Ada yang tahu kasus Syekh Puji dari Kabupaten Semarang?Â
Tahun 2009 lalu Syekh Puji menjadi buah bibir masyarakat karena pernikahan kontroversialnya.Â
Ya, Syekh Puji menikahi salah seorang santriwatinya berumur 12 tahun bernama Lutfiana Ulfa. Pernikahan ini menjadi ramai karena laporan orang tua Ulfa yang tidak setuju anaknya menikah dini dan dijadikan istri kedua. Orang tua Ulfa melaporkan kasus ini kepada polisi setempat. Syekh Puji  akhirnya dijebloskan ke jeruji besi.Â
Kasus ini menjadi pembicaraan nasional setelah banyak pihak yang ikut bersuara. Syekh Puji diduga melakukan pemaksaan kepada Ulfa untuk bersedia dinikahi. Dia adalah pemilik pesantren dimana Ulfa menjadi santriwati untuk menimba ilmu.Â
Pada akhirnya, Syeh Puji mendapat hukuman yang setimpal. Oleh Pengadilan Negeri Ungaran Kabupaten Semarang, pada November 2010 Syekh Puji divonis 4 tahun penjara ditambah denda 60 juta rupiah.Â
Syekh Puji didakwa melanggar UU Perlindungan Anak no 23 tahun  2002  pasal 81. Isinya adalah tindakan secara sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain dan dianggap memasung hak anak.Â
Alasan fisik dan mental yang belum siap adalah dasar dari UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 dan UU Perkawinan no 16 tahun 2018, agar perkawinan anak dibawah umur tidak terjadi. Masuk penjara dan membayar uang denda seperti yang dialami Syekh Puji adalah hukuman yang menanti bagi pelanggarnya
Namun, walau sudah ada UU yang mengaturnya, pernikahan anak sering terjadi dengan alasan untuk kebaikan anak atau masa depan si anak sendiri. Hal itu juga di dukung alasan budaya atau dalil agama yang menganjurkan atau mengijinkan. Â
Akibatnya jumlah pernikahan anak di Indonesia tetap tinggi. Dengan lebih dari 2 juta kasus pernikahan dini tahun 2018, Indonesia menjadi negara no 2 di ASEAN dan no 8 untuk tingkat dunia.Â
Sebagai mantan pekerja sosial pendamping anak dan remaja selama belasan tahun, saya sering mengingatkan kepada mereka akan kerugian dan bahayanya pernikahan anak.Â
Setiap kali melakukan sosialisai masalah Kesehatan Reproduksi (KESPRO) Remaja, saya bertanya mereka;