Demikian pula jika Setya Novanto merasa (sebagai pejabat negara) bahwa dia telah menjadi sumber kegaduhan (dengan dibuktikan atau hanya diindikasikan), kenapa musti bertanya : “apa salah saya?”?
Banyak pejabat negara yang justru berkontribusi untuk semakin gaduh, termasuk statemen-statemen wapres Jusuf Kalla yang terus mempertajam konflik sambil menggeser tema : dari masalah etik menjadi masalah Ketua DPR vs Presiden/Wapres. Dan di situlah masalah etik ini bergulir seperti bola salju. Para petinggi negara ini gaduh di depan rakyat tanpa sensitivitas bahwa yang mereka lakukan itu lebih merupakan upaya memupuk kekuasaan daripada upaya untuk melayani rakyat. Para politisi dan penyelenggara negara justru telah memberi contoh bagaimana caranya merongrong spirit of Indonesia itu. Ini sebuah komplikasi etis berbangsa dan bernegara.
MKD = Masyarakat Kebagian Dongeng
Dalam keadaan seperti sekarang MKD itu berarti Masyarakat Kebagian Dongeng. Mahasiswa Kebagian Demo. Media Kembali Diuji (apakah ia melayani publik atau melayani kekuasaan dan industrinya). Tidak ada gagasan untuk Mundur karena Kesadaran Diri. Mahkamah Kehormatan Dewan berubah menjadi peradilan umum dengan tersangka khusus : anggota dewan.... Lucu.
Mahkamah Kehormatan Dewan sepertinya juga tidak relevan untuk itu, sebab ini bukan lagi soal kehormatan pribadi anggota dewan tetapi ini masalah kehormatan bangsa/negara, masalah pelecehan atau malah pemerkosaan atas spirit of Indonesia. Barangkali Mahkamah Kehormatan Rakyat lebih cocok untuk itu. Bukan hanya Presiden yang dapat diadili oleh MPR (misalnya), tetapi semua pemegang jabatan di lembaga-lembaga tinggi negara harusnya dapat diadili oleh MPR.... (NB: ini gagasan yang konyol dan ngawur....jangan diperhatikan...hahahhaha).
Mahkamah Kehormatan Rakyat demi Tegaknya Spirit of Indonesia, Validitas Konstitusi dan Tertib Tata Negara
Ijinkan saya mengembangkan gagasan yang konyol dan ngawur itu.
Dongeng-dongeng seputar perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia ini melibatkan pejabat dan pejabat tinggi negara. Persekongkolan yang dilakukan dan disaksikan oleh para pejabat tinggi negara terkait PT. Freeport, Petral, Pertamina dan lain-lain sebelum maupun semasa pemerintahan Jokowi-JK persoalan yang mungkin sudah lama dan banyak terjadi di republik ini tapi kita tidak pernah tahu.
Sekarang ini bahkan dipelihara dan dikembangkan sebagai komoditas politik.Ibarat kata, kita saat ini berada dalam situasi disuguhi drama perselingkuhan tingkat tinggi. Ini tidak sama dengan persoalan anggota/ketua DPR atau pejabat negara yang kedapatan mesum atau selingkuh. Dengan kata lain, ini bukan soal kehormatan pribadi anggota dewan/pejabat negara, tetapi ini soal kehormatan bangsa dan negara. Sebuah tantangan bagi spirit of Indonesia, validitas konstitusi dan tertib tata negara Indonesia.
MPR telah mendeklarasikan 4 pilar berbangsa dan bernegara. Saya mengistilahkan dengan spirit of Indonesia dalam pengertian yang lebih luas dari 4 pilar itu. Namun demikian, sistem tata negara Indonesia tidak mengatur tentang penyelesaian pelanggaran konstitusi dan spirit of Indonesia yang dilakukan oleh perorangan pejabat tinggi negara (semisal membuat MoU Perpanjangan kontrak yang terlalu dini atau ambisius). Judicial Review tidak menjangkau hal itu. Impeachment hanya untuk presiden.
Jika dikenai dengan ancaman pidana umum, ada rasa keadilan yang terusik mengingat kekeliruan, kesalahan dan kealpaan itu dilakukan oleh penyelenggara negara. Selain itu, sulit menemukan hakim yang pas untuk itu selain Hakim Bao, mungkin. Berharap kepada mekanisme politik rasa-rasanya sudah tidak banyak dapat diharap. Jeruk makan jeruk itu hanya terjadi di tivi. Setali tiga uang. Sesama bis kota tidak akan saling mendahului, kan?