Mohon tunggu...
Sri Lestari
Sri Lestari Mohon Tunggu... Penulis - Pengajar, Penulis, Peneliti

Tertarik pada isu pendidikan dan gender

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Isu Gender di Institusi Pendidikan Dasar Muhammadiyah

14 April 2022   14:15 Diperbarui: 14 April 2022   14:20 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekolah-sekolah Muhammadiyah dari beragam tingkatan, bahkan mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, memberikan muatan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dalam setiap kurikulumnya. Selain sebagai bagian dari pengenalan tentang Muhammadiyah, hal yang tidak kalah penting menurut Majlis dikdasmen PP Muhammadiyah adalah untuk membina pribadi generasi muda menjadi insan kamil.

 Al-Islam dan Kemuhammadiyahan sudah sejak lama telah menjadi prioritas di sekolah-sekolah Muhammadiyah namun menurut Nuryanan (2017) perlu direvitalisasi. Tinjauan ulang dilakukan mungkin karena berdasarkan realitas yang ditemukan, kedua mata pelajaran tersebut hanya dilaksanakan sebatas formalitas sehingga perlu transformasi dan ditinjau ulang dari segi konsep, pelaksanaan, sumber daya, dan komponen pendukung yang terintegrasi dalam grand design pendidikan Muhammadiyah.

Pendidikan Al-islam diarahkan pada pemahaman dan penghayatan hubungan dan amalan manusia untuk  Tuhan dan sesama ciptaanNya yang menekankan pada keseimbangan, keselarasan, dan keserasaian. Sementara itu, Pendidikan Kemuhammadiyahan diarahkan pada pemahaman dasar-dasar gerakan dan ideologi Muhamamdiyah, seperti tafsir Muqaddimah, AD/ART Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH), Khittah Perjuangan, Kepribadian Mihammadiyah, dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, serta pengenalan, pemahaman, penghayatan, dan partisipasi aktif peserta didik dalam berbagai gerakan dan kegiatan Muhammadiyah.

 

Persinggungan Muhammadiyah dan Ideologi Gender

Ideologi gender di Muhammadiyah secara terstruktur bisa dilihat dari keputusan muktamar dan doktrin-doktrin Muhammadiyah dari buku-buku dan terbitan resmi Muhammadiyah (Dzuhayatin, 2012).  Melalui keputusan-keputusan struktural, kebijakan yang sensitif gender mengalami pasang surut. Sementara dalam terbitan-terbitan buku resmi, sensitifitas gender di Muhammadiyah masih berpusat pada peran keibuan dan kerumahtanggaan. Meskipun demikian, landasan paling dasar dari sensitifitas gender ini berada pada kepercayaan Muhammadiyah atas kesetaraan posisi laki-laki dan perempuan sebagai hamba Allah.

Kelahiran Aisyah dinilai menjadi indikator hadirnya pemahaman sensitif gender di Muhammadiyah. Aisyah yang berdiri sejak 1917 merupakan inisiatif Nyai Walidah dan didukung oleh K.H.Ahmad Dahlan untuk memberikan kebebasan bagi anak-anak perempuan mendapatkan akses pendidikan dan berpartisipasi dalam organisasi.

Pada perjalanannya, kritik terhadap Muhammadiyah yang tak sejalan dengan isu sensitifitas gender tetaplah ada. Muhammadiyah dinilai sebagai organisasi yang kini terjebak dalam "rezim gender". Penilaian ini muncul karena Muhammadiyah dipandang lebih mengutamakan laki-laki dalam jabatan struktural penting.

 

Pendidikan Sensitif Gender Di Institusi Muhammadiyah

Pendidikan sensitif gender sebaiknya memuat nilai-nilai kesetaraan gender di antaranya: persamaan hak laki-laki dan perempuan, perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, partisipasi laki-laki dan perempuan, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, kerjasama laki-laki dan perempuan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, menghargai kemajemukan, dan demokrasi.

Ketidakadilan gender dalam sektor pendidikan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu hak pendidikan perempuan, keberpihakan terhadap proses dan materi pembelajaran, serta ketidakadilan dalam memilih jurusan. Pada pendidikan dasar, muatan gender dominan ditunjukkan dalam materi perbedaan perempuan dan laki-laki. Pada institusi Muhammadiyah, muatan gender terdapat pula dalam pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.

Namun, pendidikan sensitif gender minim diterapkan di sekolah-sekolah, salah satunya sekolah Muhammadiyah. Seperti yang terlihat dalam buku teks Al-Islam kelas 1 tedapat bagaimana peran gender tradisional yang ditunjukkan melalui gambaran domestikasi untuk ibu dan sebaliknya peran publik dikhususkan untuk ayah. Ibu digambarkan melakukan kegiatan seperti memasak, mengasuh anak, dan membersihkan rumah. Sementara itu, aktivitas ayah lebih banyak seputar mencari nafkah dan pergi berjualan ke pasar, serta aktifitas publik lainnya.

Sementara pada materi lainnya mencerminkan bahwa pekerjaan membersihkan rumah tidak terikat pada gender dan seksualitas. Digambarkan dalam buku Al-Islam untuk kelas 2 SD bagaimana anak laki-laki mencuci baju, menjemur, dan menyetrikanya secara mandiri. Penyampaian materi dalam buku-buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan rupanya memang masih terjadi inkonsistensi, di sisi lain nampak memihak namun seringkali juga lebih banyak terlihat bias.

Penggambaran buku/bahan ajar tentang sensitifitas gender memang sudah lama dinilai tidak berpihak. Hanya sedikit yang menggambarkan sebaliknya, selebihnya justru menjadi faktor utama yang dapat memperlebar kesenjangan gender. Padahal seharusnya buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan berfungsi sebagai buku pengangan moral siswa. Namun kenyataannya, masih ada muatan materi yang memarginalisasi, mensubordinasi, menampilkan beban kerja ganda, dan menstigmatisasi perempuan.  Hal ini tentu perlu ditransformasi agar buku ajar menjadi lebih sensitif gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun