Mohon tunggu...
Sri Agung Mikael
Sri Agung Mikael Mohon Tunggu...

Mengintip wangsit dari langit, menyingkap kabut laut, mengembangkan layar bahtera KEBANGSAAN

Selanjutnya

Tutup

Politik

17+08+45=70 (Sudahkah Anda Merdeka?)

9 Agustus 2015   18:14 Diperbarui: 9 Agustus 2015   18:14 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masihkah relevan berbicara tentang kemerdekaan di tengah kelesuan ekonomi, nilai tukar rupiah melemah, kekeringan dan bencana alam diberbagai daerah serta dinamika politik yang tak berpihak kepada rakyat? Mungkin Anda bosan, atau bahkan muak. Tak apa. Kali ini saya akan membawa Anda berselancar dalam gelombang pemikiran yang mungkin aneh atau bahkan ganjil. Dengan keanehan atau keganjilan itu saya sekaligus ingin menegaskan, bahwa ini bukan doktrin melainkah hanya sebuah ikhtiar dari seorang anak negeri untuk memahami pemikiran para bapa bangsanya.

Pada tanggal 17.08.2015 nanti bangsa Indonesia memperingati 70 tahun kemerdekaan. Angka 70 itu juga sekaligus memudahkan kita mengingat hari ketika pertama kali Proklamasi Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta, yaitu pada tanggal 17 bulan 08 tahun 45 yang jika dijumlahkan 17+08+45=70.

Kemerdekaan vs Kebebasan

Pertanyaan-pertanyaan tentang kedua hal ini dapat diajukan : apakah dengan kemerdekaan atau kebebasan kita menjadi demokratis? Apakah dengan kedua hal itu kita menjadi lebih sejahtera? Apakah dengan kedua hal itu, sebuah negeri menjadi lebih fungsional bagi individu di dalamnya? Mungkinkah ada kemerdekaan tanpa kebebasan atau sebaliknya? Bagaimanakah kebebasan diejawantahkan sebelum dan sesudah kemerdekaan; adakah perbedaan makna?

Kemerdekaan adalah situasi dan kondisi yang diperlukan bagi suatu bangsa. Kemerdekaan merupakan wacana para politisi dan negarawan. Kebebasan itu bagi individu. Tak heran jika wacana kebebasan selalu digandrungi para pemuja hak azasi manusia. Keduanya berada pada aras yang berbeda; kelompok dan individu. Sebuah pertanyaan lain tentang kedua hal ini adalah : apakah kemerdekaan suatu bangsa akan mengkontribusi kebebasan individual rakyat suatu negeri ataukah kebebasan individual akan mengkontribusi kemerdekaan suatu bangsa? Apakah hubungan kedua hal itu resiprokal (timbal balik) atau komplementer (saling menunjang/melengkapi)?

Sebelum momentum kemerdekaan, kebebasan merupakan menu yang menyediakan fitur pembangkangan sipil. Pembangkangan sipil atas nama kebebasan merupakan alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Setelah momentum kemerdekaan, kebebasan merupakan menu yang menyediakan fitur partisipasi sipil dalam tatanan sebuah negeri, meski masih saja ada pihak yang menafsirkannya sebagai fitur pembangkangan sipil. Ambil contoh, penggunaan frekuensi sebagai ruang publik oleh televisi swasta sebagai alat propaganda anti pemerintah atau untuk iklan pribadi/partai politik pemilik stasiun televisi yang bersangkutan. Atau contoh lain, demo berkepanjangan tanpa tujuan yang jelas.

Kemerdekaan adalah kondisi yang memungkinkan terpeliharanya kebebasan dalam tatanan sebuah negeri. Di sana, dalam paradigma politik "hikmat kebijaksanaan" kita sampai kepada diskursus demokrasi dan pemerintahan model republik; rakyat menjadi pilar politik. Jika kebebasan kita ibaratkan menu, maka kemerdekaan adalah fitur, yaitu sebagai tatanan atas menu kebebasan. Kemerdekaan menjadi suatu proses paradigmatik yang berada dalam anteseden (tarik menarik) antara tatanan dan kebebasan itu sendiri. Kebebasan hanya dapat ditata dengan suatu "hikmat" agar menghasilkan demokrasi yang sehat.

Pernyataan Kemerdekaan dan Paradigma Indonesia

Pernyataan kemerdekaan kebangsaan Indonesia tertuang dalam naskah Proklamasi. Pernyataan tersebut kemudian dilengkapi dan dimatangkan dengan suatu paradigma yang terdapat dalam preambule atau muqadimah atau pembukaan UUD 1945. Paradigma itu tersusun dan lahir dari hikmat kebijaksanaan pada bapa bangsa. Hikmat kebijaksanaan adalah rahmat, berkah yang hanya mampu diemban olen insan-insan kamil, manusia berperadaban mulia karena hati dan jiwa mereka yang berketuhanan. Hikmat itu digeluti dan diproses terus-menerus dalam sebuah kerangka keindonesiaan yang satu guna mewujudkan keadilan sosial bagi semua. Mungkinkah hikmat itu lahir dari perilaku sosial yang hedonis, dinamika politik yang mementingkan kepuasan diri, kolutif, koruptif dan nepotis? Rasanya mustahil. Tetapi apakah paradigma hasil berhikmat itu bakal mampu menggiring perilaku sosial dan politik yang diharapkan? Ini persoalan yang rumit, seperti menjawab pertanyaan : mana lebih dulu ada, telur atau ayam?

Country dan State

Pada paragraf sebelumnya, saya memilih kata negeri. Bukan negara. Konsep negeri ini tampaknya lebih cocok dengan konsep a three layers of governance yang berkembang di Kanada. Sebuah negeri (country) dimaknai sebagai kesatuan agregatif yang terdiri dari negara (state), masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat korporasi (private sector). Para bapa bangsa kita tampaknya mempunyai alur pemikiran yang berbeda dengan itu. Mereka berangkat dari isu kebangsaan, sehingga jika kita teliti dokumen-dokumen sejarah akan terungkap bahwa kebangsaan itu merupakan konsep yang otosentris dalam perjuangan Indonesia. Dengan kata lain, perjuangan Indonesia adalah perjuangan untuk menjadi sebuah bangsa. Klimaks alur pikir ini terdapat dalam naskah proklamasi. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah proklamasi kemerdekaan sebagai bangsa, bukan pertama-tama sebagai negara. Negara (state) adalah konsekuensi logis dari bangsa yang merdeka. 

Jika kita hubungkan dengan konsep a three layers of governance, maka dapat dipahami bahwa pemikiran para bapa bangsa kita terkesan tidak menjangkau agregasi entitas-entitas lain di negeri ini sebagaimana konsep a three layers of governance itu. Mereka fokus pada dua entitas, yaitu bangsa dan negara. Namun demikian, jika kita menilik paradigma negeri yang tertuang dalam preambule UUD 1945 tampak para bapa bangsa itu memang belum mempertimbangkan domain kekuasaan selain negara namun mereka merumuskan sebuah isme "country well being" yang mencakup hak-hak sipil dan kekuasaan negara. Private sector belum terjangkau dalam tatanan paradigmatik Indonesia; bahkan hingga kini!!! Barangkali hal terakhir inilah yang menimbulkan kesan bahwa selama ini Indonesia lebih liberal dari negara liberal lainnya; lebih kapitalis dari negara kapitalis lainnya.

Reaktualisasi makna kemerdekaan kebangsaan dalam konteks sebuah negeri sebagai a three layers of governance itu sangat relevan, dimana kontribusi atas makna merdeka sebuah bangsa haruslah berasal dari ketiga pilar negeri itu, yaitu civil society, state dan private sector;  meskipun berawal dari pilar negara. Tanpa kontribusi dari ketiganya, sebuah kemerdekaan hanyalah kata kosong, idealisme basi, seperti sebuah paradigma yang tak kunjung mewujud. Negeri ini masih memerlukan negara sebagai penata. Kebebasan tanpa tatanan (baik yang ditumbuhkan oleh masyarakat sipil, apalagi yang ditumbuhkan oleh private sector) berpotensi memangsa siapa saja, termasuk memangsa mereka yang nyaring menyuarakan kebebesan itu sendiri. Barangkali ini pula sebabnya ada pihak yang mengistilahkan "kebebasan itu seperti kado indah dari setan." Tetapi tatanan tanpa kebebasan adalah juga totalitarianisme yang rawan memangsa kemanusiaan. 

Anteseden antara tatanan dan kebebasan ini tampaknya niscaya dan abadi. Kebebasan tanpa paradigma itu adalah kekacauan. Tatanan tanpa paradigma itu akan menjadi penindasan. Oleh karena itu tepatlah kiranya para bapa bangsa Indonesia meletakkan sebuah paradigma yang menengahi tarik-menarik antara tatanan dan kebebasan itu dalam lima poin emasnya : ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Dan kemerdekaan adalah momentum di sebuah negeri dari suatu bangsa untuk menyepakati berdirinya suatu negara dengan paradigma yang dirumuskan dalam naskah Proklamasi dan Preambule UUD nya : Indonesia.

Country well being

Paradigma itu menjadi sebuah isme, yaitu isme country well being. Mungkin inilah sebabnya ada pihak yang menyebut nasionalisme Indonesia sebagai nasionalisme ideologis. Paradigma sebagai perangkat norma, rumusan-rumusan determinan-determinan, prasyarat-prasyarat dasar kemudian mengemuka menjadi proposisi-proposisi konstitusionalisme Indonesia. Proposisi-proposisi itu awalnya dituangkan ke dalam batang tubuh UUD 1945. Beberapa proposisi yang belum tuntas atau sangat dinamis dituangkan ke dalam penjelasan UUD 1945. Dengan kata lain, antara paradigma dengan proposisi tatanannya dalam konstitusi memiliki derajat isomorphi yang nyaris sempurna. Nyaris berhimpit, konsisten dan koheren antara paradigma dengan proposisi menuju country well being. Namun sekali lagi, paradigma maupun propisisi itu belum menjangkau apa yang dewasa ini disebut sebagai a three layers of governance itu.

Setelah amandemen UUD 1945 

Paradigma berbangsa bernegara (konstitusionalisme) Indonesia sebagaimana tertuang dalam preambule UUD 1945 tidak berubah. Namun proposisi-proposisinya telah berubah dan bertambah setelah amandemen-amandemen. Apakah antara proposisi dengan paradigmanya masih konsisten dan koheren? Bagaimana langkah dan konseptualisasinya jika bangsa ini ingin menambahkan/melengkapi determinan-determinan sebagaimana dalam konsep a three layers of governance (state. civil society, private sector)? Menurut hemat penulis ini merupakan pekerjaan rumah yang besar dan harus segera dituntaskan untuk memperkuat makna kemerdekaan sekaligus mempertegas arah perjuangan bersama menuju country well being.

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 70

Selamat mewujudkan country well being 

Salam merdeka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun