"Iye bu, besok saya ke rumahnya pak RT."
Pembicaraan kemudian berlanjut ke hal lain yang tidak kumengerti. Kulirik jam tua peninggalan almarhum kakekku yang berada di meja, jarumnya menunjukkan waktu 02.45 dinihari. Suara nyanyian orang mabuk masih terdengar kencang. Kututup telingaku dengan bantal dan berusaha tidur kembali.
Esok paginya saat mau mandi di kamar mandi yang berada di kolong rumah, kucium bau pesing menyengat beraroma ballo' merebak dari dalam kamar mandi. Aku menjerit memanggil Tante Imah yang datang tergopoh-gopoh bersama Dato Bu. Ekspresi tanteku sangat terkejut dan langsung menutup mulutnya yang mau muntah. Ternyata para lelaki mabuk itu kencing di tembok kamar mandi milik kami. Air kencingnya terserap di tembok batu bata, sangat sukses memindahkan aromanya ke dalam kamar mandi.
"Apa kubilang tadi malam, ini sudah tidak dapat dibiarkan lebih lama. Kau siram dinding  kamar mandi pakai karbol supaya tidak berbau," Dato Bu memberi instruksi pada Tante Imah.
"Iye, tapi Ibu mau kemana? Delima mau berangkat sekolah,"
"Aku mau ke rumah Narang sebentar. Suruh Delima segera mandi dan sarapan sebelum ke sekolah," Dato Bu berjalan menuju ke beranda rumah panggung.Â
"Rasakan kau Daeng Narang. Sudah berapa kali dikomplain tentang bau pesing tapi pelanggan ballo'nya masih bandel pipis sembarangan," kudengar Tante Imah berbicara sendirian.
"Memangnya Daeng Narang kenapa Tante?"
"Kamu cepat mandi, sebentar lagi Daeng Liwang datang menjemputmu ke sekolah. Kusiapkan dulu sarapan pagimu," Tante Imah bergegas ke dapur.
Saat sedang memakai baju seragam sekolah, kulihat Dato Bu memasuki ruang tamu dengan wajah puas.
"Sudah kukasih bagiannya Narang pagi ini. Ada juga pak RT, pak RW dan tetangga lainnya yang ikut melapor gegara kelakuan orang mabuk yang menimbulkan keributan di tengah malam,"