Ada sedikit hal yang agak menggelitik saya, yaitu soal “peradilan” etik.
Berbagai kegaduhan yang diawali dengan masalah etik saat ini telah dimulai sejak pencalonan presiden dan wapres pada pemilu presiden/wakil presiden tahun 2014 lalu. Dinamika politik saat itu sarat dengan problematika etis, khususnya yang bercorak kampanye hitam dan berbagai hal lainnya. Salah satunya adalah justru muncul dari figur yang melecehkan seorang capres, namun ujug-ujug dia menjadi cawapres dari capres yang dilecehkannya itu. Meskipun sebagian besar rakyat tahu bahwa politik itu banyak tipu-tipunya, tapi tetap saja mereka bingung dengan kontradiksi perkataan dan perbuatan yang demikian bertolak belakang secara diametral : dalam perkataannya si figur cawapres Udin bilang “Indonesia akan hancur jika Paimin jadi presiden” tetapi kenyataannya justru Udin jadi wapresnya Paimin. Pembenaran diri bahwa “ah...itu biasa dalam politik” tetap sulit dipahami dalam hal yang demikian. Ada citarasa publik yang diabaikan atau malah diperkosa.
Ada rentang nilai antara kebermaknaan tindakan untuk kekuasaan (efektivitas sebagai politisi) dengan kebermaknaan tindakan sebagai pengabdi/pelayan kepentingan publik (kehormatan sebagai politisi). Ini seperti bandulan/pendulum yang dinamis. Kadang kala ke kiri, kadang kala ke kanan. Kadang mengejar kekuasaan, kadang melayani. Terlalu ekstrim dengan syahwat kekuasaan menimbulkan problema etis dan hukum. Terlalu ekstrim dengan pelayanan akan lebay dan tidak efektif. Kadang pars pro toto, kadang totem pro parte.
Tak pernah berhenti. Bukan hanya tentang salah-benar atau baik-buruk dalam pengertian awam, tetapi juga tentang kepantasan sebagai pengemban amanah rakyat dan pemelihara spirit of Indonesia. Dalam skandal Freeport Gate ini spirit of Indonesia yang diingkari adalah pertimbangan filosofis sebagaimana terdapat dalam konsiderans Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Bunyi konsiderans itu "bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara."
Kegaduhan publik, ketidakproduktifan masyarakat, banyaknya halangan-halangan non yuridis/non hukum, terganggunya rasa keadilan atau terusiknya spirit of Indonesia merupakan indikator-indikator adanya persoalan etik berbangsa dan bernegara. Rakyat bisa merasakan, tetapi sulit membuktikan kebenarannya. Pun tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasinya.Rakyat dapat berkontribusi untuk mengatasinya, tetapi tidak banyak yang dapat dilakukannya.
Di situlah barangkali hamparan moral yang layak kita eksplorasi sebagai wilayah etika politik. Dari sana kita bisa mulai menelusuri kesahihan peradilan politik, baik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan atau Mahkamah Kehormatan Rakyat (kalau ada...hehe).
Peradilan politik di MKD yang legalistik (seperti orang beracara di sidang peradilan umum), bertele-tele dan menyita perhatian publik itu memang cukup atraktif dan menghibur. Silahkan jika itu hanya tentang bagaimana mengadili Setra Novanto. Hanya saja, rasa-rasanya tidak banyak bermanfaat bagi rakyat selain menghibur. Tidak pula ada jaminan bahwa melalui peradilan politik itu sistem berbangsa dan bernegara akan dipulihkan.
Kembali ke soal Freeport....
Tali temali persoalan etik berbangsa dan bernegara dalam dongeng seputar freeport oleh para penyelenggara negara dan pemerintahan maupun korporasi itu seperti bola salju. Bergulir makin membesar. Bahkan menutup mata banyak orang tentang masalah yang sebenarnya dan masalah lain di sektor tambang dan migas. Parodi dan festivalisasi yang bertele-tele, berlarut-larut di lingkaran penyelenggaran negara dan pemerintahan itu seolah memberikan bukti tentang sulitnya pejabat publik Indonesia menerima dan menghayati etika berbangsa dan bernegara atau spirit of Indonesia itu. Apalagi jika ditambah dengan selera media atau pihak tertentu yang terus membuat polarisasi Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.
Dirjen Pajak yang baru-baru ini diwartakan mengundurkan diri karena kegagalan meraih target pendapatan pajak barangkali adalah contoh langka yang menghayati etika itu. Demikian pula banyak contoh di negara lain yang pejabatnya langsung mengundurkan diri ketika sebuah isu menerpanya; gak perlu pembuktian bertele-tele seperti sidang peradilan umum atau sidang perceraian suami istri yang pakai lempar sandal segala. Mengapa? Saya jawab sendiri ya...karena kalau pakai bertele-tele, ya itu tadi...menjadi semakin lucu dan menimbulkan masalah etis lainnya. Kayak bola salju tadi.
Persoalan Etika bernegara ini Mengorbankan dan Melecehkan Rakyat
Ini bukan soal antara Ketua DPR versus Presiden/Wapres seperti yang digemakan oleh Pak Jusuf Kalla, tetapi masalah etis ini terjadi antara pemimpin dengan rakyatnya; antara politisi dengan pihak yang dipolitiki. Ini di wilayah amanah, bukan soal Setya Novanto vs Sudirman Said atau Ketua DPR vs Presiden/Wapres, atau soal group JK vs Group lain. Di mata rakyat, mereka semua (para penyelenggara negara/pemerintahan) yang gaduh, bikin gaduh, ikut gaduh atau menggaduhkan kegaduhan itulah yang bermasalah secara etis karena mereka lupa dengan amanahnya untuk melayani publik/rakyat dan sibuk dengan agenda politiknya sendiri-sendiri. Lha rakyat dapat apa coba, selain hiburan parodi konyol berbiaya tinggi?
Jika Sudirman Said merasa (sebagai pejabat negara) bahwa rekaman itu secara keseluruhan mengandung persoalan – seperti yang selama ini dia klaim – lalu pertanyaan kita, kenapa musti harus di incrit-incrit (dikeluarkan sedikit demi sedikit) informasinya? Supaya keren? Supaya gayeng? Atau supaya apa coba? Apa pula makna surat Sudirman Said selaku Menteri ESDM kepada Mr. James R.Muffet itu? Bagaimana pula kronologisnya sehingga kerjasama antara Sudirman Said selaku yang mewakili regulator dengan Makroef Sjamsuddin selaku yang mewakili operator berubah menjadi semacam langkah politik bersama dengan berwacana di ruang publik berbekal rekaman?