Beberapa hari setelah aku klik fitur permintaan pertemanan itu, ia menerima dan mulai menghubungiku via Messenger, ia mengucapkan salam. Sontak aku yang menerima pesan itu terkejut, apa benar aku dihubungi duluan? Memangnya ia tahu siapa aku? Atau memang sudah kenal maka dari itu ini kesempatan nya untuk berkenalan?
Aku meletakkan ponsel dan berpikir sejenak, mulai berangan jika benar ia mendekatiku, bagaimana dengan hubungan tak pasti dengan mantanku kali ini? Apa akan kandas lagi? Aku mulai berpikir yang tidak-tidak lagi, belum tentu ia akan mendekatiku jika aku bekerja tepat di sebelah gedungnya? Benar, tidak ada salahnya pesimis terlebih dulu.
"Jalan Baru ramai ya kalau hari minggu?" tanya ia via pesan ketika aku tengah sibuk merapikan baju.
"iyalah, kan namanya juga jalan raya" balasku bergurau.
Ia melampirkan foto bahwa ia memiliki kamera digital dengan tujuan mengajakku berfoto di alam. Terbesit di pikiranku bahwa ia akan mulai mengajak bertemu. Di sisi lain aku tengah sibuk dengan kerjaan rumah, sisi lainnya aku masih berpikir dua kali untuk berkata dalam hati, "apa aku yakin mulai berkenalan dengannya?"
Aku memutuskan untuk menolak. Rasanya baru kemarin aku mengakhiri hubunganku dengan seseorang dan tragedi memilukan itu. Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama, tak mau merasakan kesedihan yang sama. Aku butuh berpikir lebih lama untuk menerimanya, entahlah, ia akan masih menerimanya atau tidak. Aku tahu, di kesendirian ini terkadang membuatku mudah untuk menerima ajakan orang-orang di sekitarku, bahkan untuk pergi ke tempat lain tanpa tahu apa tujuan mereka. Tetapi, untuk seseorang sebaik ia, rasanya aku tidak mau bermain-main dengannya.
Seperti yang sering rekan-rekan kerjaku bilang, terutama rekan kerja senior, berkata bahwa si A ini memiliki citra yang baik seperti orang-orang baik pada umumnya, patuh pada kedua orang tuanya, tidak pernah berbuat tercela, dan lain sebagainya. Maka dari itu, aku sangat berhati-hati dengan perasaanku sendiri. Aku ingin meyakinkan diri apa benar aku sudah siap dengan orang baru? Atau aku akan stagnan dengan hubungan tanpa status dengan mantanku yang entah selalu saja meng-iyakan aku untuk didekati orang lain.
Setelah bertukar nomor WhatsApp, ia mulai mengirim pesan hanya untuk sekedar memastikan bahwa nomor yang kuberikan memang benar atau tidak. Kebetulan saat itu aku tengah mengunggah cerpen, ia menanggapi dan kemudian mendekatiku dengan dalih ingin belajar membuat cerpen. Lucu memang, dengan beribu pengalaman yang pernah dilalui, ini adalah salah satu fase terlucu nya. Aku merasa terhibur kala itu, terima kasih telah hadir di hidupku ya.
Si Aku kala itu benar-benar dilanda dilema, antara melepaskannya lagi atau bertahan dengan ketidakpastian. Sampai pada ajakannya yang kedua di tanggal merah, aku kembali menolaknya. Rupanya aku belum berani berbicara dan meminta izin pada orang yang membersamaiku kala itu. Kemudian aku meminta pada orang-orang terdekatku, sebagian besar mengembalikan padaku untuk bertanya pada diri sendiri. Sebagian lainnya, terutama lingkungan kerjaku yang masih satu lingkungannya dengannya, mendukungku untuk bersegera bersama, alasan mereka yakni dengan segala kepribadian yang ia punya mengapa aku harus menolak?
Hari itu adalah tepat hari ulang tahunnya. Tanpa ada angin maupun hujan, bebagilah ia bingkisan nasi kotak pertanda rasa syukur pada rekan-rekan guru di gedung sebelahnya. Betul, sungguh aku terheran dengan tindakannya kala itu. Apakah ini salah satu bentuknya untuk merayuku? Kalau sudah seperti ini, tidakkah etis rasanya jika aku menolak ajakannya lagi untuk bertemu?
Aku kembali mengirimi ia pesan, mengucapkan terima kasih mewakili segenap guru-guru di sekolahku tentunya, apa hakku mengucapkan terima kasih secara pribadi? Tentu sambil berkembangnya pembahasan di kolom pesan itu, ia berkesempatan untuk mengajakku sekali lagi. Kali ini, ia berdalih meminta file koleksi-koleksi Film yang ku miliki dengan memberiku flashdisk untuk perantaranya. Apakah aku panik? Tentu, aku tidak pernah melalaikan janji yang telah ku buat.