Saling menghujat, baik dengan bahasa sopan maupun sadis, di Indonesia mulai ramai sejak pilpres 2014 yang mempertemukan Prabowo dan Jokowi sebagai calon presiden. Kedua belah kubu saling menjatuhkan lawannya dengan narasi narasi negatif untuk memojokkan lawan politiknya.Â
Namun saat itu saling menghujat belum ramai karena aplikasi media sosial masih terbatas dan handphone masih menjadi barang mewah.Â
Baru ketika Pilkada DKI tahun 2017, saling menghujat via medsos dan ceramah makin menghebat. Bahkan media luar ruang seperti spanduk dam baliho juga turut digunakan untuk menghujat lawan politik. Dalam pilkada itu, agama digunakan sebagai senjata untuk mengalahkan lawannya.Â
Sejak saat itu kata kata tuduhan Penista Agama mulai digaungkan karena Ahok dianggap menghina salah satu ayat Alquran ketika berpidato di Kepulauan Seribu.
Tuduhan penista agama sampai sekarang masih digunakan untuk memojokkan lawan masing masing, terutama lawan politik atau pihak yang punya pandangan berbeda dalam soal agama.Â
Saat pilkada DKI 2017, kepemilikan Handphone sudah semakin banyak dan merata. Hampir setiap keluarga memiliki HP sehingga masyarakat bisa mendapatkan berita kapan dan dimana saja, lalu ikut berkomentar menanggapi peristiwa yang terjadi.Â
Di masa itu pula makin banyak aplikasi macam Youtube, FB, Twitter, WhatsApp yang digunakan masyarakat. Lewat media itu masyarakat mulai bisa menanggapi setiap peristiwa yang terjadi. Namun celakanya lewat media itu pula masyarakat mulai terbelah dan gampang dibelah untuk kepentingan politik dan agama. Saling menghujat bertambah marak.Â
Keterbelahan masyarakat makin menjadi ketika pilpres 2019 yang lalu. Pertempuran sengit antara pihak Prabowo dan Jokowi, lagi lagi sebagai capres, melahirkan dua kubu yang dikenal sebagai cebong dan kadrun. Hujat menghujat dalam dunia maya dan nyata, lebih ramai karena semakin banyak yang terlibat.Â
Agama masih banyak digunakan sebagai alat kampanye. Jargon Partai Allah  dan Partai Setan adalah salah satu contohnya. Sesama pemeluk agama dibenturkan dalam hajat politik 5 tahunan itu.Â
Setelah pilpres selesai, bahkan kedua kubu sudah saling bekerja sama pun, saling menghujat tak kunjung berhenti. Pilpres melahirkan penguasa dan oposisi.Â
Pihak oposisi selalu menyerang kebijakan pemerintah untuk menarik dukungan atau menambah daya tawar politik. Sementara pihak pemerintah berusaha meyakinkan bahwa kebijakan mereka selalu berpihak kepada masyarakat. Di masa ini muncullah apa yang dinamakan buzzer.Â