HIV/AIDS bukan sebuah momok yang menyeramkan. Asal tahu bagaimana cara pencegahan penularannya, kita akan tetap aman saja saja saat berdekatan dengan ODHA.Â
Saya pernah beberapa kali 'bersentuhan' dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).Â
Yang pertama, saat menjadi penyelenggara pelatihan bahaya dan pencegahan HIV/AIDS. Â Salah satu narasumbernya adalah penderita AIDS, sebut saja namanya Mas A.Â
Disebut ODHA karena narasumber tersebut sudah dalam kondisi HIV stadium 3, di mana kekebalan tubuhnya sudah sangat berkurang.Â
Karena baru pertama kali mengundang ODHA, tentu saja perasaan kuatir tertular pasti ada.Â
Kami memang sudah dibekali pengetahuan tentang cara penularan HIV, tetapi hati ini tetap saja dag dig dug mengingat betapa menderitanya seorang ODHA.Â
Mitra kami (sesama LSM) yang mendampingi Mas A mengatakan bahwa kondisi si sakit ini tidak dalam keadaan baik.Â
Dia terlambat mengkonsumsi ARV (Antiretroviral) sebagai obat wajib yang dikonsumsi para ODHA untuk mempertahankan kondisi fisiknya.Â
Jika nanti Mas A kondisinya drop saat menyampaikan testimoninya, maka dia harus berhenti dan beristirahat.Â
Karena saya termasuk panitia penyelenggara, tentunya saya harus menyambut dan melayani kebutuhan Mas A.Â
Walaupun kuatir, saya tetap bersalaman dan melakukan komunikasi saat Mas A datang.Â
Saya sudah melakukan pemeriksaan diri bahwa tidak ada luka terbuka tertutup yang saya alami. Salah satu media penularan virus adalah darah, jika saya mempunyai luka dan Mas A juga punya, bisa saja tersebut menjadi pintu masuk virus HIV saat kami bersentuhan.Â
Media penularan lain macam sperma atau jarum suntik jelas tidak mungkin terjadi pada kami. Cairan ludah yang terpancar saat kami ngobrol tidak akan menjadi saluran penularan HIV. Di dalam cairan ludah hanya terkandung sedikit virus sehingga butuh 2 liter untuk bisa menginveksi seseorang.Â
Dari waktu 1 jam yang diberikan kepada A untuk melakukan testimoni, hanya 45 menitan yang bisa dipergunakan.Â
Mas A sudah terlihat kepayahan karena kondisinya drop. Beliau menyampaikan bagaimana bisa tertular HIV/AIDS. Ternyata biang keladinya adalah jarum suntik yang dipakai bergantian saat mengkonsumsi narkoba bersama teman temannya.Â
Setelah terkena AIDS, Mas A kehilangan pekerjaan, harta benda keluarga nyaris habis untuk mengobatinya dan teman-temannya mulai menjauh. Yang paling tragis adalah ketika keluarga Mas A mulai mengucilkannya. Mas A hidup terlunta-lunta sampai akhirnya ditampung oleh LSM mitra kami.Â
Kami sempat berbincang bincang dan makan bersama sebelum berpisah dengan Mas A. Jabat tangan dan tepuk punggung menjadi salam perpisahan kami.Â
Sentuhan kedua dengan penderita HIV saya alami saat mendampingi seorang ibu (sebut saja Ibu W) yang tertular HIV dari suaminya.Â
Saya berkunjung ke rumah ibu tersebut untuk mengantar beliau memeriksakan diri ke dokter. Suami ibu W telah telah meninggal karena AIDS.Â
Kali ini saya sudah tidak takut lagi untuk bersentuhan. Waktu itu banyak diberitakan tentang Lady Diana yang melepas sarung tangan saat berjabat tangan dengan seorang ODHA. Beliau bahkan berpelukan dengan ODHA tersebut tanpa mendapat efek tertular.Â
Sang ibu terlihat seperti warga biasa yang sehat tanpa penyakit. Beliau memang baru pada tahap terkena HIV, belum sampai AIDS.Â
Saat bertemu beliau, saya tak cemas berjabat tangan dan ngobrol dengan jarak yang cukup dekat. Ibu tersebut tinggal dirumah kontrakan yang sempit tanpa ruang tamu.Â
Awalnya beliau ragu untuk berjabat jangan dan mengobrol. Beliau tahu risiko yang akan terjadi bila kami terlalu dekat dan bersentuhan.Â
Namun setelah saya yakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa, karena kami tidak mempunyai luka terbuka, beliau kemudian merasa lega.Â
Setelah berbincang-bincang, saya mengantar sang ibu dengan sepeda motor. Jalan menuju praktek dokternya banyak terdapat polisi tidur sehingga membuat kami tak sengaja bersentuhan. Namun saya tidak merasa takut sama sekali.Â
Sentuhan ketiga dengan penderita HIV, saya alami ketika diundang ibu-ibu kader kami dalam sebuah pertemuan warga.Â
Pertemuan tersebut merupakan kegiatan rutin sosialasi tentang HIV/AIDS kepada para warga di sekitar gang Dolly.Â
Narasumber yang melakukan testimoni sebagai penderita HIV adalah seorang PSK berumur 35 tahunan.Â
Beliau berpraktek di Jarak, sebuah lokalisasi yang tidak jauh dari gang Dolly. Fisiknya masih kelihatan kuat yang berarti beliau baru tahap terkena HIV belum AIDS.Â
Dalam testimoninya ibu P, kita sebut saja demikian, mengatakan bahwa dia terkena HIV karena melayani pelanggan. Ibu P sudah beberapa kali mendapat penyuluhan tenjang HIV/AIDS.Â
Walaupun Ibu P sudah meminta para pelanggannya untuk memakai kondom saat berhubungan seksual, namun banyak pelanggan yang mengabaikannya. Katanya tak nikmat kalau pakai kondom.Â
Ibu P tak punya kuasa untuk memaksa pelanggannya. Jika dipaksa pakai kondom, pelanggan itu malahan kabur tak mau dilayaninya.Â
Maka pengetahuan pencegahan HIV/AIDS yang sudah ibu P dapatkan menjadi tak berguna demi meraih isi dompet para pelanggannya.Â
Banyak rekan PSK-nya yang bernasib sama terkena HIV gara-gara para pelanggan yang tidak mau pakai kondom.Â
Saat bercerita, ibu P menangis sedih karena teringat anak anaknya. Dia sebenarnya ingin berhenti menjadi PSK, tetapi kebutuhan keluarganya harus dicukupi karena beliau tak punya suami yang entah pergi ke mana.Â
Sebenarnya saya beberapa kali bertemu dengan para ODHA saat berkunjung ke LSM mitra. Tetapi saat itu tidak dalam suasana formal sehingga kami hanya sekilas saja berjumpa.Â
Mereka kebanyakan menjadi narasumber sukarela ketika ada acara tentang pencegahan HIV AIDS. Dengan melakukan testimoni bagaimana mereka menjadi terkena HIV dan penderitaan yang dialami, ada harapan bahwa tidak ada lagi orang orang yang terkena HIV.Â
Mereka juga mempunyai asa bahwa ODHA tidak perlu dikucilkan. Dengan mengetahui cara penularan dan pencegahannya, masyarakat dan ODHA bisa melakukan pencegahan sendiri agar tak turut menderita.Â
Sudah 10 tahun lebih sejak saya berjabat tangan, ngobrol, bersentuhan dengan para ODHA. Saat ini saya tetap sehat tanpa adanya gejala tertular HIV.Â
Itu artinya tidak ada yang dikuatirkan saat bergaul dengan mereka. Asal berperilaku baik dan tak ada luka terbuka, HIV tak bisa mampir ke tubuh kita.Â
Demikian sekelumit kisah saya.Â
Salatiga 071221.69
Baca Juga: Apa Perbedaan HIV dan AIDS?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI