HadiahDariIbu, tak sengaja malam ini Kompasiana mengusik rinduku pada Emak. Sudah ribuan hari, aku tak berjumpa ibuku. Sejujurnya buliran bening bisa berderai deras, bila bayang Emak 'dihadirkan'. Tapi, tak akan kuperlihatkan bulir-bulir itu pada anak-anakku. Aku harus tegar seperti dirinya.
Namun biarlah malam ini, saat anak-anak telah lelap, bebas lepas akan kuceritakan betapa aku bersyukur menjadi puteri ibuku.
Terima kasih tak akan pernah cukup untuk seorang Emak.
Konon katanya, pagi itu Emak selesai mengantarkan dagangan ke warung-warung di kampung. Emak menitipkan combro buatannya. Semacam cemilan dari singkong yang didalamnya ada sambel oncom yang maknyus. Demikianlah ia dinamai combro, singkatan dari oncom di jero, dalam bahasa Sunda. Kira-kira pukul delapan, di tanjakan dekat rumah, Emak tak tahan melahirkanku. Merinding aku mendengar ceritanya. Bersyukurnya aku dilahirkan dengan selamat. Ibuku sungguh ajaib, hamil tua pun tetap menyokong ekonomi rumah tangga.
Kami sekeluarga tinggal di rumah panggung beralas talupuh. Di sebuah kebun rimbun di ujung kampung. Kebon Jambe, begitu orang-orang menyebut babakan kami. Babakan sendiri mengacu pada tempat terpencil jauh dari perkampungan. Seingatku tempat ini sudah menghijau subur. Orang tuaku menanam cengkeh, alpukat, dan aneka tumpang sari lainnya, seperti: cabe, kacang tanah, buncis, labu air, daun bawang dan seledri. Tumbuhan ini ditanam musiman.
Siapa menyangka dahulu di kebun ini batang singkong pun enggan hidup. Berdua saja dengan Emak, ayah membuka ladang ilalang itu menjadi lahan pertanian. Mereka bercerita bagaimana berdua bahu membahu mengambil air dari Sungai Cibarani. Jaraknya sekitar 1km menanjak dan curam. Ibuku perkasa, ia mampu mengangkat beban berat.
Mengapa Emak harus serepot itu?
Di rumah itu, gubug lebih tepatnya, ada 5 anak yang harus diberi makan. 3 anak bibi, 1 anak Ua dan aku. Mereka dititipkan di kampung sementara waktu, sampai kehidupan bibi dan ua di kota membaik. Ayahku eks tapol, tidak memiliki penghasilan selain menggantungkan diri dari hasil pertanian. Usia Ayah dan Emak terpaut 21 tahun. Ayahku sudah ringkih, bekas penyiksaan Pulau Buru. Sejak awal menikah sesungguhnya Emak lah yang menjadi tulang punggung kami. Ayahku motor penggeraknya.
Siang hari, aku pulang sekolah. Kudapati Emak menggendong adikku nomor dua. Kehidupan kami masih bergantung kemurahan alam.
"Loh kok nasinya disiram air teh, Mak?" tanyaku heran melihat ibuku menuang segelas teh tawar pada nasi putih di piringnya.
"Enak buat obat. Teteh makan pake kerupuk ya, itu ada satu. Buat lauk makan" ucapnya ceria.