pemimpin kami."

Kau diangkat menjadi seorang raja di kerajaan bawah tanah. Memimpin ratusan kurcaci yang keberadaannya dulu hanya kau anggap sebuah khayalan belaka.

"Pertama-tama aku akan membentuk beberapa kasta."

"Kasta?" tanya salah satu kurcaci.

"Kelompok pertama adalah kasta pekerja. Kelompok pertama ini dibutuhkan untuk mengurus segala macam kebutuhan mulai dari mengumpulkan makanan dan menyediakan tempat tinggal."

"Siapa yang akan menjadi kelompok pekerja ini?"

"Kelompok yang pertama kali dilahirkan," jawabmu. "Berikutnya adalah kasta reproduktif. Kelompok ini bertugas menghasilkan keturunan. Mereka akan diberikan nutrisi terbaik oleh para pekerja."

"Bagaimana dengan para wanita yang tidak bisa menghasilkan keturunan?"

Pertanyaan itu tiba-tiba mengingatkanmu pada kejadian sebelum kau lompat dari lubang bentala.

"Para wanita itu tidak boleh dibunuh. Mereka akan ditugaskan membantu tugas kelompok pekerja dalam mengurus kebutuhan, yaitu merawat keturunan yang baru lahir dan melayani para prajurit."

"Prajurit?"

"Para laki-laki usia menengah hingga ke bawah akan dilatih menjadi kelompok prajurit yang bertugas untuk menjaga tempat tinggal dan seluruh penghuni kerajaan ini."

"Setuju," semua menyahut serempak.

Bagaimanapun kau dianggap sebagai malaikat tanpa sayap yang turun dari langit. Hanya satu sosok yang tahu bahwa kau adalah manusia benalu yang berasal dari semak belukar.

***

Pun kau tak pernah mengira akan ada kupu-kupu, capung, burung dan hewan bersayap lainnya bisa menjadi kendaraan. Para makhluk itu dengan sukarela akan menyodorkan punggungnya dan membawamu pergi ke mana saja. Kau kerap mengarungi lautan untuk menikmati keindahannya, menatap senja dengan begitu dekat, berpesta dengan bintang di angkasa, menyapa bulan dan mengatakan, "Kau indah tapi tak cukup mampu menerangi malamku di belantara."

Lalu di pagi yang baru menyapa ini, kau meminta seekor capung mengantarkanmu ke seberang lautan. Perlahan kau melihat kemunculan fajar yang begitu sempurna. Kau tak ingin ketinggalan peristiwa ini. Kau harus mengabadikannya dalam benak. Kau pun meminta capung agar lebih cepat mengepakkan sayapnya.

Kau tak peduli jikalau capung yang teramat renta itu mengalami cedera pada kedua sayapnya.

Kau mendarat tepat di tepi laut yang amat dekat dengan fajar. Nampak semburat kekuningan menghiasi langit di hadapanmu. Kau pun berjalan lebih dekat untuk menyapa dan menyentuh hangatnya fajar. Kau nyaris tak percaya menyaksikan bagaimana matahari terus beranjak naik yang membuat pemandangan di sekeliling tampak semakin mempesona. Sangking terbuainya kau bahkan hampir lupa pada tujuan awalmu berdiri di sini.

Kau menoleh sejenak dan mendapati capung renta itu tergolek lemah. Sebelum terlambat, kau mengeluarkan kantong hitam dari saku dan mulai memasukkan fajar di hadapanmu. Langit kembali redup seiring banyaknya fajar yang kau masukkan ke dalam kantong, dan benar-benar redup ketika seluruh fajar telah berpindah seutuhnya.

Kau hanya menyisakan sebongkah fajar di tanganmu. Kemudian kau berjalan mendekati capung yang masih terlelap karena kelelahan. Tanpa pikir panjang kau segera mencabut sepasang sayap milik capung tua itu.

Kau pun segera terbang mengarungi lautan sambil membawa sekantong penuh fajar menuju lubang bentala di mana tempatmu berasal.

Di lain tempat, bersamaan ditemukannya seekor capung tanpa sayap dan kau yang menghilang, di saat itulah para kurcaci akhirnya sadar bahwa mereka telah dimanipulasi oleh sesosok iblis pencuri fajar.

"Tunggu kami melapor pada semesta dan kau akan menerima akibatnya."

***

Kau segera menguruk lubang bentala itu dengan semak belukar dan tanah. Kau juga menambahkan bebatuan di atasnya agar tak seorang pun mampu menembus dunia ini. Dengan semangat kau berjalan menuju gubuk kecilmu sambil memikul fajar yang kau curi dari bawah tanah. Kau memetik dedaunan untuk membungkus fajar itu dan menggantungnya di beberapa tiang gubuk yang kau tempati.

Kini kau tak akan kesal saat matahari hanya memberimu bias-bias cahaya melalui celah pepohonan. Kini kau tak akan kesal pada bulan yang tak mampu menerangi malammu di belantara. Kini kau tak akan kesal pada bintang yang mengejekkmu kala sendirian.

Namun, kau lupa takut pada semesta yang bisa dengan mudah mengirimkan malam untuk menelanmu dalam gelap.

***

SELESAI

Baca juga cerpen lainnya di blog Gufron Aksara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun