Saat ini kata Nepotisme banyak bergaung dan diperbincangkan kembali di dalam masyarakat Indonesia, dimulai sejak pesta demokrasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Kata Nepotisme ini bahkan disatukan menjadi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Nepotisme, korupsi, dan kolusi sering kali saling terkait dan saling memperkuat satu sama lain, terutama dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga fenomena ini sering disebut sebagai Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia, yang merujuk pada praktik yang tidak etis atau ilegal dalam pemerintahan, bisnis, dan organisasi lainnya. Berikut adalah bagaimana nepotisme, korupsi, dan kolusi saling berkaitan.
Ketiga elemen ini saling berhubungan dalam menciptakan lingkungan yang tidak etis dan merusak dalam pemerintahan atau bisnis.
- Nepotisme dapat menjadi pintu masuk bagi korupsi dan kolusi. Ketika anggota keluarga atau kerabat diberikan posisi penting tanpa kualifikasi, mereka mungkin menggunakan kekuasaan tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui korupsi, seperti menerima suap atau memperkaya diri sendiri.
- Kolusi sering kali diperlukan untuk mempertahankan praktik nepotisme. Orang yang berkuasa mungkin berkolusi dengan rekan kerja atau pejabat lain untuk memastikan bahwa nepotisme bisa berjalan tanpa adanya investigasi atau pengawasan. Kolusi ini juga bisa melibatkan persekongkolan antara pemimpin dan keluarga atau teman-temannya.
- Korupsi pada akhirnya memungkinkan kelangsungan praktik nepotisme dan kolusi, karena kekayaan atau kekuasaan yang diperoleh dari tindakan korupsi sering digunakan untuk mempertahankan jaringan keluarga dan kolega di posisi penting.
Ketika nepotisme, kolusi, dan korupsi terjadi secara bersamaan, hasilnya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang luas yang merusak tatanan demokratis, menurunkan efisiensi pemerintahan, dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang adil.
Dalam tulisan ini saya tidak membahas secara langsung mengenai kolusi dan korupsi walaupun berkaitan erat. Saya hanya ingin membahas lebih dalam mengenai Nepotisme saja dari mulai istilah hingga Sejarah perkembangannya di dunia dan juga khususnya di Indonesia.
Berikut adalah beberapa pendapat/definisi dari para ahli mengenai Nepotisme itu sendiri
1. Frederick M. Wirt (1964) dalam bukunya, "Power in the City: Decision Making in San Francisco", Frederick M. Wirt mendefinisikan nepotisme sebagai "Tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat atau pemegang kekuasaan untuk memberikan pekerjaan atau posisi kepada anggota keluarga atau kerabat dekat, tanpa memperhatikan kualifikasi individu tersebut." Definisi ini menekankan bahwa nepotisme berkaitan dengan pemberian posisi atau jabatan berdasarkan hubungan keluarga daripada merit atau kompetensi.
2. Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2007) dalam bukunya yang berjudul  "Organizational Behavior", Robbins dan Judge mendefinisikan nepotisme sebagai "Tindakan memberikan pekerjaan atau keuntungan kepada individu yang memiliki hubungan keluarga dengan pejabat atau pemegang otoritas, meskipun individu tersebut mungkin tidak memenuhi syarat atau kompeten untuk posisi tersebut." Definisi ini menekankan bahwa nepotisme melibatkan praktik memberikan pekerjaan kepada individu yang terkait secara keluarga, tanpa memperhatikan kualifikasi atau kompetensi mereka.
3. Sharma, Chrisman, dan Chua (1997) Dalam studi mereka tentang bisnis keluarga, Sharma, Chrisman, dan Chua menyebutkan bahwa: "Nepotisme adalah kecenderungan pemilik bisnis atau pemimpin untuk memberi preferensi kepada anggota keluarga dalam hal pekerjaan, jabatan, dan promosi, meskipun mungkin ada kandidat lain yang lebih layak." Dalam konteks ini, nepotisme sering dibahas dalam lingkungan perusahaan keluarga, di mana preferensi diberikan kepada anggota keluarga dibandingkan karyawan lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nepotisme umumnya diartikan sebagai pemberian hak istimewa, pekerjaan, atau posisi kepada kerabat dekat atau anggota keluarga tanpa mempertimbangkan kualifikasi atau kompetensi mereka, dan sering kali dilakukan oleh individu yang memiliki kekuasaan atau pengaruh. Hal ini dianggap sebagai bentuk favoritisme yang tidak adil dan dapat merusak integritas organisasi atau pemerintahan.
Kata nepotisme itu sendiri berasal dari bahasa Latin "nepos" yang berarti "keponakan" atau "cucu". Istilah ini berakar dalam praktik yang terjadi pada Abad Pertengahan, terutama di dalam lingkup Gereja Katolik Roma, ketika para pemimpin gereja, khususnya para Paus, sering kali memberikan posisi, kekuasaan, atau hak istimewa kepada keponakan mereka atau anggota keluarga lainnya.
Nepotisme mulai muncul secara signifikan dalam konteks Gereja Katolik pada abad ke-14 hingga abad ke-17. Pada periode ini, sejumlah Paus, yang tidak memiliki anak kandung karena sumpah selibat, justru sering memberi jabatan gereja yang berpengaruh kepada kerabat dekat mereka, terutama keponakan. Jabatan-jabatan ini biasanya sangat berkuasa, seperti jabatan kardinal atau pimpinan keuskupan. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa kerabat dekat lebih dapat dipercaya dan dianggap setia terhadap kepentingan keluarga, termasuk menjaga kekuasaan dan pengaruh Paus atau pemimpin gereja tersebut.