Pumpkin terbangun dalam dingin pagi berkabut di sebuah kursi taman. Gadis berambut dan bermata coklat itu merasakan tubuhnya gemetar karena sejak kemarin lambungnya belum terisi makanan. Dia mendengus kedinginan dan merasa sangat tersiksa. Sekelilingnya begitu sunyi dan tidak ada aktivitas apapun. Pumpkin merapatkan tasnya untuk menahan suhu dingin menabrak tubuhnya. Matanya memandang iri kawanan burung beterbangan bebas dan bahagia di angkasa nan biru. Matahari menyembul malu-malu dari balik gedung pencakar langit yang berada di seberang taman. Sejak ayah dan ibunya meninggal di penjara, Pumpkin terusir dari rumah peninggalan almarhum orang tuanya. Ayah dan ibu Pumpkin dituduh bersekongkol telah menggelapkan uang perusahaan sehingga dijebloskan ke penjara oleh saingan bisnisnya. Malang tidak dapat ditolak, keduanya ditemukan meninggal karena menenggak racun serangga bagaikan cerita Romeo dan Juliet. Setelah penyitaan aset orang tuanya, Pumpkin harus berjuang untuk bertahan hidup dari kejamnya kehidupan ibukota.
Gadis berbaju kumal itu berjalan gontai, berharap menemukan sisa roti yang dapat dimakan. Perutnya semakin terasa nyeri saat hidungnya mencium aroma kopi menguar dari sebuah kafe. Dilihatnya lelaki dan perempuan berbalut baju hangat antri berbaris membeli aneka kudapan dan minuman panas untuk bersarap pagi. Tiba-tiba Pumpkin melihat selembar kertas terbawa angin berisi tawaran pekerjaan mendarat di dekat kakinya. Tangannya tergerak memungut kertas itu dan membacanya secara seksama. Terdorong oleh rasa putus asa karena kelaparan, Pumpkin segera berjalan ke alamat tujuan yang berada beberapa blok dari tempatnya berdiri. Dia tiba di rumah nomor 13 sesuai dengan alamat yang tertera dalam kertas yang dipegangnya. Pumpkin mengintip dari pintu pagar setengah terbuka ke dalam pekarangan luas sebuah rumah yang dibangun dengan model abad pertengahan. Dilihatnya bangunan itu mempunyai banyak sekali jendela kaca dan halamannya dipenuhi dedaunan kering. Sekilas  rumah itu tampak kurang terurus karena catnya sudah kusam, kaku dan tampak tidak berpenghuni. Terdapat pula semak merambat di ujung dinding nyaris mencapai atap menambah kesan misterius. Pohon yang terdapat di situ tumbuh begitu tinggi dengan dahan seolah ingin merangkul langit. Angin dingin bertiup membuat bulu kuduk Pumpkin merinding namun dia mengabaikannya. Dia memegang perutnya yang sibuk bernyanyi sejak semalam, terasa perih menggigit. Rasa lapar membuat Pumpkin mengabaikan takut yang merona dalam hatinya. Penuh percaya diri Pumpkin segera masuk ke dalam pekarangan dan segera membersihkannya dengan sapu yang teronggok di sudut bangunan. Saat sibuk menyapu, terdengar sebuah bentakan.
"Apa yang sedang kamu kerjakan di sini?" sebuah suara bariton menyapa Pumpkin dengan pandangan curiga. Lelaki itu berbadan tegap dengan rambut berombak tersisir rapi. Dia memakai kaca mata hitam dipadukan busana berwarna gelap pekat. Wajahnya terlihat kaku dan dingin.
"Saya datang ke sini karena membaca selebaran ini," Pumpkin menunjukkan kertas yang berada di dalam sakunya. Lelaki itu tertegun, memandangnya tidak percaya.
"Aku sudah membersihkan sebagian dedaunan kering, halamanmu terlihat sangat jorok karena sampah itu," Pumpkin menunjuk  ke arah tumpukan sampah yang berada di sudut pekarangan. Lelaki itu mengusap dagunya dan memandang penuh minat pada Pumpkin.
"Siapa namamu?" lelaki itu bertanya angkuh pada gadis yang berdiri di depannya. Dia masih mengelus dagunya dan menatap  gadis itu mulai dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya.
"Namaku Pumpkin. Kamu siapa?"
"Aku Draven, juru laden Madame Morwenna Nocturna, pemilik rumah ini."
"Kamu bertinggal di kota ini bersama orang tuamu?" Draven kembali menginvestigasi gadis di hadapannya.
"Mereka sudah lama meninggal dunia, aku hidup sebatang kara di sini. Biasanya aku tidur di kursi taman dengan perut keroncongan," Pumpkin menjawab sangat jujur pertanyaan Draven. Dia segera mengambil sapu dan membersihkan halaman dari dedaunan kering.
"Kamu benar-benar seorang gadis yang sangat malang, tapi itulah kriteria yang diinginkan oleh Madame Morwenna. Seorang gadis lugu, berpenampilan manis, sebatang kara... aku yakin sekali Madame Morwenna pasti suka padamu," lelaki itu bertepuk tangan senang dan tampak bahagia mendengar jawaban Pumpkin. Dia memandang Pumpkin yang sibuk membersihkan.
"Bolehkah aku meminta sedikit makanan dan segelas air? Sejak semalam aku belum makan, rasanya aku sangat lemah untuk bekerja," suara Pumpkin terdengar lirih sekali. Draven tersenyum dan mengiyakan. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah sambil bersiul senang. Setelah menyapu pekarangan yang penuh sampah, Pumpkin mulai menyiram bebungaan yang terlihat mulai layu. Dia juga memotong ranting mati dan rumput dengan gunting tanaman yang tersedia dekat keran air.
Detik berganti menit, Draven keluar bersama seorang perempuan berambut gelap bergaya bak model. Saat melihat Pumpkin, perempuan itu menjilat bibir tipisnya yang menggurat segaris senyum dingin misterius. Di tangan lelaki itu terdapat sebungkus besar sandwich dan sebotol air mineral. Dari kejauhan mereka memandang Pumpkin sibuk bekerja memotong rumput yang telah meninggi.
"Akhirnya datanglah  Pumpkin, seorang young sanguinette* yang bersedia merawat keindahan halamanmu. Lihatlah dia, begitu bugar, polos dan ....hmmmm.....," Draven menyeringai senang. Dia menjilat bibirnya bagaikan orang kehausan.
"Menurut pandanganku, tampaknya dia lumayan rajin dan sangat sesuai dengan kriteria yang kuinginkan. Aku terima dia bekerja di sini dan..." Madame Morwenna menggantung kalimatnya.
"...dan apa lagi Madame? Apakah ada yang salah padaku?"
"Draven... saat ini kamu harus mendengarku, ingat... patuhi kata-kataku," terdengar bisikan perempuan itu ke telinga Draven dengan nada mengancam. Madame Morwenna menatap tajam mata lelaki itu yang terasa sampai ke lubuk hati terdalam. Draven terlompat ketakutan, dia mengernyitkan keningnya tidak mengerti.
"Kamu kenapa Madame? Tampaknya pagi ini kamu sangat sensitif dan berbeda dari biasanya. Apakah semalam kurang nyenyak tidurmu? Ataukah petimu sudah terasa tidak nyaman lagi?" Draven bertanya bingung.
"Kamu sangat kularang menyentuh Pumpkin dengan alasan apapun karena gadis itu milikku seutuhnya. Seorang perawan sumber keabadian yang telah lama kucari. Kini aku telah mendapatkan seorang gadis muda, manis, segar dan harum seperti bunga yang baru mekar di padang rumput musim semi," perempuan itu mendelik senang. Dia mengelus dan menjilat bibirnya yang memakai lipstik berwarna gelap. Madame Morwenna membayangkan leher jenjang Pumpkin yang begitu menggoda untuk disapa. Draven memonyongkan bibirnya, sedikit kecewa mendengar pernyataan Madame Morwenna.
"Aku berjanji mematuhi semua kata-katamu, namun berikan pula aku kesempatan menikmati seteguk darah mangsamu," kata-kata Draven menghiba di telinga Madame Morwenna yang disambut dengan pandangan sinis. Mereka berdua berjalan perlahan mendekati Pumpkin. Sejak dari kejauhan, kedua orang itu mencium aroma darah segar seorang gadis yang terasa sangat kuat. Bebauan nikmat itu memaksa tubuh Draven bergetar hebat, deru nafasnya memburu. Makanan dan minuman yang dipegangnya nyaris jatuh karena jemarinya bergetar luar biasa bagaikan tersengat listrik maha dahsyat. Madame Morwenna yang berada di sampingnya menoleh dan mencubit lengan Draven saat melihat sepasang taring muncul di balik senyuman si lelaki.
"Aku tidak kuat menahannya Madame, young sanguinette-mu begitu menggoda. Kerongkonganku tiba-tiba terasa sangat haus karena aroma itu. Aku sudah lama sekali tidak meminum darah segar," Draven meringis kesakitan terkena cubitan Madame Morwenna.
"Kendalikan dirimu Draven, jangan membuat gerakan mencurigakan. Aku tidak mau rencanaku hancur karena ketololanmu," Madame Morwenna berbisik ke telinga si lelaki dan menghentak lengannya dengan keras. Terlihat kilauan sepasang taring nan tajam di sudut mulut perempuan yang dipanggil dengan nama Madame Morwenna Nocturna, garis keturunan ke lima silsilah penguasa House of Morvath, tempat Pumpkin diterima bekerja. Kedua orang itu telah berdiri di belakang Pumpkin. Draven mendehem, dia segera menyodorkan makanan dan minuman yang dipegangnya. Setelah mengucapkan terima kasih, Pumpkin segera berjalan menuju ke bangku yang berada di bawah sebuah pohon. Penuh kenikmatan, dia menyantap sandwich berisi daging kalkun, keju, irisan tomat dan lelehan saus buah peach untuk melepaskan rasa laparnya. Kenikmatan itu diakhiri dengan tegukan sebotol air dingin membasahi kerongkongan. Pumpin mendesah penuh rasa puas. Dia berjalan perlahan mendekati Draven dan Madame Morwenna untuk menerima titah selanjutnya.
"Ini adalah Madame Morwenna Nocturna, pemilik House of Morvath," Draven memperkenalkan majikannya kepada Pumpkin. Gadis itu terlihat ragu menyalami jemari tangan Madame Morwenna yang kukunya dipoles kuteks hitam. Jarinya terlihat mulus, ramping dan berwarna pucat kebiruan. Perempuan itu memakai kaca mata hitam yang bingkainya bertabur kristal Swarovski nan indah kemilau. Sang penguasa House of Morvath tampak elegan namun terasa sangat menyeramkan berada di dekatnya. Pumpkin dapat merasakan desah nafas Madame Morwenna menyentuh leher jenjangnya. Terasa dingin es dan sangat menyakitkan bagaikan tergores pecahan kaca.
"Selamat datang Pumpkin. Kamu diterima bekerja di sini, kamarmu berada di sana, ini kuncinya. Teruslah bekerja yang rajin. Semakin kamu tenang menjalankan tugasmu, selalu tersedia upah menarik untukmu. Jika kamu terlalu banyak omong dan melanggar aturan yang telah kutetapkan, kamu akan kukirim ke tempat yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya," Madame Morwenna memberikan amplop tebal dan menyeringai aneh. Kedua orang itu berbalik dan berlari cepat di bawah terik matahari menuju ke dalam rumah. Perilaku aneh ini meninggalkan segudang tanda tanya di kepala Pumpkin. Namun dia tiba-tiba ingat pesan Madame Morwenna. Dia membuang semua imajinasi salah dalam pikirannya dan membuka amplop yang berada dalam genggaman. Pumpkin tersenyum lebar melihat segepok uang yang dapat digunakan menyambung hidupnya.
"Siapapun kamu dan dari dunia manapun kamu berasal, kuucapkan banyak terima kasih karena telah menyelamatkan hidupku untuk hari-hari mendatang," Pumpkin menyimpan amplop itu ke dalam tasnya. Dia merasa berbahagia telah menemukan tempatnya menyambung hidup. Kunci yang telah berada dalam genggaman memicu langkahnya menuju ke paviliun kecil yang ditunjukkan oleh Madame Morwenna (srn).
*Sanguinette -- Gabungan dari kata "sanguine" (berkaitan dengan darah) dan akhiran feminin "ette", memberi kesan pelayan yang berhubungan erat dengan darah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H