Bawang sepertinya sudah jadi komoditas pokok di Indonesia. Itu tercermin dari makin ngototnya Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) menangani komoditas umbi tersebut.Â
Beberapa waktu lalu, Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog, Budi -Buwas- Waseso terdengar sangat bernafsu mengimpor bawang putih dari Cina dengan alasan ingin mengendalikan harga bawang putih di dalam negeri.Â
Saking nafsunya, Buwas bahkan sampai menuding ada menteri yang sengaja menghalangi rencana impor bawang oleh Bulog.Â
Padahal, impor bawang putih oleh Bulog itu melibas Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 38 tahun 2017 yang mewajibkan importir bawang putih menanam 5% dari kuota impor yang mereka peroleh.Â
Abainya Bulog dari kewajiban tanam itu sama saja dengan tidak mendukung peningkatan produksi bawang putih dalam negeri, penguatan petani lokal, dan niat Kementerian Pertanian (Kementan) untuk swasembada bawang putih di tahun 2021 nanti.
Kini, belum selesai urusan bawang putih, Bulog kembali cawe-cawe urusan bawang merah. Badan Usaha Milik Negara itu ingin agar petani menahan nafsunya menjual bawang merah saat panen.Â
Akibatnya fluktuasi harga bawang jadi tidak terkendali. Bawang merah akan murah tidak keruan di masa panen raya, dan akan melejit setinggi langit setelah panen selesai.Â
Dasar bagi Bulog ikut mengatur-atur pola penjualan petani bawang merah itu adalah data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yakni laju inflasi selama April 2019 yang mencapai 0,44 persen. Rinciannya, inflasi tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan: 1,45 persen.Â
Awal pekan lalu, Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan bawang merah dan bawang putih memberikan andil besar terhadap inflasi selama April 2019.Â
Harga bawang merah mengalami kenaikan 22,93 persen dengan andil sebesar 0,31 persen ke inflasi. Sementara harga bawang putih yang naik 35 persen memiliki andil ke inflasi sebesar 0,09 persen.
Pihak Bulog mengatakan salah satu penyebab kenaikan harga bawang merah ialah karena petani tak biasa melakukan penyimpanan stok. Para petani, kata dia, terbiasa langsung menjual hasil panen bawang merah ke pasaran.Â
Sehingga ketika harga bawang merah sedang tinggi, tak banyak yang bisa dilakukan untuk mengatasi kenaikan. Sebab, mekanisme pengendalian harga melalui pelepasan stok ke pasar semakin terbatas kemampuannya.Â
Bulog pun menyalahkan petani dan masyarakat yang tidak bisa menahan diri atau menyimpan hasil panen bawang mereka.Â
Sepertinya Bulog lupa bahwa menjual produk pertanian adalah sumber mata pencaharian petani kita. Bila tidak ada yang dijual, maka tidak ada yang dimakan.Â
Ketimbang mengatur-atur pola penjualan bawang merah, apalagi menyalahkan petani, lebih baik Bulog berperan langsung dengan cara menyerap produksi bawang merah petani. Tentunya dengan harga yang layak dan masuk akal.Â
Lagi pula, Bulog kan punya gudang berteknologi pengondisian udara (Controlled Atmosphere Storage/CAS) yang bisa menjaga kesegaran produk tani agar lebih tahan lama dan tetap segar.Â
Berbekal alat tersebut, Bulog lah yang mengatur penjualan bawang merah. Menahan pasokan di kala harga rendah, dan menggelontorkannya di saat harga tinggi. Sehingga Bulog bisa benar-benar menjalankan perannya sebagai stabilisator harga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H