Gratifikasi sebuah problema
Masalah gratifikasi Kembali mencuat sejak bergulirnya gaya plesir dari Anak presiden Jokowi, yaitu Kaesang Pangarep yang bersama istrinya melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dengan menggunakasn pesawat jet yang mewah yang diduga sebagai pemberian gratifikasi dari pemilik E-commerce terkenal Shopee dan untuk keperluan perjalanan tersebut mereka membelanjakan sekitar 145 Milyar untuk sekali jalan. Biaya yang sangat fantastis dan menjadi ramai karena bersamaan ditengah situasi ekonomi yang tidak baik serta demo yang meluas mengenai rencana Baleg DPR untuk membatalkan tuntutan MA dalam pengaturan PILKADA. Ditambah juga banyak rakyat Indonesia, terutama ekonomi kelas menengah yang turun serta semakin susah nya kondisi ekonomi rakyat bawah.
Dari sinilah mulai digulirkan mengenai pemberian kasus gratifikasi terhadap masalah tersebut. Penulis ingin membahas mengenai gratifikasi. Definsi Gratifikasi adalah dapat diartikan secara luas sebagai pemberian yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima oleh seseorang terkait dengan jabatannya atau pekerjaannya yang berlawanan dengan ketentuan hukum atau kode etik yang berlaku. Gratifikasi bisa dianggap sebagai bentuk suap jika pemberian tersebut berhubungan dengan kekuasaan atau kewenangan penerima dalam menjalankan tugas dan dapat memengaruhi keputusan yang diambil. Dalam konteks hukum di Indonesia, gratifikasi yang berhubungan dengan penyelenggara negara atau pegawai negeri dianggap sebagai tindak pidana korupsi jika tidak dilaporkan dalam jangka waktu tertentu.
Kata "gratifikasi" berasal dari bahasa Latin "gratus" yang berarti "menyenangkan" atau "berterima kasih." Dalam konteks aslinya, gratifikasi merujuk pada pemberian yang dilakukan untuk menyenangkan seseorang atau menunjukkan rasa terima kasih. Dalam bahasa Inggris, istilah ini berkembang menjadi "gratification", yang berarti pemberian atau kepuasan yang diberikan kepada seseorang. Secara etimologis, kata ini juga dipengaruhi oleh kata kerja Latin "gratificari", yang berarti "melakukan sesuatu untuk menyenangkan orang lain." Pada perkembangannya, terutama dalam konteks hukum dan pemerintahan, istilah gratifikasi kemudian mengalami perubahan makna, yaitu menjadi pemberian yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan seseorang, dan dalam hukum korupsi di Indonesia, menjadi sebuah istilah yang mengacu pada pemberian yang bisa dianggap suap jika tidak dilaporkan.
Berikut beberapa pendapat yang memberikan definisi mengenai gratifikasi, diantaranya :
Buku: Pedoman Gratifikasi: Panduan Praktis bagi Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri Menurut KPK, gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, termasuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, perjalanan, pengobatan, dan fasilitas lainnya yang diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri terkait dengan jabatan mereka. Gratifikasi tersebut dapat dianggap suap jika berhubungan dengan tugas dan wewenang penerima.
Dr. Indriyanto Seno Adji -- Buku: Korupsi di Indonesia: Masalah dan Upaya Pemberantasannya.
Menurut Indriyanto Seno Adji, gratifikasi adalah pemberian yang terjadi dalam hubungan kerja atau jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Pemberian ini dianggap sebagai suap bila tujuannya adalah untuk memengaruhi keputusan atau tindakan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Prof. Romli Atmasasmita -- Buku: Teori dan Praktik Pemberantasan Korupsi di Indonesia mendefinisikan gratifikasi sebagai segala bentuk pemberian atau janji yang diterima seseorang dalam konteks jabatannya, yang dapat mengarah pada tindakan korupsi apabila pemberian tersebut memengaruhi keputusan atau tindakan yang tidak seharusnya dilakukan.
Kesimpulannya, para ahli umumnya sepakat bahwa gratifikasi adalah pemberian yang terjadi dalam konteks jabatan atau pekerjaan seseorang, dan bila tidak dikelola dengan benar, dapat menjadi bentuk suap yang bertentangan dengan etika, hukum, dan norma.
Sejarah perkembangan gratifikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berkaitan erat dengan upaya pemberantasan korupsi yang berkembang dari masa ke masa. Berikut ini adalah perkembangan sejarah terkait gratifikasi dalam konteks pemerintahan di Indonesia:
1. Masa Orde Lama (1945-1966)
Pada masa awal kemerdekaan, penegakan hukum terkait korupsi, termasuk gratifikasi, belum menjadi prioritas utama. Pemerintahan lebih fokus pada upaya membangun negara yang baru merdeka, dan isu-isu gratifikasi serta korupsi belum mendapatkan perhatian besar. Namun, praktik gratifikasi sudah mulai muncul dalam lingkungan birokrasi dan pemerintahan, meskipun belum ada regulasi yang spesifik mengaturnya.
2. Masa Orde Baru (1966-1998)
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, korupsi dan gratifikasi semakin meluas dan menjadi bagian dari sistem birokrasi. Meskipun pemerintah Orde Baru membentuk berbagai badan anti-korupsi, seperti Komisi Empat (dibentuk tahun 1970) dan Operasi Tertib (Opstib) pada 1977, penanganan korupsi termasuk gratifikasi tidak efektif karena adanya pembiaran dan keterlibatan elite politik serta militer. Pada era ini, gratifikasi dalam bentuk pemberian hadiah kepada pejabat negara sering kali menjadi praktik yang umum, bahkan seolah-olah dilegalkan dalam praktik birokrasi. Banyak pejabat negara menerima pemberian berupa uang, barang, atau fasilitas lainnya sebagai imbalan atas layanan yang diberikan.
3. Reformasi (1998-sekarang)
Reformasi 1998 menjadi titik balik dalam upaya penanganan korupsi, termasuk gratifikasi. Krisis ekonomi dan jatuhnya Orde Baru membuat masyarakat menuntut pemerintahan yang bersih dari korupsi. Periode ini ditandai dengan berbagai reformasi hukum dan kebijakan anti-korupsi, termasuk pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
4. Pembentukan Regulasi Khusus tentang Gratifikasi
Setelah KPK didirikan, gratifikasi menjadi salah satu fokus utama dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK memperkenalkan pengaturan khusus terkait gratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang ini, gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30 hari dianggap sebagai suap dan masuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Untuk mendukung hal ini, KPK juga mengeluarkan berbagai panduan dan pedoman terkait pelaporan gratifikasi, termasuk kewajiban bagi penyelenggara negara untuk melaporkan setiap penerimaan gratifikasi yang mereka terima. Ini merupakan langkah penting dalam menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
5. Pelaporan Gratifikasi dan Pendidikan Publik
Seiring dengan perkembangan teknologi, KPK memperkenalkan sistem pelaporan gratifikasi secara online yang mempermudah penyelenggara negara dalam melaporkan pemberian yang diterima. Selain itu, KPK terus melakukan kampanye edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat dan penyelenggara negara tentang pentingnya pelaporan gratifikasi.
KPK juga mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengawasan dan pelaporan gratifikasi yang diterima pejabat negara. Hal ini bertujuan untuk membangun budaya anti-korupsi yang lebih kuat dan mengurangi praktik gratifikasi dalam pemerintahan.
6. Perkembangan Terkini
Pada masa kini, gratifikasi tetap menjadi isu krusial dalam upaya pemberantasan korupsi. Meski sudah ada regulasi dan mekanisme pelaporan, praktik gratifikasi masih ditemukan dalam birokrasi Indonesia. KPK terus berupaya memperkuat penegakan hukum, mengembangkan sistem pelaporan yang lebih efisien, dan melakukan pendidikan publik agar masyarakat lebih memahami dampak gratifikasi terhadap tata kelola pemerintahan.
Perkembangan sejarah gratifikasi di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun isu ini sudah lama ada, upaya penanganan yang efektif baru mulai dilakukan setelah era reformasi, terutama dengan terbentuknya KPK. Regulasi yang lebih ketat dan peningkatan kesadaran publik menjadi kunci untuk menekan praktik gratifikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Beberapa kasus gratifikasi terbaru di Indonesia telah diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2023, diantaranya :
Kasus Rafael Alun Trisambodo
Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo, terlibat dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Rafael dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun dan denda sebesar Rp500 juta. Kasus ini bermula dari gaya hidup mewah keluarganya yang terungkap setelah insiden penganiayaan yang dilakukan anaknya, Mario Dandy. Investigasi lebih lanjut menemukan adanya penerimaan gratifikasi terkait pencatatan pajak.
Kasus Andhi Pramono
Mantan pejabat Bea Cukai, Andhi Pramono, terjerat kasus gratifikasi sebesar Rp28 miliar terkait aktivitas ekspor-impor. Uang tersebut diduga diperoleh dari pengusaha yang menerima bantuan kepabeanan. Andhi menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi, seperti membeli berlian, rumah, dan polis asuransi. KPK mengusut kasus ini pada pertengahan 2023, dan Andhi disangkakan melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan TPPU(Bisnis.com).
Kasus Syahrul Yasin Limpo (Mantan Menteri Pertanian)
Pada Oktober 2023, Syahrul Yasin Limpo, mantan Menteri Pertanian, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan gratifikasi dan pemerasan selama menjabat. Syahrul diduga mengumpulkan dana upeti dari bawahannya dan terlibat dalam korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Katadata)(Bisnis.com).
Kasus-kasus ini menunjukkan upaya terus-menerus KPK dalam menangani gratifikasi di kalangan pejabat negara, meskipun tantangan besar tetap ada dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. beberapa kebijakan pemerintah mengenai gratifikasi dan perundangan yang berkaitan dengannya. Adalah beberapa Upaya dari  Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang gratifikasi, dengan tujuan untuk mencegah korupsi dan menjaga integritas penyelenggara negara. Berikut beberapa kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan gratifikasi:
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Undang-Undang ini menjadi dasar hukum utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara dianggap sebagai bentuk suap jika tidak dilaporkan dan dapat memengaruhi tugas atau wewenang penerima. Dalam Pasal 12B, dinyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap jika berhubungan dengan jabatannya.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999)
UU ini merupakan revisi dari UU sebelumnya dan mempertegas aturan mengenai gratifikasi. Penerima gratifikasi diwajibkan untuk melaporkan setiap pemberian yang diterimanya kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja. Jika tidak dilaporkan, gratifikasi tersebut dianggap sebagai suap.
3. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi dimana KPK menerbitkan peraturan ini untuk memberikan panduan lebih lanjut kepada penyelenggara negara terkait mekanisme pelaporan gratifikasi. Peraturan ini mengatur tata cara pelaporan, pemeriksaan, dan tindak lanjut gratifikasi. Dengan adanya peraturan ini, penyelenggara negara diharapkan memahami kewajibannya dalam melaporkan penerimaan gratifikasi.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
PP ini mengatur tentang kewajiban Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menjaga integritas dan tidak menerima pemberian atau gratifikasi yang dapat mempengaruhi tugas-tugas mereka. PNS yang terbukti menerima gratifikasi tanpa melaporkan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pemecatan.
5. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
Instruksi Presiden ini menegaskan komitmen pemerintah untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi, termasuk pengawasan terhadap gratifikasi. Melalui instruksi ini, semua kementerian, lembaga, dan instansi diinstruksikan untuk memperkuat pengawasan dan pencegahan korupsi.
6. Surat Edaran Bersama Menteri PAN dan RB serta Kepala BKN No. 01/SEB/M.PAN/01/2010
Surat edaran ini dikeluarkan untuk memperkuat peran dan fungsi PNS dalam pencegahan gratifikasi. Dalam edaran ini, dinyatakan bahwa PNS harus menolak segala bentuk gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan atau tugas-tugas mereka.
7. Kode Etik dan Kode Perilaku Penyelenggara Negara
Beberapa lembaga negara memiliki kode etik dan kode perilaku yang mengatur penerimaan gratifikasi oleh para penyelenggara negara. Kode etik ini menjadi panduan bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya dengan integritas dan akuntabilitas.
Kebijakan-kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat pengawasan terhadap gratifikasi dan memberikan landasan hukum yang jelas bagi para penyelenggara negara dan pegawai negeri agar dapat menghindari penerimaan gratifikasi yang melanggar hukum. Praktik gratifikasi dalam pemerintahan Indonesia memiliki dampak yang luas dan serius terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut beberapa dampak signifikan yang muncul dari gratifikasi, serta cara penanggulangannya:
- Korupsi Sistemik Gratifikasi sering kali menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi sistemik, di mana pemberian imbalan atau hadiah kepada pejabat publik dapat memengaruhi keputusan-keputusan penting. Ini berdampak buruk pada kualitas pelayanan publik karena keputusan yang diambil lebih dipengaruhi oleh keuntungan pribadi daripada kepentingan masyarakat.
- Penurunan Kepercayaan Publik Ketika gratifikasi terjadi secara luas, masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan lembaga publik. Mereka akan merasa bahwa penyelenggaraan pemerintahan lebih condong melayani kepentingan pribadi pejabat daripada kepentingan umum. Hal ini dapat mengurangi partisipasi publik dalam proses pemerintahan dan memicu ketidakpuasan sosial.
- Inefisiensi Birokrasi Praktik gratifikasi sering kali menyebabkan inefisiensi dalam birokrasi. Pegawai negeri yang menerima gratifikasi cenderung memperlambat proses administrasi untuk mendapatkan lebih banyak "imbalan". Akibatnya, pelayanan publik menjadi lamban dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
- Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Gratifikasi dapat memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi karena sumber daya negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru dialokasikan secara tidak merata. Pejabat yang menerima gratifikasi cenderung memberikan akses kepada kelompok yang mampu memberikan hadiah, sehingga kelompok yang tidak mampu menjadi semakin terpinggirkan.
- Kerugian Negara Gratifikasi berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi negara. Aset-aset yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum digunakan untuk kepentingan pribadi pejabat yang terlibat dalam praktik gratifikasi. Kerugian ini juga berkontribusi pada lambatnya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum Penegakan hukum yang tegas sangat penting dalam menanggulangi gratifikasi. Pemerintah dan lembaga penegak hukum seperti KPK perlu meningkatkan pengawasan serta menegakkan aturan yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifikasi yang tidak dilaporkan harus segera diusut, dan pejabat yang terlibat harus diberikan sanksi yang tegas (Katadata).
Sosialisasi dan Pendidikan Anti-Korupsi Edukasi kepada masyarakat dan pegawai negeri sangat penting dalam menekan praktik gratifikasi. KPK sering kali melakukan kampanye dan sosialisasi terkait pentingnya melaporkan gratifikasi dan bahaya korupsi. Program ini harus ditingkatkan, terutama dengan memasukkan materi anti-gratifikasi dalam kurikulum pendidikan.
Sistem Pelaporan Gratifikasi Penyediaan sistem pelaporan gratifikasi yang mudah diakses dan anonim sangat penting dalam mendorong pegawai negeri untuk melaporkan gratifikasi yang mereka terima. Sistem online yang telah dikembangkan oleh KPK, seperti Aplikasi Gratifikasi Online (GOL), dapat dimanfaatkan untuk mempercepat proses pelaporan dan pengawasan.
Transparansi dalam Administrasi Publik Meningkatkan transparansi dalam administrasi dan pengambilan keputusan dapat mengurangi peluang terjadinya gratifikasi. Misalnya, proses tender atau pengadaan barang dan jasa harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipantau oleh publik. Hal ini akan mencegah terjadinya praktik gratifikasi dalam proyek-proyek pemerintah.
Penguatan Etika dan Kode Perilaku Pejabat Publik Setiap pejabat publik harus tunduk pada kode etik dan kode perilaku yang mengatur penerimaan gratifikasi. Lembaga pemerintah perlu memastikan bahwa setiap pejabat memahami dan mematuhi aturan tersebut. Penerapan sanksi etik yang tegas juga perlu dilakukan bagi mereka yang melanggar kode etik. Dengan mengatasi masalah gratifikasi melalui pendekatan regulasi, pendidikan, dan transparansi, diharapkan praktik ini dapat diminimalisir dan pemerintahan yang lebih bersih dan akuntabel dapat terwujud di Indonesia.
Diakhir pmerintahan presiden Jokowi Isu mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang "dikerdilkan" atau dianggap mengalami penurunan kekuatan di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berkaitan dengan sejumlah perubahan dan kebijakan yang diambil dalam beberapa tahun terakhir. Puncak dari permasalahan berawal dari kasus perjalanan Kaesang sana anak presiden sebagaimana disebutkan di atas memberi ruang kepada publik dan masyarakat luas untuk mempertegas dan mempermasalah kebijakan gratifikasi ini apalagi kemudian dikaitkan dengan fungsi KPK sebagai Lembaga yang dianggap berpihak kepada pemerintah dibandingkan dengan rakyat. Â Beberapa hal utama yang sering disebut-sebut sebagai bentuk pengkerdilan Lembaga KPK ini adalah :
- Revisi Undang-Undang KPK (UU No. 30 Tahun 2002): Pada tahun 2019, terjadi perubahan signifikan dalam UU KPK melalui UU No. 19 Tahun 2019. Perubahan ini dinilai oleh sebagian kalangan sebagai upaya untuk mengurangi kewenangan KPK. Beberapa perubahan yang dianggap kontroversial antara lain:
- Pembentukan Dewan Pengawas dimana Dewan Pengawas diberi wewenang untuk mengawasi dan menilai tindakan KPK, termasuk hak untuk memberikan nasihat dan peringatan. Hal ini dinilai dapat menghambat independensi KPK.
- Pembatasan Penyadapan dimana Perubahan ini mengatur lebih ketat mengenai penggunaan alat penyadapan, yang dianggap dapat membatasi kemampuan KPK dalam melakukan penyelidikan.
- Kewenangan Penyidikan: Perubahan juga mempengaruhi kewenangan penyidikan dan penuntutan, yang dianggap dapat mempengaruhi efektivitas penegakan hukum oleh KPK.
- Proses Seleksi Pimpinan KPK dan Pengangkatan pimpinan KPK di bawah pemerintahan Jokowi dilakukan melalui mekanisme yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proses ini seringkali mendapat kritik karena dianggap tidak sepenuhnya transparan atau karena calon pimpinan yang terpilih dianggap tidak memiliki rekam jejak yang memadai dalam pemberantasan korupsi.
- Kasus-Kasus Kontroversial pada beberapa kasus atau keputusan yang diambil oleh KPK dalam beberapa tahun terakhir juga sering menjadi sorotan. Ada yang berpendapat bahwa adanya intervensi politik atau tekanan terhadap KPK mempengaruhi kinerjanya dalam menangani kasus-kasus besar.
- Isu Pendanaan dan Sumber Daya dimana ada kekhawatiran mengenai alokasi anggaran dan sumber daya untuk KPK yang dianggap tidak memadai, yang dapat mempengaruhi kemampuan KPK dalam menjalankan tugasnya secara efektif.
Beberapa perubahan dan isu tersebut telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pengamat anti-korupsi bahwa KPK mungkin mengalami penurunan kekuatan dan efektivitas dalam melawan korupsi. Pemerintah dan pendukung perubahan, di sisi lain, berpendapat bahwa perubahan tersebut diperlukan untuk meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi KPK. Dalam pemerintahan baru nanti masyratakat banyak berharap terhadap pemberantasan korupsi dan penyalah gunaan jabatan. Memang dibutuhkan keberanian pemipin Prabowo untuk memberantasnya, sehingga kredibiltas negara kita akan meningkat dan
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H