Tren pasar global saat ini makin mengarah pada produk ramah lingkungan. Ini merupakan peluang yang perlu segera diantisipasi sekaligus dimanfaatkan oleh industri nasional.
Ramah lingkungan pada dasarnya adalah penerapan konsep "zero waste", pada pelaksanaannya industri ramah lingkungan diharapkan dalam proses industri melakukan strategi mencegah, mengurangi dan menghilangkan terbentuknya limbah sebagai bahan pencemar lingkungan. Hal tersebut dapat berjalan bila dalam aktivitasnya telah dirancang mulai dari bahan baku, teknologi proses sampai akhir kegiatan adalah ramah lingkungan
Kementerian Perdagangan (Kemendag) berkomitmen memberdayakan para pelaku usaha kecil menengah (UKM), khususnya para pelaku usaha batik, untuk meningkatkan kualitas produk yang ramah lingkungan melalui kegiatan bimbingan teknis.
Lewat acara Bimbingan Teknis Pengembangan Produk di Cirebon, Jawa Barat, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Tjahya Widayanti bilang, pemerintah selalu mendukung para pelaku usaha dalam menghasilkan produk dalam negeri yang ramah lingkungan dan berkualitas serta berdaya saing internasional sehingga dapat menjadi raja di pasar domestik serta mewujudkan peningkatan kinerja ekspor yang berkelanjutan.
Dalam bimbingan teknis yang dikhususkan kepada pelaku usaha batik ini, kegiatan difokuskan kepada diversifikasi pewarnaan alam dari kearifan lokal.
Pewarnaan kain batik umumnya dilakukan dengan menggunakan pewarna kimia. Namun, kini semakin populer proses pewarnaan yang menggunakan bahan baku dari alam. Dengan menggunakan pewarna alam, proses pembuatan batik menjadi lebih ramah lingkungan.
Selama ini yang kerap kali terjadi demi memperoleh warna yang cepat dan dengan biaya yang murah membuat sebagian besar seniman batik kemudian mengalihkan pewarna mereka dari warna alam menjadi warna buatan.Â
Padahal, kandungan getah dalam tumbuh-tumbuhan bisa diolah menjadi pewarna alami. Selain ramah lingkungan, batik bahan pewarna alami juga mendatangkan keuntungan yang lebih besar sebab harga produk tersebut lebih mahal.
Proses membatik dengan warna alami lebih lama sebab pewarnaan diulang hingga 40 kali. Akibatnya, harga batik tersebut dijual lebih mahal mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta per lembar.
Pewarna alami yang digunakan berasal dari kulit pohon mahoni, tegeran, jalawe dan indigovera. Dengan pewarna alami tersebut, menurut Suroso, warna pada kain batik lebih tahan lama atau tidak mudah luntur.
Selain itu, proses membatik juga tidak meninggalkan limbah sebab pencelupan pada bahan pewarna dilakukan hingga seluruh bahan terserap pada kain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H