Sampai aku mengerti kebohongannya, aku sungguh percaya nasi dituang teh tawar adalah makanan obat yang enak. Anehnya, aku tak ingin mencobanya. Sekarang terang benderang bagiku, Emak hanya mementingkan anaknya. Bagi kami yang tinggal di kaki gunung puluhan tahun silam, kerupuk putih keriting itu sudah lauk paling enak. Gurihnya membuat hidup terasa lezat, meski sesak.
Aku heran mengapa Emak tega membiarkanku jauh darinya. Ibu macam apa yang diam saja, puteri kecilnya harus menghadapi dunia tanpa bimbingan. Itu pikiranku saat berusia 11 tahun. Hari itu aku turun gunung untuk menimba ilmu di bangku SMP nun di kota kabupaten. Kini aku tahu, Emak berjuang mengendalikan badainyai airmata. Ia harus sadis agar aku teguh pada mimpiku. Kalau saat itu ibuku mencegahku, aku tak bisa menjadi aku yang sekarang. Terima kasih untuk ketegaranmu, Mak.
"Emak, siapa dia?" Bingung  kudapati ada anak sebaya adikku di gubuk kami ketika aku pulang libur sekolah.
"Anak ini dititipkan orang tuanya. Mereka bercerai. Biarlah, itung-itung pengganti Teteh, ya" begitu katanya sambil tersenyum.
Aku tak mengerti, bagaimana kedua orang tuaku dapat memberi dari kekurangannya.
Ada banyak cerita yang ingin kusampaikan tentang Emakku yang tangguh. Ini baru kepingannya saja.Â
Bagiku HadiahDariIbu adalah dirinya, seluruh hidupnya. Teladan hidup, laku doa dan keikhlasan, kekuatan serta cintanya adalah pemberian tak ternilai bagi hidupku.
Selamat malam Emak, betapa aku merindukanmu. Doakan aku agar dapat segera pulang menjumpaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H