Setelah stagnan sejak tahun 2015, pemerintah akhirnya berencana untuk menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP).
Selama ini harga acuan yang digunakan untuk pembeliam cadangan beras pemerintah (CBP) dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, ditetapkan senilai Rp3.700 per kg di tingkat petani dan Rp4.600 per kg di tingkat penggilingan.
Revisi atas ketetapan HPP GKP tersebut pada dasarnya sudah sewajarnya dilakukan, meski pemerintah sudah memberikan fleksibilitas 10% atau hingga Rp4.070 per kg dari nilai HPP untuk pembelian GKP di tingkat petani oleh Perum Bulog.
Ketua Umum Perhimpunan Penggilingan Padi Indonesia(Perpadi) Sutarto Alimoeso menilai, kenaikan harga gabah setidaknya harus di atas 10% untuk mengimbangi biaya produksi. "Kalau menggunakan rata-rata kepemilikan lahan di bawah setengah hektar, itu kalau naiknya hanya 10% saja belum menutup. Inflasi saja tiga tahun paling tidak sudah sekitar 10%," jelasnya seperti dikutip dari Katadata.com, kemarin.
Terlebih, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata harga GKP pada April 2019 berada pada level relatif tinggi, yaitu Rp4.357 per kg. Tingkat harga tersebut justru terjadi pada periode panen raya, dimana sewajarnya harga pembelian GKP turun.
Belum lagi penyerapan Bulog masih belum masif sehingga petani merugi. Ini akan berimbas pada produksi petani yang tidak intensif.Â
Adapun, biaya produksi gabah kering panen saat ini mencapai Rp 4.709 per kilogram. Sementara mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015, Bulog melakukan pembelian gabah (kadar air maksimum 25%) di tingkat petani sebesar Rp 3.700 per kilogram (kg) dan Rp 4.600 per kilogram di tingkat penggilingan.
Pemerintah juga memberikan fleksibilitas sebesar 10% untuk HPP petani lebih besar supaya pembelian Bulog bisa lebih tinggi.Â
Namun, petani memilih menjual gabah dan beras kepada tengkulak atau pedagang besar karena harga jualnya lebih tinggi, sekitar Rp4.300 per kilogram. Ini mengakibatkan pemerintah melalui Bulog tak mendapatkan kesempatan untuk melakukan pembelian.
Karena itu, menurut dia, pemerintah seharusnya melakukan perubahan HPP setiap tahun, seperti halnya perubahan besaran Upah Minimum Regional (UMR). Sebab, biaya produksi ikut meningkat seiring dengan kenaikan inflasi setiap tahun.
Ekonom Indef Rusli Abdullah mengatakan, revisi harga pembelian jika tidak disertai dengan penertiban atau penurunan ongkos distribusi gabah dari tingkat petani hingga konsumen, hanya akan membuat harga beras di tingkat konsumen melonjak. Akibatnya laju inflasi akan terkerek naik seiring meroketnya harga beras.
Selama ini, menurutnya, HPP GKP yang tidak berubah sejak 2015 berandil cukup besar dalam mengendalikan kenaikan harga beras di tingkat konsumen agar tidak melambung terlalu tinggi. Untuk itu, dia meminta pemerintah membantu menurunkan margin perdagangan dan pengangkutan beras dari petani ke pedagang, sehingga mampu mengurangi distorsi harga di tingkat konsumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H