"Mak, bolehkan aku meminjam uangmu? Si Ateng demam sejak kemarin, aku mau membawanya berobat ke dokter di Puskesmas," terdengar lirih suara Sumi.
"Kamu tidak perlu ke dokter, hidup melarat seperti ini masih belagu meniru kehidupan orang kaya berobat ke dokter," jawaban Mak terasa sangat menyakitkan.
"Tapi Mak... Ateng menangis terus, badannya panas sekali," Sumi membaringkan anaknya di atas dipan tua yang berada di ruang tamu. Kuku tangan perempuan itu pecah karena pengaruh soda api dalam sabun yang digunakannya mencuci baju tetangga. Ateng- bocah lelaki umur empat tahun itu menangis lirih. Tubuhnya sangat panas sampai ke jemari kakinya.Â
"Mak sudah bilang ratusan kali, anakmu penyakitan dan belang bonteng karena kamu selalu menolak titah leluhur. Kamu memang keras kepala," maki Mak pada Sumi yang ketakutan dan bercucuran air mata. Tangannya gemetar meremas ujung kain yang dipakai membungkus tubuh Ateng. Sumi menggelengkan kepala, dia berusaha menghibur Ateng yang meringis resah menahan sakit.
"Anakmu sakit karena kamu tidak pernah melarung ayam likku, songkolo (beras ketan kukus) dan juadah ke sungai seperti kebiasaan masyarakat di sini. Kamu selalu membantah kata-kata Mak."
Sumi kembali terhenyak mendengar rentetan kalimat Mak bagaikan senapan mesin.
"Bagaimana mau melarung ayam, songkolo dan jajanan pasar kalau makan sekeluargaku masih Senin-Kamis," gumam Sumi dalam hatinya. Burhan, suami Sumi bekerja sebagai buruh penggarap sawah adalah lelaki penyakitan sehingga tidak mampu bekerja dalam jangka waktu lama. Fisik yang lemah karena kurang gizi membuat Burhan tidak dapat bekerja secara maksimal. Walau tersendat-sendat, kehidupan keluarga Sumi masih berlanjut karena Sumi bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangga jika tidak ada sawah yang membutuhkan tenaganya.
"Sudah kubilang, menikah dengan Burhan hanya membawa petaka untukmu. Anak lahir terus tanpa terkendali. Lihat dirimu baik-baik, kamu itu cantik, santun dan pandai menyenangkan orang," Mak mendorong wajah Sumi ke depan cermin. Sumi melihat wajah perempuan mendekati umur dua puluh lima tahun, berkulit kering berkerut dengan lingkaran hitam pekat di sekeliling matanya. Wajah seorang perempuan penuh derita berkepanjangan.
"Seandainya kamu menuruti kata-kata Mak menikah dengan Mandor Sinyo, nasibmu tidak begini. Kamu dapat hidup enak seperti Erna, teman sekolahmu itu," bisik Mak, terdengar sangat kejam ke telinga Sumi. Mak melepaskan wajah anaknya dengan kasar dan berjalan menuju ke dapur. Sumi jatuh terduduk di lantai. Dia menangis tersedu di dekat kaki dipan mendengar omelan Mak yang sangat menyakitkan hati. Pikiran Sumi melayang membayangkan wajah Erna, teman sekolahnya yang lihai memikat lelaki. Hidup Erna penuh kemakmuran sebagai istri simpanan Mandor Sinyo. Erna- nama pemilik tubuh gemulai dengan bibir yang selalu basah dan memakai gincu berwarna merah menyala sanggup meruntuhkan iman Mandor Sinyo yang memang senang daun muda. Sumi menyandarkan kepalanya ke dinding dekat dipan tempat Ateng berbaring. Kakinya berselonjor menampakkan kuku kaki hitam dan kotor. Tumitnya pecah terbakar panas matahari di jalan berbatu yang dilaluinya. Dia menahu benar tabiat Mandor Sinyo, lelaki playboy yang tidak dapat hidup tenang melihat gadis cantik berkeliaran di hadapannya. Seorang lelaki yang suka menabur benih dimanapun dan membiarkannya menggelandang ke sana kemari. Tanpa sepengetahuan Sumi, diam-diam Mak telah merancang pernikahan anaknya dengan Mandor Sinyo.
*