Mana aku tau kalau kisah percintaanku kali ini merupakan hubungan paling sehat dari sebelum-sebelumnya. Mana aku tahu ternyata ada laki-laki yang ketika aku marah tidak memarahi balik, mampu membujuk tanpa lelah, dan tidak didiamkan saja. Mana aku tahu lelakiku kali ini bisa masuk sebagai karakter yang ternyata paling aku butuhkan dalam hidupku. Persetan dengan paras, persetan dengan kekayaan, semua hanya semu tetapi tidak dengan karakter.
Aku dan segala kertas yang berserakan di lantai, semilir angin dari jendela, serta langit biru menaungiku di atas sana. Tak pernah habis pikir bagaimana aku akhirnya bisa berdampingan dengannya. Merayu Tuhan agar bersatu sampai ke sisi-Nya, menemaniku di sisa hidup sampai bertemu di surga-Nya. Sungguh Tuhan, bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih kepadaMu? Tiada lagi ucap selain ungkap syukurku pada-Mu, Tuhan.
Sebentar, sebelum aku lanjut pujian-pujianku pada Tuhan, aku akan balik ke tahun lalu agar aku bisa ceritakan padamu seutuhnya tentang pertemuanku dengan manusia satu ini.
Hari itu, di salah satu hari setelah Lebaran 'idul Fitri aku banyak menghela nafas, lagu Somebody's Pleasure nya Aziz Hendra terus mengalun membawa senandung pilu membiru di hati. Sepulangnya aku setelah seharian bersama teman baikku, aku banyak berpikir tentang angan yang tak pasti. Ternyata temanku merasakan hal yang sama, ah sialnya, lagu ini juga demikian. Hubungan yang entah apa ini namanya, aku terjebak (lagi) di dalamnya. Apakah aku hanya bentuk kesenangan saja baginya? Apa artinya cinta yang tulus itu? Ataukah disini harus aku yang berjuang sekeras-kerasnya agar semuanya dapat digapai? Aku terus bertanya-tanya akan hal itu tapi tak kunjung dapat jawaban.
Setelah sebelumnya di penghujung 2022 aku mendapat angin segar, aku dicintai dengan baik, aku diperlakukan dengan baik, tapi ternyata takdir dan tragedi menertawakanku di belakang panggung. Kata mereka aku belum pantas dan tidak pantas mendapatkan cinta dari orang-orang yang membersamaiku di waktu-waktu itu. Sudah cukup aku merasa banyak tangis berurai di tahun itu. Sudah cukup rasanya aku memikul banyak rasa kecewa, mengecewakan, dan dikecewakan. Tapi belum cukup juga semua rasa sakit itu sampai awal 2023 lalu.
Benar, salahku juga mengabaikan banyak orang demi mengemis satu cinta, entahlah, aku membersamai orang yang salah atau mencintai orang salah. Padahal, di luaran sana masih banyak laki-laki yang lebih baik dari mereka semua, yang mampu memenuhi dan mengimbangi egoku yang setinggi gunung. Mampu mengimbangi dengan kesabaran seluas samudera dengan segala keresahan dan sumpah serapahku ketika naik pitam.
"Apa yang akan kulakukan kini?" tanyaku pada langit-langit kamar.
Langit-langit kamar tak bergeming.
"Apa arti dari cinta yang tulus? Kenapa yang aku dapatkan sampai saat ini hanyalah keinginan mereka yang bahkan aku sendiri tak mau melakukannya? Yang aku lakukan sampai hari ini hanya kekosongan dan hampa." Ujarku pada angin semilir, mataku terasa agak pedih dan panas, rupanya air mata jatuh mengairi segala yang melewatinya begitu pun dengan lagu itu selesai berganti dengan lagu lainnya.
Terkadang, saat semua kesedihan itu berlalu begitu saja, aku berkenalan dengan banyak laki-laki dan menjadikannya teman tentu saja, sebagai pengisi kesepian. Di salah satu kegiatan itu, aku menemukan akun media sosial seseorang yang ku kenal di tempat kerja. Yah, aku hanya mengenalnya sebagai si A yang bekerja di sebelah gedung sekolahku, orang itu, aku menyebutnya sebagai pendiam, si tanpa basa-basi dan hanya fokus bekerja. Aku pernah melihatnya beberapa kali ketika upacara hari senin, dan ketika ia pernah sekali duduk di kantor tempatku bekerja, itu pun hanya menumpang duduk untuk pekerjaannya ketika sedang seminar daring karena di sekolahnya sedang gaduh karena ada acara. Anehnya, saat itu aku berlagak centil, cari perhatian agar diperhatikan, tetapi nyatanya tidak digubris sama sekali.
Beberapa hari setelah aku klik fitur permintaan pertemanan itu, ia menerima dan mulai menghubungiku via Messenger, ia mengucapkan salam. Sontak aku yang menerima pesan itu terkejut, apa benar aku dihubungi duluan? Memangnya ia tahu siapa aku? Atau memang sudah kenal maka dari itu ini kesempatan nya untuk berkenalan?
Aku meletakkan ponsel dan berpikir sejenak, mulai berangan jika benar ia mendekatiku, bagaimana dengan hubungan tak pasti dengan mantanku kali ini? Apa akan kandas lagi? Aku mulai berpikir yang tidak-tidak lagi, belum tentu ia akan mendekatiku jika aku bekerja tepat di sebelah gedungnya? Benar, tidak ada salahnya pesimis terlebih dulu.
"Jalan Baru ramai ya kalau hari minggu?" tanya ia via pesan ketika aku tengah sibuk merapikan baju.
"iyalah, kan namanya juga jalan raya" balasku bergurau.
Ia melampirkan foto bahwa ia memiliki kamera digital dengan tujuan mengajakku berfoto di alam. Terbesit di pikiranku bahwa ia akan mulai mengajak bertemu. Di sisi lain aku tengah sibuk dengan kerjaan rumah, sisi lainnya aku masih berpikir dua kali untuk berkata dalam hati, "apa aku yakin mulai berkenalan dengannya?"
Aku memutuskan untuk menolak. Rasanya baru kemarin aku mengakhiri hubunganku dengan seseorang dan tragedi memilukan itu. Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama, tak mau merasakan kesedihan yang sama. Aku butuh berpikir lebih lama untuk menerimanya, entahlah, ia akan masih menerimanya atau tidak. Aku tahu, di kesendirian ini terkadang membuatku mudah untuk menerima ajakan orang-orang di sekitarku, bahkan untuk pergi ke tempat lain tanpa tahu apa tujuan mereka. Tetapi, untuk seseorang sebaik ia, rasanya aku tidak mau bermain-main dengannya.
Seperti yang sering rekan-rekan kerjaku bilang, terutama rekan kerja senior, berkata bahwa si A ini memiliki citra yang baik seperti orang-orang baik pada umumnya, patuh pada kedua orang tuanya, tidak pernah berbuat tercela, dan lain sebagainya. Maka dari itu, aku sangat berhati-hati dengan perasaanku sendiri. Aku ingin meyakinkan diri apa benar aku sudah siap dengan orang baru? Atau aku akan stagnan dengan hubungan tanpa status dengan mantanku yang entah selalu saja meng-iyakan aku untuk didekati orang lain.
Setelah bertukar nomor WhatsApp, ia mulai mengirim pesan hanya untuk sekedar memastikan bahwa nomor yang kuberikan memang benar atau tidak. Kebetulan saat itu aku tengah mengunggah cerpen, ia menanggapi dan kemudian mendekatiku dengan dalih ingin belajar membuat cerpen. Lucu memang, dengan beribu pengalaman yang pernah dilalui, ini adalah salah satu fase terlucu nya. Aku merasa terhibur kala itu, terima kasih telah hadir di hidupku ya.
Si Aku kala itu benar-benar dilanda dilema, antara melepaskannya lagi atau bertahan dengan ketidakpastian. Sampai pada ajakannya yang kedua di tanggal merah, aku kembali menolaknya. Rupanya aku belum berani berbicara dan meminta izin pada orang yang membersamaiku kala itu. Kemudian aku meminta pada orang-orang terdekatku, sebagian besar mengembalikan padaku untuk bertanya pada diri sendiri. Sebagian lainnya, terutama lingkungan kerjaku yang masih satu lingkungannya dengannya, mendukungku untuk bersegera bersama, alasan mereka yakni dengan segala kepribadian yang ia punya mengapa aku harus menolak?
Hari itu adalah tepat hari ulang tahunnya. Tanpa ada angin maupun hujan, bebagilah ia bingkisan nasi kotak pertanda rasa syukur pada rekan-rekan guru di gedung sebelahnya. Betul, sungguh aku terheran dengan tindakannya kala itu. Apakah ini salah satu bentuknya untuk merayuku? Kalau sudah seperti ini, tidakkah etis rasanya jika aku menolak ajakannya lagi untuk bertemu?
Aku kembali mengirimi ia pesan, mengucapkan terima kasih mewakili segenap guru-guru di sekolahku tentunya, apa hakku mengucapkan terima kasih secara pribadi? Tentu sambil berkembangnya pembahasan di kolom pesan itu, ia berkesempatan untuk mengajakku sekali lagi. Kali ini, ia berdalih meminta file koleksi-koleksi Film yang ku miliki dengan memberiku flashdisk untuk perantaranya. Apakah aku panik? Tentu, aku tidak pernah melalaikan janji yang telah ku buat.
Sembari aku mengunjungi temanku di kota untuk mengambil laptop, aku meminta pendapatnya mengenai keresahanku. Oh ya, salah satu fakta lucunya, di perjalanan aku banyak melamun mempertimbangkan untuk menemuinya atau tidak. Aku berkendara motor dengan mengaktifkan mode auto-pilot, hingga temanku menyadari bahwa aku berkendara lebih cepat dari biasanya. Selepas aku mengutarakan segala keresahanku, akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengannya.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H