Jadi, kalau kita lihat secara sederhana, Serdos itu seperti "Indiana Jones": penuh dengan rintangan, teka-teki, dan perjalanan jauh yang tak terduga. Sementara sertifikasi guru SMU itu lebih mirip naik sepeda di jalan raya---masih ada lubang-lubang kecil di sana-sini, tetapi lebih lancar dan bisa diprediksi.
Ada sebuah cerita Ketika bertemu dengan teman lama saya yang saat ini mengajar di salah satu SMU negeri. Saya bertanya dia mengenai sertifikasinya, sambil menggoda sedikit, "Jadi, sertifikasi guru SMU itu gimana sih? Tes doang kan?" Dia pun menjawab sambil tersenyum, "Iya, tinggal tes, sudah. Selesai. Sederhana, kan?" Lalu, saya ditanya balik, "Kalo dosen gimana?"
Dengan ekspresi serius, saya bilang, "Wah, kalau dosen itu, aduh... Sepertinya mereka harus melintasi lautan penilaian dulu! Coba bayangkan, ada tes publikasi ilmiah, formulir panjang, dan tentu saja, mereka harus menjelaskan penelitian mereka dengan bahasa yang nyaris seperti skrip film fiksi ilmiah!
Kedua dunia ini, dosen dan guru SMU, memang penuh dengan proses yang berbeda. Namun, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memastikan bahwa kita, sebagai pendidik, sudah memenuhi standar kompetensi yang diperlukan untuk mendidik generasi penerus. Jadi, meskipun keduanya berakhir pada tujuan yang sama yaitu menjadi pendidik yang terakreditasi proses menuju sana sangatlah berbeda. Serdos, dengan segala kerumitannya, lebih mirip seperti perjalanan seorang arkeolog yang menggali masa lalu untuk menemukan kebenaran ilmiah. Sementara sertifikasi guru SMU lebih seperti perjalanan seorang pelatih sepeda yang melintasi jalanan beraspal---tahu arah dan tujuan, tapi tetap ada beberapa lubang yang harus dihindari.
Namun, tidak peduli seberapa berat jalannya, kedua profesi ini memiliki peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Jadi, mari kita hargai perjuangan para dosen dan guru SMU yang sudah tersertifikasi, karena mereka semua sudah melewati perjalanan panjang dengan caranya masing-masing!
Coba kita ulas sedikir mengenai bagaimana menjadi dosen yang mungkin saat ini masih menjadi impian banyak orang. Bisa berdiri di depan kelas, mengajar dengan penuh wibawa, dan memberikan pencerahan kepada generasi penerus bangsa. Namun, di balik itu semua, ada satu hal yang mungkin lebih menantang dari menyusun kurikulum atau mengoreksi tugas mahasiswa: mendapatkan Serdos (Sertifikasi Dosen). Jika Anda berpikir menjadi dosen itu gampang, coba deh tanyakan ke para dosen yang sedang mengajukan serdos. Persyaratan serdos ini, meskipun penting untuk pengakuan profesi dosen, bisa membuat banyak dosen merasa seperti sedang memasuki dunia yang penuh teka-teki. Soalnya, kalau dilihat dari luar, proses ini bisa terasa lebih mirip mengisi formulir pengajuan pinjaman kredit di bank---banyak dokumen yang harus disiapkan, dan kadang-kadang yang diminta juga tidak terlalu jelas.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dosen, diantaranya adalah :
- Pengajuan Melalui Sistem Online (SISTER) Dosen pertama-tama harus masuk ke dalam sistem online yang terkenal dengan nama SISTER (Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi). Bukan, ini bukan sistem yang membantu Anda mendapatkan istri atau pasangan hidup, meski kadang kalau melihat keluhan dosen, ini bisa jadi sistem yang akan menguji kesabaran lebih dari ujian akhir semester. Dengan menggunakan SISTER, dosen harus mengisi data pribadi, meng-upload berbagai dokumen, dan berharap sistem tersebut tidak membuat mereka berteriak, "Kenapa sih setiap kali masuk SISTER, rasanya seperti membuka pintu yang salah?"
- Mengumpulkan Dokumen Pendukung Setelah berhasil melewati SISTER (atau mungkin setelah bergumul dengan sistem yang kadang-kadang terasa seperti labirin), dosen harus mengumpulkan berbagai dokumen pendukung. Dokumen ini bisa berupa:
- Jurnal: Harus punya jurnal yang dipublikasikan di jurnal ilmiah bereputasi. Kalau bisa, jurnal-jurnal itu harus memenuhi standar internasional. Kalau Anda kebetulan belum punya, jangan khawatir---dosen tetap bisa mengajukan serdos dengan catatan, ya, jurnalnya harus banyak. Mungkin 5? 10? Atau bahkan 20? (Mungkin Anda perlu menghubungi teman Anda yang punya penerbitan majalah untuk menulis tentang "Pengalaman Dosen yang Sabar Menghadapi Serdos").
- Penelitian: Ya, jangan lupa, dosen juga harus punya rekam jejak penelitian. Dan bukan sembarang penelitian, tapi yang bisa diukur kualitasnya. Bukan yang cuma mengumpulkan data, terus dimasukin ke dalam folder "Dokumen Saya yang Belum Diproses". Penelitian ini harus punya dampak signifikan---misalnya, bagaimana menemukan cara baru untuk membuat mahasiswa tertidur di kelas dengan lebih nyaman.
- Pengabdian Masyarakat: Dan tentunya, dosen harus menunjukkan pengabdian kepada masyarakat. "Pengabdian" di sini bukan sekadar memberi ceramah di acara perpisahan kelas, lho! Ini pengabdian yang berdampak pada masyarakat, yang minimal membuat orang-orang berpikir, "Wah, dosen ini benar-benar berbuat sesuatu untuk komunitas!"
- Memiliki Jumlah Publikasi Ilmiah yang Mumpuni Ya, Anda tidak salah baca. Publikasi ilmiah yang mumpuni adalah salah satu kunci untuk mendapatkan serdos. Publikasi bukan hanya satu atau dua, ya, ini bisa jadi seratus (oke, sedikit berlebihan, tapi Anda paham maksudnya). Untuk para dosen muda, ini mungkin terasa seperti perjuangan melawan hujan batu. Dosen senior bahkan mungkin bisa mengerutkan dahi dan berkata, "Mungkin saya harus memulai penerbitan jurnal baru dengan tema 'Cara Agar Dosen Bisa Punya Banyak Jurnal Tanpa Gila'."
Banyak dosen yang mengaku, pengajuan serdos ini terkadang bisa membuat mereka merasa seperti sedang mengisi formulir pengajuan kredit di bank, bahkan mungkin lebih mudah mengajukan kredt di bank. Mengapa? Karena banyak sekali data yang diminta, banyak langkah yang harus dilalui, dan kadang-kadang data yang diminta sepertinya lebih rumit daripada menjelaskan teori kuantum fisika kepada mahasiswa. Misalnya, ada kolom yang bertuliskan "Jurnal dengan dampak internasional", yang kemudian diikuti dengan kolom "Indeks Sinta." Dosen yang tidak terbiasa dengan Sinta mungkin bertanya, "Sinta itu siapa? Kenapa saya harus tahu indeksnya?" Padahal, Sinta adalah sistem pengukuran kualitas jurnal ilmiah di Indonesia. Bisa dibayangkan betapa pusingnya dosen yang baru pertama kali menghadapinya. Rasanya seperti baru tahu kalau ternyata ada beberapa sistem pengukuran kualitas lain selain IPK mahasiswa.
Ada satu cerita dari seorang dosen yang sedang mengajukan serdos. Dia mengeluh, "Dokumen pendukung? Ada yang bilang harus punya 10 jurnal. Saya bingung, apa saya dosen atau jadi penulis novel best-seller dulu? Setiap kali selesai seminar, kok rasanya saya sudah menulis sebuah buku, ya?!"
Dosen ini bercerita, "Tapi yang paling lucu adalah ketika saya memutuskan untuk menulis jurnal tentang pengaruh kopi terhadap produktivitas dosen. Eh, ternyata ada yang lebih dulu menerbitkan jurnal yang judulnya 'Efek Kopi pada Mahasiswa dan Dosen yang Menunggu Tugas Keluar'. Kalau begini terus, saya pikir saya harus memulai penulisan tentang pengaruh deadline terhadap kreativitas."
Lantas bagaimana dengan Sertifikasi guru SMU? ah, siapa yang bisa melupakan perjalanan panjang itu? Meskipun banyak yang menganggapnya lebih "ringan" daripada proses serdos dosen yang seperti ujian labirin tanpa ujung, jangan salah, menjadi guru SMU pun tetap penuh tantangan. Ada langkah-langkah tertentu yang harus ditempuh, dan beberapa di antaranya cukup membuat kita berpikir, "Apakah ini benar-benar bagian dari pekerjaan saya sebagai pengajar?"
Langkah-langkah yang Harus Ditempuh Guru SMU:
- Tes Kompetensi Dasar dan Kompetensi Pedagogik, dimana guru SMU wajib melewati tes kompetensi dasar. Nah, tes ini bisa saja berupa ujian pengetahuan umum atau tes yang lebih serius---tergantung kebijakan pemerintah. Selain itu, ada juga tes kompetensi pedagogik yang menguji kemampuan mengajar, yang tentunya membutuhkan persiapan matang. Jadi, kalau Anda seorang guru SMU yang sudah terbiasa mengajar dengan pendekatan yang spontan, tes ini mungkin akan sedikit menantang, apalagi kalau yang diuji adalah cara mengelola kelas, bukan hanya rumus matematika yang sudah mendarah daging.
"Seorang guru SMU pernah bilang, 'Kalau tes kompetensi dasar itu gampang, kayak ujian umum. Tapi, begitu sampai ke tes pedagogik... Aduh, rasanya kayak ujian Cerdas Cermat, tapi dengan penonton yang ngasih nilai!'" - Pengalaman mengajar selama Beberapa tahun dudah jadi rahasia umum, guru SMU yang ingin mendapat sertifikasi harus punya pengalaman mengajar minimal beberapa tahun. Nah, yang menarik, pengalaman mengajar ini juga menjadi salah satu "kartu as" saat melamar sertifikasi. Jadi, kalau sudah mengajar berpuluh-puluh tahun, ya siap-siap aja dapat poin tambahan. Tapi kalau baru beberapa bulan, ya... harus sabar. Sepertinya pengalaman ini jadi alasan untuk memberi gelar "pahlawan pendidikan" bagi mereka yang sudah mengajar sejak zaman dahulu kala.