Senin (28/8/2023) Kementerian Sumber Daya Alam China resmi merilis Peta Standar China Edisi 2023, yang memperluas klaim sepihak Tiongkok atas Laut China Selatan. Dari peta berbasis sembilan garis putus-putus (nine dash line) menjadi sepuluh garis putus-putus (ten dash line). Garis-garis ini melingkar lebih dari 1.500 kilometer (900 mil) dari selatan daratannya, Pulai Hainan. Tak cuma memotong Zona Ekonomi Eksklusif Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam, ten dash line memperluas cakupannya terhadap wilayah maritim Taiwan serta menyerempet jalur perbatasan dengan India--sepanjang Himalaya, yaitu Arunachal Pradesh dan Aksai Chin.
Entitasnya, perubahan peta tersebut sesungguhnya tidak mengubah apa pun--circle of problems--karena bahkan sejak awal debutnya jauh berpuluh tahun terdahulu, semua pihak yang terlibat dalam "arena persidangan" buatan Tiongkok sepakat: Map-NDL semestinya tidak pernah tercipta. Maka kehadiran peta terbaru dengan merek ten dash line, hanya menambah beban masalah tiap negara yang sudah sejak lama bersaing saling tumpang tindih klaim atas kawasan Laut China Selatan tersebut.
Sikap Tiongkok dalam problematika berkepanjangan ini tentu tak jarang menimbulkan sederet pertanyaan berunsur penelitian terlebih mengenai entitas yang sebenar-benarnya dari aksi pengklaiman sepihak mereka terhadap Laut China Selatan. Sebab-sebab permasalahan memang dilandasdasari oleh sikap Tiongkok yang terus menyibuk pematokan wilayah kemaritiman Laut China Selatan secara serampangan tanpa memintai pendapat para negara tetangganya terlebih dahulu. Analisa pakar dunia dari berbagai masa semenjak kasus ini melandai, tak ayal mengait-ngaitkan secara halus perihal Tiongkok yang memiliki misi tersembunyi untuk mengendalikan segala aspek unggul area maritim LCS alih-alih mengusung konsep pertahanan diri atas wilayah LCS yang merujuk pada pandangan sejarah atau hak historis seperti yang selama ini digaungkan pihaknya. Seribu kali pun menampik argumen "serakah" dari berbagai penjuru, apa yang sudah tercermin sepanjang dekade terakhir dan belum berhenti hingga kini, telah transparan menunjukkan wajah asli kepemimpinan Tiongkok "yang seperti apa!" Salah satu pendapat terbaru yang dengan frontal mengkritik--meski tanpa niat memprovokasi--adalah profesor UC Berkeley, Peter Zinoman, saat ditanyai pendapat mengenai ricuhnya Vietnam memaksa mundur penayangan film live-action Barbie di negaranya pada Senin (3/7/2023) karena beberapa adegan dalam film menampilkan nine dash line di Laut China Selatan. Menurut Zinoman dalam wawancaranya bersama Vox, kekesalan Vietnam adalah bentuk kewajaran dari reaksi tekanan psikologis ancaman geografis berdekade yang telah mereka rasakan. Meski bagi Tiongkok--garis sembilan putus-putus selalu sah sebagai teritorial mereka, bagi Vietnam--perilaku pengakuan sepihak tersebut justru melambangkan penindasan imperialis yang kurang ajar hanya demi kepentingan nasional Tiongkok dibandingkan kepentingan persaudaraan sosialis yang sudah lama terjalin.
Semesta Laut China Selatan: Segudang Kelebihan Selaras Kekacauan
Tidak mengherankan memang, mengapa Laut China Selatan begitu diperebutkan. Laut seluas 3,5 juta km2 bagian tepi Samudra Pasifik yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan ini memiliki letak yang strategis sebagai tempat lalu-lalang perlintasan laut. Rata-rata logistik dunia dikelola di sini pula. Menariknya, Laut China Selatan juga jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika. Dikutip dari CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan LCS pada 2016 saja mencapai US$3,37 triliun. Selain itu, Laut China Selatan memiliki cadangan minyak bumi sebesar 1,2 km3 (7,7 miliar barel) dengan perkiraan total 4,5 km3 (28 miliar barel). Sedangkan cadangan gas alamnya sekitar 7.500 km3 (266 triliun kaki kubik). Ditambah laporan dari U.S. Energy Information Administration tahun 2013 menaikkan perkiraan total cadangan minyak menjadi 11 miliar barel. Lebih daripada itu, Laut China Selatan juga memiliki 250 pulau, atol, kay, gosong pasir, dan terumbu. Meski sebagian besar pulau tidak berpenghuni bahkan ada pula yang tenggelam, keragaman biota laut yang memenuhi pedalaman perairan di wilayah LCS menjadi daya tarik tertinggi di antara pulau-pulau yang berkeliling pada daerah kemaritiman ini. Berdasarkan kajian Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, badan air ini memiliki sepertiga keragaman hayati laut dunia.
Setelah kelebihan Laut China Selatan dikulik mendetail, wacana memperkuat opini beberapa pihak mengenai niat masing-masing negara pengklaim lebih dari sekedar mempertahankan teritorial bisa dipresentasikan sembilan puluh persen kebenaran. Begitu pun tokoh sentral pemicu konflik, Tiongkok, yang notabennya paling agresif mendorong para negara tetangganya menyingkir dari kawasan Laut China Selatan. Karena faktanya, setelah peta ten dash line berlayar, lebih dari 90% wilayah maritim Laut China Selatan terklaim atas nama Tiongkok--meski pengakuan terkait hanya sepihak oleh RRT--tetap saja, bila tidak mundur dari lokasi yang diprakarsai oleh Tiongkok, para negara anggota tergugat terpaksa mengikuti arus deras konflik meski beresiko tinggi cacatnya sosialisasi antarnegara dan gugurnya jati diri bangsa.
Begitu pulalah Indonesia yang termasuk ke bagian ruang konteks problematika. Meski tidak menuntut klaim atas wilayah apa pun di kawasan Laut China Selatan, nyatanya sejak lama peta Tiongkok yang masih berbasis nine dash line saja sudah mengganggu gugat kedaulatan Indonesia terhadap area kemaritimannya.
Selisih bermula, ketika Natuna yang tergolong kawasan ZEE Indonesia masuk ke dalam area teritorial kemaritiman Tiongkok berdasarkan sembilan garis putus-putus dari peta yang dibuat sepihak oleh mereka pada tahun 1947. Meski sudah resmi ditentang oleh United Nation Convention of Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Tiongkok tetap bersikeras Natuna masuk ke dalam area kemaritiman mereka. Bagi pihak Tiongkok, Natuna begitu penting karena berperan sebagai jalur pelayaran penghubung komunikasi Utara-Selatan maupun Timur-Barat. Tak hanya itu, Natuna juga memiliki cadangan minyak bumi mencapai 1.400.386.470 barel dan cadangan gas bumi hingga 112.356.680.000 barel. Lebih-lebihnya, Natuna yang kaya akan terumbu karang terbaik dunia ini memiliki 300 spesies karang dan 600 spesies ikan, serta dipenuhi habitat fauna langka seperti; penyu sisik, penyu hijau, lumba-lumba irrawaddy, dan paus bungkuk. Dikutip dari natunakab.go.id Natuna bahkan memiliki luas wilayah kurang lebih 264.198,37 km2 dengan luas daratan 2.001,30 km2 dan lautan 262.197,07 km2.Â
Dengan atau tanpa keunggulan-keunggulan di atas, Indonesia sebagai negara merdeka sejatinya akan terus melakukan pembelaan hak-hak berdaulat atas segala area teritorialnya, termasuk Natuna. Terlebih lagi, dengan jelas, ZEE Konvensi PBB Hukum Laut Internasional sudah menetapkan Natuna yaitu sah berada di bawah kekuasaan NKRI. Dibarengi Mahkamah Arbitrase Internasional (MAI) konkret memvonis sembilan garis putus-putus yang menjadi landasan Tiongkok mengklaim Natuna sebagai perbuatan ilegal.
Tapi Tiongkok yang sejak awal keras kepala untuk setiap pernyataan bahkan sebuah kebenaran sekalipun, terus melancarkan aksi-aksi yang mereka yakini "sebuah bentuk kebenaran" itu sendiri. Oleh sebab karenanya, deret panjang konflik terkhusus Indonesia-Tiongkok tersaji di Laut China Selatan dalam rentang puluhan tahun ke belakang. Beberapa di antaranya yang paling mencuri perhatian publik adalah:
* Ketika Tiongkok mengklaim lebih spesifik kepemilikannya secara agresif atas Natuna tepat di wilayah Utara (tahun 2010).
* Kapal pencari ikan Tiongkok melakukan aktivitas sembarang penangkapan ikan di perairan Natuna (tahun 2016). Hingga dengan terpaksa, TNI AL menangkap kapal-kapal nelayan Tiongkok tersebut. Di kasus ini, Tiongkok masih saja mengganggap Natuna sebagai bagian dari traditional fishing grounds mereka.
* Pada Senin (30/12/2019) kapal pencari ikan Tiongkok beserta kapal China Coast Guard masuk ke wilayah perairan Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia lagi-lagi. Menjadi pergunjingan besar di masing-masing negara terlibat konflik, semua pasti masih ingat pula, bagaimana Presiden Ir. H. Joko Widodo sampai turun langsung ke lokasi Natuna pada Rabu (8/1/2020) untuk memastikan secara mendetail keamanan maritim NKRI. Pada kunjungannya yang dihadiri para nelayan setempat tersebut pula, Presiden RI ke- 7 itu tak ragu menyatakan jika Natuna adalah seratus persen milik Indonesia dari dulu hingga kini dan yang akan datang.
* Pada 31 Agustus hingga 16 September 2021, Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI)Â melaporkan kapal bernama Hai Yang Di Zhi Shi Hao diduga kuat melakukan aktivitas penelitian ilmiah di wilayah ZEE Indonesia dengan dikawal kapal China Coast Guard. Kapal tersebut membentuk pola lintasan cetakan sawah dengan rapi di Laut Natuna Utara. Tentu saja hal itu melanggar hukum, sebab penelitian ilmiah di kawasan ZEE Indonesia harus melalui izin pemerintah RI seperti diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983.
* Melalui surat tertutup, Tiongkok memberi peringatan sekaligus desakan untuk Indonesia menghentikan aksi pengeboran minyak di Laut Natuna (Desember 2021).
* Pengusiran kapal-kapal nelayan pencari ikan Indonesia di Laut China Selatan (Mei 2024)
Dari beragam jenis konflik yang terangkum meski tidak keseluruhan, setidak-tidaknya kita dapat menarik sebuah kesimpulan. Bahwasanya, Tiongkok selaku tokoh utama pemicu perselisihan berkepanjangan dalam judul besar Laut China Selatan tersebut teridentifikasi tidak akan pernah berhenti sebelum apa-apa yang mereka yakini "sebuah bentuk kebenaran" itu terwujud. Hal terkaitlah yang demikian menjadi kekhawatiran banyak pihak. Karena setiap permasalahan pasti menyebabkan kerugian. Tak ubahnya yang telah dirasakan Indonesia, antara lain; stabilitas keamanan maritim yang terusik dan pengelolaan sumber daya alam menjadi kurang efektif. Bila persoalan tersebut dibiarkan berlarut-larut, bukan tak mungkin ancaman-ancaman terburuk akan hadir lebih nyata. Di mana kedaulatan Indonesia akan menjadi pertaruhan tertingginya, sebagian perkiraannya:
* Ekosistem laut yang terganggu akibat terlalu seringnya terjadi penangkapan sembarang tanpa penelitian lebih lanjut, terkhusus Natuna, dapat menyebabkan beberapa spesies yang sudah langka akan punah di kemudian hari. Hal ini tentu bentuk kegagalan besar yang mengancam kedaulatan Indonesia terhadap penjagaan ekologi di regional maritimnya.
* Semakin seringnya kapal-kapal asing masuk ke wilayah ZEE Indonesia begitu pun patroli-patroli yang tidak berizinkan resmi, telah dengan jelas mengganggu aktivitas perputaran ekonomi setempat. Semisal pengakuan nelayan-nelayan yang diusir hingga menyebabkan ketakutan. Jika terus dibiarkan melunjak, tergesernya teritorial kelautan Indonesia dan mengecil, menjadi ancaman nyata hilangnya kedaulatan Indonesia terhadap hak kekuasaan area maritimnya. Sehingga salah satu ladang pendapatan negara maupun rakyat RI ini diprediksi tidak lagi berfungsi.
* Jika rivalitas antarnegara pengklaim wilayah Laut China Selatan terus berlanjut ke arah permusuhan serius, serta pengumpulan berkas perdamaian tidak kunjung tercapai, sudah bisa dikira-kira bagaimana konflik akan pecah dan perang terbuka tidak mustahil untuk terjadi. Jika saja demikian, dampak yang tak kalah lebih penting selain remuknya kursi kuasa regional kemaritiman Indonesia adalah status kedaulatan kemerdekaan Indonesia memasuki mode rawan-tenggelam, sedang kemajuan bangsa terus menjadi tanda tanya besar.
Memeluk Kedaulatan: Kesinambungan Peran Negara-Pemerintah-Rakyat
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, kedaulatan negeri Merah Putih berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jauh sebelum di Indonesia metode kedaulatan rakyat diberlakukan, Jean Bodin, seorang profesor hukum asal Prancis di masanya (1530-1596), memaknai kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang dihadapkan pada rakyat dan negara tanpa adanya pembatas dari hukum. Adapun sifat-sifat kedaulatan menurutnya adalah tunggal, asli, abadi, dan bulat. Ditambahkannya lagi, teori kedaulatan terbagi menjadi dua jenis, yaitu kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. Di mana kedaulatan ke dalam berartikan kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur fungsinya. Sedang itu, kedaulatan ke luar diterjemahkan sebagai kekuasaan tertinggi suatu negara untuk mengadakan hubungan dengan negara lain serta mempertahankan wilayahnya dari ancaman yang berasal dari luar.
Menyinggung ancaman dari luar, kita kembali diingatkan mengenai konflik Laut China Selatan pada wacana panjang yang tengah di bahas ini. Rusaknya kedaulatan NKRI bukanlah hal mustahil bila saja resiko pertikaian antarnegara di wilayah LCS diabaikan. Indonesia sendiri sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya bela negara menggunakan metode kedaulatan ke dalam maupun ke luar. Berbagai kerja nyata kepemimpinan pemerintahan Indonesia itu adalah:
* Menekankan bahwa Natuna merupakan milik Indonesia, pemerintah dengan berani mengeluarkan peta terbaru NKRI pada 14 Juli 2017. Di mana nama Natuna dengan resmi berganti menjadi Laut Natuna Utara (LNU).
* Menjalin kerja sama dengan negara-negara sahabat seperti Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, dan Singapura demi meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan maritim lebih luas di kawasan Indo-Pasifik.
* Mendorong ASEAN Regional Forum (ARF)Â menerjemahkan dialog menjadi aksi-aksi konkret. Seperti memanfaatkan forum lebih terbuka untuk saling membangun kepercayaan serta mengurangi ketegangan antarnegara anggota, termasuk pada perselisihan pandangan atas pengklaiman wilayah maritim di Laut China Selatan.
* Diplomasi untuk paket perdamaian dengan tukar tambah penawaran kerja sama semakin sering dan banyak dilakukan. Indonesia berekspektasi, jika kerja sama yang baik akan membuahkan hasil tak hanya di sektor ekonomi tapi juga nilai-nilai pertemanan yang kian erat terjalin.
* Memperkuat keamanan terkhusus Perairan LNU dengan mengirimkam pasukan militer, kapal perang, pesawat tempur, serta drone agar lebih detail mengawasi gerak-gerik mencurigakan dari pihak asing yang berani menerobos area teritorial ZEE Indonesia tersebut.
* Berkomitmen dinamis dalam hal mencukupi alat utama sistem persenjataan negara. Mengadakan patroli berkalender di Laut China Selatan, setidak-tidaknya memastikan Laut Natuna Utara aman dari gangguan.
* Mengajukan nota keberatan secara berulang kepada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional untuk mendapatkan hasil yang lebih kompleks dan kuat demi kejelasan status hak kepemilikan atas wilayah teritorial kemaritiman negeri Merah Putih.
* Mencari jalan tercepat, Indonesia bersama ASEAN (Association of Southeast Asian Nations)Â konsisten mengusahakan utuh terciptanya Code of Conduct (COC) teruntuk LCS guna mengendalikan mekanisme di Laut China Selatan melalui aturan-aturan yang lebih tertata dan beretika.
Namun, seperti yang sudah terjabarkan pada rangkuman wacana di atas, cara-cara itu nyatanya belum cukup ampuh untuk menekan mundur pihak Tiongkok secara permanen. Oleh sebab karenanya, perlu kesadaran dan kepedulian lebih luas dari rakyat untuk ikut berperan dalam mempertahankan kedaulatan NKRI adalah jawaban terbaik. Sebagai negara yang berpegang teguh kepada konsep kedaulatan rakyat, tidak ada salahnya bila rakyat justru mengambil posisi penting dalam hal penyelesaian permasalahan bangsa. Rakyat tidak bisa hanya berserah pada apa-apa yang dilakukan oleh negara/pemerintah. Memupuk rasa cinta dan peduli akan pentingnya sikap patriotisme terhadap negara, dapat sekaligus mengusir masuknya paham-paham radikalisme yang menyesatkan.
Intinya, rakyat dapat berperan melalui suara. Baik secara lisan maupun tulisan. Di era digital ini, kita sudah dengan mudah menemukan berbagai macam aplikasi/platform media sosial maupun blog yang dapat digunakan sebagai tempat untuk mengemukakan argumen, pesan, saran, opini, bahkan kritik. Sebab sudah semestinya, kecanggihan teknologi dan pesatnya kemajuan bidang informatika adalah aspek terbaik sebagai alat untuk mengemukakan pemikiran-pemikiran sekalipun dari sisi paling tersembunyi keterkungkungan suatu jiwa yang sakit. Termasuk Indonesia yang terkekang hak kebebasan berdaulatnya terhadap Laut Natuna Utara-Laut China Selatan.
Bagaimana Indonesia memanggul tekanan sejak klaim sepihak bercorak nine dash line hingga yang terbaru ten dash line oleh pihak Tiongkok beroperasi, kini giliran NKRI melalui struktur hidup pengklaiman secara estapet mendorong fakta tentang apa yang memang semestinya menjadi hak kedaulatan bangsa. Lewat media sosial, rakyat diajak untuk berani menyuarakan kebenaran bahwa sesungguhnya kenyataan mengenai Laut Natuna Utara seutuhnya milik Indonesia. Gerakan rakyat ini penting dan tak luput memperkuat pernyataan Presiden RI ke- 7 Ir. H. Joko Widodo sewaktu berkunjung ke Natuna, Rabu (8/1/2020) bahwasanya: tidak ada tawar-menawar untuk harga kedaulatan Natuna-Indonesia.
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, usia pelajar menengah hingga dewasa kini--lebih disarankan--pendapat-pendapat dengan tema semangat juang yang tertuang dalam bentuk surat-suara digital tersebut akan meluas dan dilihat oleh dunia. Ini akan mempertontonkan bagaimana kompaknya warga NKRI perihal menjaga kedaulatan negaranya. Kegiatan ini juga menunjukkan kekonsistenan Indonesia dalam cakupan pengembangan jati diri bangsa yang berani, beradaptasi, aktif, penuh inovasi dan kreatifitas, serta maju.
Bersama-sama tampil romantis membela kedaulatan Republik Indonesia, surat-suara digital juga diperuntukkan mengusung moto perluasan paham mengenai pentingnya kepedulian pengetahuan akan hak dan kewajiban terkait apa-apa yang boleh dilakukan dan tidak terkait Laut China Selatan. Karena pada hakikatnya, fakta mengenai LCS sebagai milik bersama tidak bisa dihapus secara semena-mena begitu saja. Maka itu, pentingnya memupuk rasa cinta saling menghargai adalah nilai-nilai yang sangat penting untuk terus disadarkan di tengah-tengah ambisi penguasaan kawasan maritim--terlebih Tiongkok, sang aktor utama pemicu konflik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H