Mohon tunggu...
Sri Handoko Sakti
Sri Handoko Sakti Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN STEI RAWAMANGUN JAKARTA

HOBY MUSIC, MEMBACA , HIKING

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Rakyat dan Oligarki: Ketika Pemodal Mengatur Kebijakan

21 Oktober 2024   10:28 Diperbarui: 21 Oktober 2024   10:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, oligarki menjadi isu hangat dengan berbagai perspektif, baik positif maupun negatif. Oligarki merujuk pada konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elit, terutama dari kalangan ekonomi dan politik. Dalam sistem ini, keputusan penting lebih didasarkan pada kepentingan kelompok kecil tersebut, bukan pada aspirasi mayoritas rakyat.

Menurut Aristoteles, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang menyimpang karena hanya memprioritaskan kepentingan orang kaya. Kekuasaan dalam oligarki berputar di antara kalangan elit, yang mempertahankan dominasi dengan memperlihatkan seolah-olah terjadi perubahan, padahal kekuasaan tetap di tangan mereka. Dalam analogi pesta makan malam, rakyat mungkin memilih menu harian, tapi siapa yang duduk dan mendominasi pembicaraan di meja kekuasaan sudah ditentukan sejak awal.

Dilema Demokrasi dan Ilusi Partisipasi

Demokrasi seharusnya memastikan suara rakyat menjadi landasan kebijakan. Namun, dalam praktik oligarki, suara rakyat hanya formalitas. Aspirasi publik seperti suara dari ujung meja yang jarang didengar oleh penguasa. Pemilu, yang menjadi simbol demokrasi, sering kali hanya menciptakan ilusi partisipasi, karena keputusan strategis tetap berada di tangan elit yang sama.

Oligarki dan Konsentrasi Kekuasaan

Oligarki mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan kekayaan ekonomi sebagai senjata politik. Para oligark---pengusaha besar, elit politik, atau keluarga berpengaruh---menggunakan sumber daya mereka untuk memanipulasi demokrasi. Seperti sindiran, "Rakyat memilih, tapi kursi penting sudah diatur sejak pesta dimulai." Ini menggambarkan bahwa meskipun ada pemilu, kekuasaan tetap berputar di lingkup elit lama.

Dalam sistem ini, perubahan kepemimpinan hanya kosmetik. Wajah-wajah baru mungkin muncul, tapi mereka tetap berasal dari kalangan keluarga dan kroni, menjaga status quo. Seperti perumpamaan "restoran keluarga", meskipun koki berganti, resep dan kontrol tetap dipegang pemilik lama.

Uang dan Kekuasaan dalam Oligarki

Uang memainkan peran penting dalam menentukan arah kebijakan. Pemilik modal, donatur kampanye, dan penguasa media memengaruhi hasil pemilu dan kebijakan pemerintah demi keuntungan mereka. Akibatnya, kebijakan publik lebih menguntungkan kelompok elit dibandingkan dengan kebutuhan rakyat kecil. Janji pemilu diibaratkan seperti kartu kredit: setelah terpilih, bunga besar mulai ditagih.

Dinasti Politik dan "Restoran Keluarga"

Partai politik di Indonesia sering beroperasi layaknya kerajaan keluarga. Jabatan pimpinan diwariskan kepada keluarga atau kroni dekat, menghambat regenerasi kader dan partisipasi politik yang sehat. Figur-figur baru yang muncul biasanya sudah ditentukan jauh sebelum rakyat mengenal mereka. Dalam analogi lain, "restoran keluarga" menggambarkan bahwa meskipun kepemimpinan tampak berubah, ideologi dan strategi tetap dikendalikan oleh elit lama.

Dampak Oligarki pada Kebijakan Publik

Oligarki sangat memengaruhi kebijakan publik di Indonesia. Banyak kebijakan lebih menguntungkan korporasi besar atau investor asing, sementara rakyat kecil harus berjuang tanpa banyak dukungan. Contoh nyata adalah ketika harga kebutuhan pokok naik, rakyat diminta bersabar, tapi saat saham jatuh, pemerintah langsung bertindak cepat.

Kebijakan publik yang lahir dari sistem oligarki mencerminkan kepentingan elit, bukan kepentingan masyarakat. Meskipun Indonesia adalah negara demokrasi, keputusan penting sering diambil dalam rapat-rapat tertutup, tanpa keterlibatan rakyat. Seperti sindiran, "Nasib kita ditentukan di ruang rapat yang tak ada rakyatnya."

Oligarki dan Ilusi Demokrasi

Proses politik sering kali hanya menciptakan ilusi partisipasi. Pemilu dan janji kampanye digunakan untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka memiliki suara. Namun, begitu pemilu usai, kepentingan elit kembali mendominasi. Seperti badut sirkus yang berganti kostum menjadi direktur setelah pertunjukan selesai, janji-janji kampanye hanyalah sekadar hiburan sementara.

Narasi populis, seperti subsidi mendadak dan janji reformasi, sering digunakan menjelang pemilu untuk menarik simpati rakyat. Namun, begitu pemilu selesai, fokus kebijakan kembali kepada kepentingan elit ekonomi dan politik. Pemilu adalah pesta besar, tapi menu utama sudah dipilih jauh sebelum undangan sampai ke tangan rakyat.

Mengurangi Pengaruh Oligarki: Solusi dan Harapan

Mengurangi dominasi oligarki membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat. Rakyat harus berperan tidak hanya saat pemilu, tapi juga dalam proses pengawasan dan pengambilan kebijakan. Literasi politik perlu ditingkatkan agar masyarakat mampu mengenali dan melawan manuver oligarki.

Berikut beberapa langkah untuk mengurangi pengaruh oligarki:

  1. Peningkatan Literasi Politik: Pendidikan politik perlu diperkuat agar masyarakat lebih kritis terhadap manuver elit.
  2. Gerakan Masyarakat Sipil: Organisasi masyarakat dapat menjadi alat kontrol dan pengawas kebijakan publik.
  3. Partisipasi Aktif dalam Legislasi: Rakyat harus terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, bukan hanya memilih pemimpin.
  4. Transparansi dan Akuntabilitas: Pemerintah harus didorong untuk terbuka agar ruang bagi oligarki semakin sempit.

Kesimpulan: Harapan bagi Masa Depan Demokrasi

Demokrasi di Indonesia masih harus berjuang melawan dominasi oligarki. Meskipun wajah-wajah baru muncul di panggung politik, kekuasaan tetap berada di tangan kelompok elit yang sama. Proses politik sering kali seperti sandiwara yang menarik, meski rakyat sudah tahu alurnya. Namun, harapan tetap ada bahwa episode berikutnya akan membawa perubahan.

Tulisan ini mengajak masyarakat untuk memahami peran oligarki dan mengambil peran aktif dalam memperjuangkan demokrasi. Meskipun rakyat tidak bisa sepenuhnya mengubah sistem, mereka bisa memilih pemimpin yang lebih peduli dan responsif. Pada akhirnya, rakyat harus belajar bahwa meskipun pesta politik bukan untuk mereka, setidaknya mereka bisa memilih tamu yang lebih sopan.

Dengan sindiran dan anekdot, pesan ini disampaikan agar masyarakat merenungi kondisi politik Indonesia dengan tetap optimis terhadap perubahan di masa depan dan kita masih berharap banyan untuk pemerintahan Prabowo-Gibran serta terus mengawal janji janji politik yang dielu elukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun