Mohon tunggu...
Sri Endah Mufidah
Sri Endah Mufidah Mohon Tunggu... Guru - Guru PAI di Pemkab Blitar

Menyukai dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Meminimalisir Rumah Tidak Layak Huni dengan Rumah Swadaya

9 Januari 2022   15:01 Diperbarui: 26 Januari 2022   08:10 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah adalah salah satu kebutuhan primer yang harus dicukupi kebutuhannya. Sebisa mungkin, rumah harus dibuat senyaman mungkin, agar semua penghuninya betah untuk tinggal didalamnya. Jadikan rumah seperti surga (baity jannaty) bagi siapa saja yang ada di dalamnya.

Standar rumah yang nyaman tidak harus dengan ukuran yang luas, lantai yang mengkilap, dengan taman yang indah, dengan fasilitas yang lengkap, penuh dengan kecanggihan tehnologi didalamnya, bukan. 

Rumah yang nyaman tidak harus mewah. Rumah yang bersih, memenuhi standar kesehatan, memiliki ventilasi yang cukup, hujan, angin, panas serta dingin tidak bisa menerobos masuk, sebenarnya sudah cukup. 

Akan tetapi, saat ini semua orang sudah berlomba-lomba membangun rumah mewah nan megah. Ada rasa bangga apabila memiliki rumah mewah serta bertingkat, dan itu semua cukup meningkatkan rasa percaya diri apabila ada relasi yang hendak singgah.

Coba kalau kita mau sedikit membuka hati, bahwa masih banyak rumah yang menurut standar kesehatan belum layak dijadikan hunian. 

Lantai dari tanah yang lembab, sehingga hewan tanah bisa merembet masuk kedalamnya, atau dinding-dindingnya yang bolong, sehingga binatang bisa masuk, bahkan atap yang tidak sempurna, sehingga kalau hujan air bisa menerobos masuk.

Rumah swadaya (Sumber gambar: kompas.com)
Rumah swadaya (Sumber gambar: kompas.com)

Bahkan, ada beberapa rumah dipinggiran kota besar, banyak kita jumpai rumah yang berasal dari kardus atau karton bekas. 

Rumah-rumah tersebut sangat tidak layak untuk dihuni karena akan sangat membuat tidak nyaman penghuninya.  Apalagi tempatnya berdempetan dengan tempat pembuangan sampah, sehingga banyak lalat, kecoa, serta binatang lain yang masuk ke dalam rumah. 

MCK (mandi, cuci, kakus) nya juga sangat tidak layak. Hanya terbuat dari sak bekas kemasan semen atau beras, atau WC-nya ada diatas bantaran sungai. MasyaAllah.

Penulis yakin, sebenarnya mereka pasti tidak nyaman berada di dalamnya. Mereka "terpaksa" serta "dipaksa" betah untuk tinggal didalamnya oleh keadaan. Kalau diperbolehkan memilih, mereka pasti memilih berada di tempat yang nyaman serta enak untuk dijadikan tempat tinggal.

Program pemerintah untuk meminimalisir Rumah Tidak layak Huni (RTLH) harus kita sambut dengan baik. Meskipun penulis secara pribadi tidak pernah berharap mendapat bantuan serupa, tapi setidaknya program tersebut harus kita dukung. Otomatis dukungan secara materiil tidak bisa penulis lakukan. 

Tapi setidaknya penulis bisa memberikan masukan kepada beberapa pihak yang berkompeten memegang kendali untuk peluncuran program tersebut.

Sebenarnya, menurut hemat penulis, pemberian Bantuan Rumah Swadaya banyak yang kurang tepat sasaran. Karena apa? Karena salah satu prasyarat untuk mendapatkan program tersebut adalah memiliki lahan terlebih dahulu. Lantas bagaimana apabila tidak memiliki lahan? 

Padahal, secara logika, orang yang memiliki lahan, sebenarnya adalah orang yang mampu, akan tetapi tidak memiliki biaya untuk membangunnya. Dan, orang yang tidak memiliki rumah karena tidak memiliki lahan, inilah sebenarnya orang yang harus diutamakan untuk dibantu. Lantas bagaimana nasib mereka? Apakah mereka tidak akan pernah bisa terjaring dalam program ini? Ini adalah pemikiran pertama penulis.

Kedua adalah survey penetapan siapa saja yang layak mendapat bantuan harus benar-benar dilakukan secara fair. 

Dalam hal ini, desa sebagai pihak yang paling dekat dengan rakyat harus benar-benar bisa netral. Pihak desa harus bisa memilih siapa saja orang yang berhak mendapat bantuan. Bukan karena famili, kerabat dekat, atau orang yang pro dengan pemerintahan desa.

Kepada pihak penerima bantuan, hendaknya dihimbau bisa merawat rumah tersebut bahkan kalau bisa untuk bisa terus memperbaiki sehingga lebih layak untuk kedepannya.

Penyadaran kepada masyarakat adalah bukan hal mudah untuk dilakukan. Karena tidak memiliki rasa memiliki, kebanyakan pihak penerima bantuan terkesan ogah-ogahan untuk merehabnya apabila terdapat kerusakan. 

Mereka cenderung mengharapkan bantuan serupa dari pemerintah. Nah, mental yang seperti ini yang seharusnya mendapat sosialisasi lebih intens dari pemerintah desa.

Beberapa masukan tersebut adalah salah satu bentuk unek-unek dari penulis yang semoga bisa dijadikan bahan pertimbangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun