Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers, https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dato Bu

24 September 2023   21:28 Diperbarui: 24 September 2023   21:31 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sri NurAminah (23 September, 2023)

"Hasilnya bagaimana Bu?" kulihat ekspresi Tante Imah kelihatan was-was.

"Kios ballo'nya ditutup. Pak RW menyita beberapa buah jerigen plastik berisi ballo' yang belum laku."

"Sekarang Daeng Narang ada dimana Bu?" tanya Tante Imah.

"Dia dibawa ke Kantor Lurah untuk bikin surat pernyataan. Jangan kuatir Delima, nanti malam kamu dapat tidur nyenyak. Cepatlah berpakaian, sudah kulihat becaknya Daeng Liwang menunggumu berangkat ke sekolah. Saya ambil dulu dompetku," Dato Bu mengelus kepalaku penuh sayang dan berjalan ke dalam kamar.

Dato Bu berpulang keharibaan Allah Subhana Wa Ta'ala saat aku akan ujian akhir Sekolah Dasar. Jasad nenek kesayanganku ditutup kain batik berlapis. Airmataku turun tiada henti  menangisi kepergiannya. Tidak ada lagi bodyguard tangguh yang melindungiku dari bully orang yang kurang senang dengan kehadiranku. Aku kehilangan seorang Dato Bu yang pandai membuat kue pawa (bakpau) favoritku yang berisi daging cincang. Walaupun pemarah, nenekku sangat murah hati. Jika beliau membuat kue pawa, sebagian diantarkan ke rumah guru mengajiku dan sisanya dibagikan ke tetangga sekitar rumah. Para tetangga bertangisan mengantar jenazah Dato Bu ke tempat peristirahatan terakhirnya yang berada di sisi makam kakekku. Almarhum kakekku telah meninggal delapan tahun yang lalu mendahului Dato Bu.

Sebagai cucu kesayangan, kepergian Dato Bu terasa sangat menyakitkan, namun aku harus ikhlas dan tegar. Tuntutan pendidikan layak membuat aku meninggalkan rumah panggung tua nenekku untuk hijrah ke Perguruan Tinggi yang berada di kota. Kata sibuk di kampus menjadi alasanku untuk tidak pulang kampung. Setelah kematian Tante Imah, ayahku menjual rumah tua peninggalan Dato Bu. Aku dihantui rasa sesal luar biasa karena ayahku tega menyuruh angkat kaki semua  anak Tante Imah, ponakannya berstatus  yatim piatu dan bertinggal di rumah itu.  Rasa malu luar biasa karena keegoisan  ayahku ini menghambat langkahku pulang ke Kampung Duri. Aku pasti dicap tega dan disalahkan sepanjang hayat oleh tetangga sekitar rumah Dato Bu, gegara keputusan ayahku yang hanya memikirkan kepentingan dirinya saja. Sejak kejadian itu, empat anak Tante Imah entah dimana berada.

Aku sudah lulus dan mendapat posisi bagus di sebuah kantor travel. Aku yakin Dato Bu dan Tante Imah pasti bangga melihat prestasiku. Entah mengapa aku tiba-tiba dilanda rindu ingin melihat rumah kelahiranku. Setelah meeting kantor usai, aku langsung tancap gas dan menghabiskan waktu dua jam mengemudi seorang diri tanpa persiapan apapun menuju ke Kampung Duri. Tiba di tujuan, mobilku melambsat dan berbelok ke dalam sebuah lorong. Kaca mobil  gelap tak tembus pandang dari luar menyempurnakan penyamaranku. Jalanan lorong sangat sepi. Meeting point di depan rumah Tetta Gassing, tempat perempuan kampung ghibah sambil mencari kutu telah hilang tanpa bekas.  

Situasi kampung Duri terasa sangat asing dan  tidak kukenal lagi. Aku berhenti sejenak di depan bekas rumah almarhumah Nenekku yang telah dijual. Tempat itu dan rumah Daeng Narang si penjual  ballo' yang berada di sebelahnya telah tergantikan oleh sebuah rumah panggung sangat mewah. Tidak tersisa sedikitpun kenangan masa kecilku. Nenek Kanang, Mak Summi, Tetta Gassing, Unda Yahya, Nenek Iyam, Ummi Djami dan tetangga lain yang menjadi saksi kehidupan masa kecilku telah berpulang ke Rahmatullah. Sebuah dinamika kehidupan terus berjalan seiring waktu (srn).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun