Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Saya Tidak Merokok?

7 Oktober 2021   13:55 Diperbarui: 7 Oktober 2021   16:08 1921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar facebook.com/ArchiDesiign

Jika ditanya, "Mengapa kamu tidak merokok? "

Saya biasanya menjawab, "Gak tahu, kebiasaan saja".

Saya memang belum pernah merokok, bahkan satu isapan pun.  Sering orang orang juga heran dan tidak percaya. 

Bapak saya perokok, lingkungan saya kebanyakan perokok. Teman teman sekolah maupun teman yang lain banyak juga yang merokok. Tetapi anehnya saya tidak suka merokok walaupun bukan orang yang anti rokok. 

Dulu saya sering disuruh Bapak membeli rokok merk Filtra. Baunya harum sehingga saya suka menciumnya. Tetapi saya belum pernah mencoba merokoknya. 

Sewaktu masih kelas 1 SMP, setiap hari kami bermain karambol di salah satu rumah tetangga. Di sana banyak anak muda berkumpul. Ada yang main karambol ada juga yang santai santai ngobrol. 

Di rumah itu selalu tersedia tembakau, cengkeh kertas rokok sekaligus korek apinya.  Dana untuk membeli kadang disediakan tuan rumah, kadang juga hasil saweran bersama. Silakan saja siapapun yang mau merokok. 

Saat itulah anak anak remaja seumuran saya mulai belajar merokok. Mula mula belajar melinting dulu, lama lama mencoba  satu isap dua isap dan terus ketagihan. 

Bagi teman teman yang baru pertama kali mencoba, seringnya mereka batuk batuk lebih dahulu. Ada yang biasa saja, banyak pula yang batuknya sampai parah. Ototnya terlihat menonjol di leher. Wajahnya terlihat merah sampai mengeluarkan air mata. Saya tidak mau seperti itu, kelihatannya tersiksa sekali. 

Namun, mereka tidak kapok, apalagi kemudian dipanas panasi oleh teman teman kami yang lebih tua. Katanya jangan jadi penakut, jangan kayak banci. Padahal banci banci itu kan sebagian besar malahan perokok. 

Menginjak usia SMA, lebih banyak lagi teman saya yang perokok. Kalau dahulu saat SMP banyak yang malu malu, ketika sudah SMA mereka lebih berani lagi. Bahkan kadang kadang mereka berani merokok saat ada guru. Jika ditegur alasannya; Pak Guru juga merokok, mengapa kami tidak boleh? 

Karena tidak merokok, saya sering dibully tidak keren, penakut dan kayak banci. Biasanya saya hanya tertawa saja. Mereka tidak tahu latar belakang mengapa saya tidak merokok. 

Bapak saya seorang tukang tambal ban, tentu saja penghasilannya pas pasan. Saya jarang mendapat uang jajan, yang ada adalah uang saku saat sekolah.

Karena saya tidak pernah sarapan, uang saku tersebut habis untuk jajan di sekolah. Kalau ada uang tersisa, memang sengaja saya hemat untuk disimpan. 

Sejak SMP saya suka memancing. Lokasinya beberapa kilometer dari rumah yaitu di kali Tuntang atau di Rawa Pening. Jika memancing, saya butuh dana transport dan menyewa perahu. Uang saku yang saya simpan, memang digunakan untuk keperluan itu. 

Kondisinya bertahun tahun seperti itu, saya menjadi salah satu anak muda bukan perokok di teman teman sepergaulan. Karena terbiasa, saya kemudian enjoy enjoy saja tanpa merokok. 

Saat itu saya tidak berpikir tidak merokok karena alasan kesehatan. Saya tidak merokok karena tidak punya uang.

Walaupun teman teman banyak yang menawari gratis, saya tetap tidak mau. Pikiran saya waktu itu, jika saya ketagihan, darimana saya mendapatkan uang untuk membeli rokok? Daripada untuk membeli rokok, lebih baik uang yang ada untuk pergi memancing saja. 

Tibalah waktu saya sudah bekerja. Lingkungan kerja masih tetap banyak perokoknya. Kalau yang ini lebih parah lagi, selain merokok, ada minuman karas yang dikonsumsi. 

Waktu itu selepas kuliah saya kerja di sebuah hotel di Bali, tinggalnya tepat di depan Legian Plaza. Bergaul dengan banyak teman teman dari orang lokal sampai turis mancanegara adalah dunia baru saya. 

Jaman tahun 90an, pariwisata di Bali masih longgar peraturannya. Banyak turis berjemur dipantai hanya memakai celana dalam saja. Pergaulanpun masih bebas. Merokok, mabuk mabukan, seks bebas banyak terjadi disana. 

Namun anehnya saya tidak terpengaruh oleh suasana itu. Saya masih biasa biasa saja. Tetap tidak mau merokok. Bukan karena alasan kesehatan ataupun penghematan, saya memang tidak mau saja. 

Saat pindah bekerja ke Jakarta maupun daerah lain, saya tetap tidak merokok. 

Terkadang saya menghadapi dilema ketika situasi mengharuskan saya ikut merokok. 

Beberapa kali terjadi situasi saya mengunjungi wilayah kerja baru di luar Jawa. Ada momen perkenalan dimana saya harus ikut merokok untuk menghormati penduduk setempat. 

Saya tidak tahu apakah itu bagian dari adat atau hanya sebuah kebiasaan saja. Sayapun harus memikirkan cara untuk menolaknya. 

Akhirnya dengan alasan kesehatan, saya tidak diharuskan ikut merokok. Mereka bisa mengerti karena selain tidak merokok, saya juga tidak mengkonsumsi minuman beralkohol yang disediakan. 

Saat bekerja di Event Organiser (EO) dan di Production House (PH) rekan kerja yang merokok lebih banyak lagi. Rekan rekan jika tidak merokok tidak bisa konsentrasi kerja. Saat syuting, membuat set dekorasi, proses editing dll, rokok tidak lepas dari mulut mereka. Kami menyebutnya nyepur (mirip kereta api).

Memang banyak orang yang mengatakan bahwa merokok tidak melulu merugikan. Banyak orang kalau tidak merokok tidak bisa bekerja. 

Walau saya tidak setuju alasan itu, tetapi saya menghargai pendapat mereka. Buat saya banyak orang yang tidak merokok pun tetap bisa bekerja. Pendapat itu hanya didasari kebiasaan atau sugesti saja. Beberapa teman yang  berhenti merokok, mereka tetap bisa bekerja seperti biasa. 

Saya juga tetap menghormati para perokok. Banyak diantara mereka yang merokok tidak di sembarang tempat. Mereka merokok hanya ditempat yang disediakan dan diperbolehkan. Jika mereka sedang merokok tiba tiba datang anak kecil, orang sakit, ibu hamil atau orang tua, rokoknya segera dimatikan. 

Saya menyebut mereka sebagai perokok cerdas. Sayangnya tidak banyak perokok cerdas yang saya temui. 

Berbicara soal keuntungan tidak merokok, saya juga mendapatkannya. 

Orang bilang uang merokok selama bertahun tahun jika disimpan bisa dibelikan mobil atau malahan membangun rumah. Hal itu tidak saya alami. Saya tidak merokok jadi tidak ada uang simpanan karena tidak membeli rokok.  Tetapi saya bisa menyalurkan hobi memancing dan membeli barang barang yang diinginkan. 

Kesehatan dan stamina yang yang baik adalah keuntungan utama saya karena tidak merokok. 

Bersama rekan kerja kami sering harus bekerja keras sepanjang hari, bahkan sampai tidak tidur semalaman. Hal itu terjadi jika ada syuting, acara besar, pergi keluar daerah atau event lain yang dilakukan sampai beberapa hari. 

Jika ada kegiatan demikian, biasanya beberapa teman perokok jatuh sakit. Mereka  kelelahan karena staminanya tidak fit. 

Namun hal itu jarang terjadi kepada saya. Kelelahan memang dialami, mengobatinya cukup dengan beristirahat dan makan kenyang saja. 

Menjelang dan sesudah berkeluarga, keuntungan tidak merokok semakin bertambah. 

Saya dan istri beda suku dan beda tingkat ekonomi. Istri saya anak orang berada, sedang saya hanya bermodal sebuah Honda Supra X 125. 

Sering ada omongan bahwa laki laki Jawa akan susah mendapat jodoh wanita dari suku istri saya. Tetapi saya bisa diterima menjadi menantu di keluarga istri. Selain karakter, ternyata alasannya karena saya  tidak merokok. Beruntung bukan? 

Saya juga mendapat keuntungan tidak merokok saat mempunyai anak. Selama belasan tahun saya, istri dan kedua anak kami tidak pernah mencium bau bantal rumah sakit. Artinya kami belum pernah sakit sampai harus ngamar di rumah sakit. 

Jika ada yang batuk, hal itu biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri bukan karena asap rokok. Batuknya hanya batuk biasa, cukup dengan istirahat dan minum obat dokter sudah bisa menyembuhkannya. 

Keuntungan lain yang saya dapatkan adalah saat terjadi pandemi ini. 

Saya beruntung tidak merokok, pendapatan yang menurun drastis bisa dimaksimalkan untuk membeli kebutuhan pokok. Tidak perlu beli rokok, tidak perlu berobat karena asap rokok. 

Kami juga tidak punya komorbid sakit jantung atau paru paru, penyakit yang sangat ditakuti oleh penderitaan covid 19. 

Karena keuntungan ini, ketika ada tawaran untuk divaksin, tanpa ragu kami langsung menyetujui. Tak ada efek samping yang kami rasakan setelah di vaksin. 

Berikut keuntungan lain karena saya tidak merokok :

1. Pakaian tidak berlobang karena terkena api rokok. 

2. Mulut tidak berbau. 

3. Gigi tidak kuning dan tidak keropos. 

4. Tidak pernah bingung atau panik saat tidak ada rokok. 

5. Tidak pernah terkena masalah rokok basah, rokok putus, rokok ketinggalan. 

6. Tidak penah meminta dan dimintai rokok. Sering memberi rokok ketika mendapat bonus rokok. 

7. Tidak pernah menyuruh anak membeli rokok sehingga mereka tidak kenal rokok. 

8. Anak tidak suka bau asap rokok, hal ini bisa menyebabkan kelak mereka tidak mau merokok. 

9. Sewaktu bayi, anak saya selalu sehat dan minum ASInya lncar

10. Bisa bergaul dengan siapa saja karena tidak merokok dan tidak anti rokok. 

Mungkin ada keuntungan lain yang saya tidak bisa mengingatnya. 

Jika Anda merasa bahwa saya mendapat banyak keuntungan karena tidak pernah merokok, silakan mencoba mengurangi atau berhenti merokok. 

Salatiga 061021. 47

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun