Mohon tunggu...
Sri Astuti Handayani
Sri Astuti Handayani Mohon Tunggu... Bidan - Bidan, Mahasiswa Magister Kebidanan

Bidan, Mahasiswa Magister Kebidanan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bukan Tradisi, Stop Pernikahan Anak untuk Selamatkan Generasi!

23 Juni 2024   07:41 Diperbarui: 23 Juni 2024   08:30 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan anak dari masa ke masa masih menjadi polemik yang tak kunjung tuntas di Indonesia. Hal ini terlihat dari angka pernikahan anak yang masih tinggi di setiap tahunnya yang terjadi di beberapa daerah baik perkotaan maupun pedesaan. Tren yang memprihatinkan ini terus berlanjut meski pemerintah telah memberlakukan UU No.16 Tahun 2019 yang mengubah pasal tentang usia minimum menikah bagi perempuan dan laki-laki telah dinaikkan dari usia 16 tahun menjadi usia 19 tahun.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, praktik perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan sebanyak 3,5 poin persen. Namun, penurunan ini masih tergolong lambat dan diperlukan upaya yang sistemik dan terpadu untuk mencapai target sebesar 8,74 persen pada tahun 2024 dan menjadi 6,94 persen pada tahun 2030.

Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan anak di Indonesia. Salah satu faktor terjadinya kasus ini adalah pergaulan bebas. Akibat pergaulan bebas dan gaya pacaran yang terlalu berlebihan mengikuti gaya pacaran yang kebarat-baratan yang sering menimbulkan kehamilan di luar nikah. Keadaan seperti inilah yang mendorong orang tua agar segera menikahkan anaknya tanpa memandang umur anak tersebut.

Rendahnya pendapatan ekonomi dan pendidikan menjadi faktor lain penyebab tingginya kasus pernikahan anak. Sebab penghasilan orang tuanya hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Itulah yang menyebabkan orang tersebut memutuskan tidak melanjutkan pendidikan karena kesadaran dirinya bahwa orang tuanya tidak akan mampu membiayai, kurangnya motivasi dari lingkungan sekitar dan kurangnya pengetahuan orang tua terhadap pentingnya pendidikan. Sehingga menyebabkan anak tersebut putus sekolah dan lebih memutuskan untuk menikah muda.

 Sebagian masyarakat terutama dipedesaan masih terdapat budaya yang melekat yang tidak dapat terhindarkan. Orang tua masih banyak menjodohkan anaknya dengan alasan nantinya ada yang membiayai dan lepas tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Tak jarang pernikahan anak juga di sebabkan karena adanya pengaruh bahkan paksaan dari orang tua yang menikahkan anaknya di usia muda dan takut apabila anaknya terjerumus dalam perbuatan negatif yaitu pergaulan bebas. Namun, apakah kita sebagai masyarakat sadar akan dampak jangka panjang dari praktik ini?

 Dampak Negatif Pernikahan Anak

Pernikahan anak bukanlah sekadar masalah individu, melainkan isu yang menyangkut hak asasi manusia, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Anak-anak yang menikah dini sering kali kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Padahal, pendidikan adalah kunci utama untuk memutus rantai kemiskinan. Tanpa pendidikan yang memadai, mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak, dan hal ini berpotensi memperburuk siklus kemiskinan yang ada.

 Dari segi kesehatan, pernikahan anak membawa risiko tinggi bagi kesehatan fisik dan mental. Anak perempuan yang hamil pada usia dini menghadapi risiko komplikasi kehamilan yang lebih besar, yang dapat berujung pada kematian ibu dan bayi. Selain itu, tekanan mental akibat tanggung jawab rumah tangga dan peran sebagai istri dan ibu pada usia yang sangat muda dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius.

 Mengubah Pandangan Masyarakat

Pernikahan anak sering kali dianggap sebagai bagian dari budaya atau tradisi yang harus dilestarikan. Namun, kita harus berani mengubah pandangan tersebut. Tradisi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan masa depan anak-anak kita. Justru, kita harus menciptakan tradisi baru yang menghargai hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

 Penting juga untuk melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, dan orang tua dalam kampanye melawan pernikahan anak. Mereka memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini dan kebijakan di tingkat lokal. Dengan dukungan mereka, perubahan yang lebih besar dan lebih cepat bisa tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun