Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers, https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Netra dari Terminal Bis

12 September 2024   22:16 Diperbarui: 12 September 2024   22:21 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sierra ditakdirkan lahir dalam kegelapan sejak 19 tahun lalu. Selama ini dia tidak pernah menahu tentang indahnya warna langit saat senja atau awan kelabu yang membawa air hujan. Sierra hanya merasakan bebauan bunga dan tidak dapat melihat kemolekannya. Teman sejati Sierra adalah biola yang mampu mengalunkan musik pelipur lara, namun cinta mulai menerpa Sierra  saat seorang preman terminal hadir mengisi hari-harinya dengan penuh optimisme.  Sierra mengenal Leone saat lelaki itu menolong sang gadis yang diganggu oleh beberapa orang anak jalanan. Pak Mat, sopir ayah Sierra terlambat menjemput ke tempat les biola karena mobilnya tiba-tiba mogok di jalan. Gedung tempat Sierra belajar telah lama tutup karena hari sudah menjelang magrib. Sierra sedang berdiri di halte depan gedung saat lewat rombongan pengganggu itu. Sierra mendengar suara ejekan dibarengi tawa menyeramkan berada di sekelilingnya. Bau minuman keras memenuhi udara dan sebuah tangan kasar tiba-tiba mengelus kepala Sierra. Gadis tuna netra itu jejeritan tidak karuan, berharap ada yang datang menolong saat dia merasakan sepasang tangan kekar meremas bahu mungilnya. Tanpa diduga, terdengar suara bentakan dan sebuah tangan lelaki merengkuh tubuh Sierra ke dalam pelukannya. Lelaki asing itu menghalau kelompok anak jalanan yang berniat jahat kepada sang gadis. Mereka tidak sempat mengobrol karena Pak Mat telah datang menjemput Sierra. Lelaki malaikat itu menyebut namanya Leone dan dia berjanji akan kembali menemui Sierra di depan halte ini.

Leone datang membawa keceriaan dan dia sangat pandai menghibur hati Sierra. Hari-hari sang gadis menjadi lebih berwarna karena kehadirannya. Entah mengapa perlahan dirasakannya sesuatu yang lain jika Sierra bertemu dengan Leone. Apakah ini yang dinamakan cinta pertama?

"Suatu saat engkau akan menikmati cahaya yang kamu rindukan, Sierra," suara bariton Leone menyapa telinga sang gadis.

"Kapan mimpi itu jadi kenyataan? Aku lelah menunggu, namun aku sangat bahagia kamu selalu ada bersamaku," suara manja Sierra mendesah di telinga Leone. Lelaki preman itu mendehem dan merengkuh Sierra ke dalam pelukannya.

Akhirnya Sierra mendapat kabar baik. Dokter yang merawatnya telah menemukan donor yang pas untuk mata Sierra. Gadis itu sangat gembira dan ingin mengabarkannya pada Leone. Namun lelaki itu tidak pernah lagi datang menemuinya di tempat les biola. Tibalah hari operasi yang berjalan mulus. Beberapa hari berikutnya, perban mata Sierra dibuka oleh Dokter. Perlahan-lahan dirasakannya matanya perih dan silau saat kilatan cahaya mendera ke dalam bola matanya. Sierra sangat terpukau melihat indahnya langit biru dan bebungaan yang mekar dari balik jendela rumah sakit. Dokter sangat bahagia melihat progress Sierra. Tiba-tiba jantung Sierra berdebar sangat kencang, disebutnya nama Leone, kekasihnya.

"Olive, kamu ke sini sekarang dan bawakan kotak biolaku," Sierra menelpon pengasuhnya untuk segera datang ke rumah sakit. Rasa rindu kepada Leone membuat Sierra ingin sekali memainkan lagu-lagu favorit mereka. Dadanya terus berdebar, menahan rindu puluhan purnama untuk segera melihat wajah lelaki yang dicintainya.

Saat Olive tiba membawa kotak biola, segera dibuka penguncinya. Dia meraba pocket rahasia yang berada di dasar kotak, jemarinya sibuk mencari sesuatu. Bibirnya tersenyum saat melihat barang yang dicarinya.

"Kamu bacakan isi surat ini."

Olive memandangnya bingung, namun dia patuh melakukan perintah Sierra. Dibukanya lembaran kertas kumal berwarna coklat berisi tulisan acak-acakan nyaris tidak terbaca.

"Sierra Sayang, jika engkau membaca surat ini, aku telah berada sangat jauh darimu. Kamu tidak perlu kuatir Sayang, aku baik-baik saja. Semoga engkau berbahagia menikmati keindahan cahaya dan warna warni kesukaanmu. Salam penuh cinta, Leone."

"Coba bacakan sekali lagi surat itu," pinta Sierra. Olive kembali membacanya dan air mata menggenangi kelopak mata Sierra. Dia resah membayangkan lelaki itu telah pergi meninggalkannya.

"Sekarang antarkan aku ke terminal tempat Leone biasa berkumpul dengan teman-temannya."

"Tapi Sierra, nanti Dokter akan..."

"Tidak ada tapi-tapian, bawa aku sekarang ke tempat Leone. Aku mau bertemu lelaki itu."

Mereka keluar mengendap-endap dari rumah sakit dan segera menaik taksi yang kebetulan mangkal di depan tempat itu. Olive meminta sopir segera menuju terminal angkutan darat.

"Terminal bagian mana?"

"PO Pinus Berdendang," Sierra menjawab singkat pertanyaan sopir taksi. Dia menahu nama tempat itu karena pernah dibawa Leone ke sana. Mobil menyalip kiri kanan di jalanan ramai karena penumpangnya tidak sabaran menuju ke lokasi tujuannya. Terminal penuh sesak dengan manusia yang menunggu kedatangan bis. Hiruk pikuk suara dari pengeras dan teriakan pedagang asongan menambah riuh suasana. Setelah Olive membayar biaya taksi, mereka segera menuju ke tempat penjualan tiket bis Pinus Berdendang.

"Mau kemana Dik?" sapaan ramah seorang lelaki tua yang menjual tiket di loket. Olive dan Sierra saling berpandangan.

"Kami mencari Leone," Olive menjawab pertanyaan itu.

"Leone?" bapak tua itu mengernyitkan keningnya, dia memandang kedua gadis itu seakan tidak percaya dengan pendengarannya.

"Kami ingin ketemu Leone, dimana dia sekarang Pak?" Sierra bertanya tidak sabaran. Dia bertekad harus segera bertemu cinta pertamanya dan mengabarkan kebahagiaannya hari ini. Raut wajah lelaki itu berubah menjadi pilu mendengar niat Sierra. Segera dipanggilnya seorang perempuan yang berada di dekatnya dan membisikkan sesuatu. Perempuan itu segera keluar dari loket dan mengajak tamunya menuju ke kantor. Mereka memasuki sebuah pintu kaca dan duduk di sofa.

"Ini tempat Leone kan?"

Perempuan berseragam biru itu menganggukkan kepala, mengiyakan pertanyaan Sierra.

"Saya mau bertemu Leone."

Perempuan itu duduk terpekur, bingung dengan kenyataan yang harus dihadapinya.

"Dimanakah Leone berada?"

Sebelum pertanyaan itu terjawab, muncullah beberapa orang lelaki muda dan ikut masuk ke ruangan tempat Olive dan Sierra berada.

"Kamu pasti Sierra," salah seorang dari mereka menunjuk Sierra.

"Kamu menahu namaku?"

"Leone telah menceritakannya kepada kami."

"Kalian teman-teman Leone? Dimana dia sekarang? Aku ingin sekali bertemu dengan dia."

Para lelaki muda itu saling berpandangan bingung dan salah tingkah.  

"Mengapa kalian diam saja? Apakah kalian tidak suka aku mencari Leone?" pekik Sierra.

"Bukan begitu Nona, kami hanya..."

"Kalian kenapa bungkam ditanya tentang Leone, aku mau ketemu dia sekarang."

Semua orang di ruangan itu menunduk, perempuan berseragam biru itu mengusap air matanya.

"Leone telah pergi untuk selama-lamanya."

"Maksud kalian?"

"Leone meninggal dalam kecelakaan bis yang terjatuh dalam jurang beberapa minggu lalu."

Sierra tiba-tiba merasakan jantungnya berhenti berdetak. Pupus sudah harapannya untuk bertemu Leone.

"Kami sangat kehilangan Leone."

"Mengapa Tuhan tidak memberi kesempatan padaku untuk bertemu Leone," perempuan muda itu terpekik dalam ruangan. Tubuhnya lunglai dan nyaris terjatuh ke lantai. Untunglah Olive sangat tanggap dan segera memegangnya.

"Kenapa engkau meninggalkanku Leone, betapa ingin aku melihat wajahmu."

Semua orang menggigit bibirnya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Sierra.

"Nona, ini adalah foto orang yang engkau cari," seorang lelaki muda menyodorkan ponselnya. Sierra mengambil ponsel itu dan mengamatinya dengan seksama.

"Nona, kamu harus bersyukur tidak kehilangan Leone walaupun jasadnya sudah tiada."

"Apa maksud kalian?"

"Sebelum meninggal Leone telah menandatangani surat pernyataan untuk mendonorkan matanya kepada orang yang membutuhkan, ternyata dia telah memilihmu untuk merawat netranya itu. Tampaknya Leone sudah menahu, hidupnya tidak lama lagi di dunia."

"Berkali-kali dia menyatakan inilah perwujudan rasa cintanya padamu Sierra. Ini adalah buku harian Leone, kuharap engkau mau menyimpannya."

Sierra duduk terhenyak di kursi, kegelapan hidupnya lenyap tanpa bekas karena hadiah  sepasang kornea milik Leone. Sebuah foto terjatuh dari buku lusuh, gambar dirinya  memegang biola bersama Leone yang tersenyum. 

"Kami sangat bersyukur Leone tetap ada bersama kami. Sudilah kiranya Nona menjadi sahabat kami juga sebagai pelipur lara kehilangan Leone," perempuan berseragam biru itu terisak-isak dan disambut dengan anggukan para sahabat Leone. Ternyata Leone, si preman terminal telah menyumbangkan kornea matanya untuk Sierra, gadis yang dicintainya. Stigma bahwa preman terminal punya mental jahat pupus dengan perilaku mulia Leone. Sierra segera memeluk  perempuan berseragam itu dan menumpahkan tangisnya.

"Antarkan aku ke makam Leone."

"Leone telah lama hidup sebatang kara sehingga kami memutuskan mengkremasi jasadnya. Disinilah rumahnya bersama kami semua," perempuan itu memanggil seseorang yang memegang bungkusan diikat kain berwarna putih dan diserahkan kepada Sierra. Tangan gadis itu bergetar memeluk bungkusan guci berisi abu jasad Leone.

"Aaaarggghhh... Leoneeee..." Sierra mencium guci itu dan memeluknya erat. Dia memekik memanggil nama cinta pertama dan terakhirnya yang bernama Leone (srn).

Bionarasi: Sri Nur Aminah, seorang perempuan senang traveling dan belajar tentang serangga. Jika ingin mengenalnya lebih dekat, silahkan berkunjung ke IG srifirnas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun