Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist. I believe my fingers...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dato Bu

24 September 2023   21:28 Diperbarui: 24 September 2023   21:31 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sri NurAminah (23 September, 2023)

Namaku Delima karena nenekku (ibu dari ayahku) yang kupanggil Dato Bu sangat menyukai permata merah delima. Nama indah itu diberikannya untuk aku, cucu pertama kesayangannya. Nama adalah doa dan harapan, Dato Bu berharap cucunya kelak menjadi orang sukses dengan perilaku seindah permata mirah delima yang sedap dipandang mata. Dato adalah panggilan dari bahasa Bugis untuk lansia. Dato Bu bertubuh gemuk karena suka menyantap makanan berkolesterol. Tanah kelahiranku yang berada di Pulau Celebes sangat terkenal dengan boga bahari dan keindahan rasa masakannya yang selalu dikenang sepanjang masa.  Makanan khas suku Bugis-Makassar terkenal dengan rasa gurih bersantan, mengandung banyak lemak dan aneka kue yang luar biasa manisnya. Penyakit adalah urusan belakangan, yang penting kita makan sajian yang disuguhkan untuk menghormati empunya acara. Begitulah pernyataan Dato Bu saat darah tingginya kumat akibat mengkonsumsi kari daging  dan nyaris setengah loyang sikaporo (kue tradisional Sulawesi Selatan berasa manis dan gurih, terbuat dari kocokan putih telur, gula pasir dan santan dicampur  air perasan daun pandan) di acara pernikahan anaknya Ummi Djami. Jika membuat kopi hitam dalam canteng (mug atau cangkir besar dalam bahasa Makassar) terbuat dari aluminium, Dato Bu selalu menambahkan gula sebanyak tiga sendok makan penuh sampai tidak mampu lagi larut dalam cairan kopi. Bahkan Dato Bu membawa toples berisi gula pasir ke hadapannya dan menambahkan rasa manis sesuka hatinya. Saat ini beliau sedang duduk di teras rumah panggung yang teduh dinaungi pohon jambu air. Perempuan tua bermata sipit itu mengusap betis dan telapak kakinya memakai minyak gosok cap tawon, berharap minyak serbaguna itu mampu meredakan rasa tidak nyaman di kakinya.

Aku yang saat itu masih bocil kelas satu Sekolah Dasar tahun 90-an tidak menahu apa artinya penyakit darah tinggi. Yang kuingat kalau penyakit itu mengunjungi Dato Bu, beliau mengomel sepanjang hari dan selalu memijat telapak kakinya memakai minyak gosok. Gegara penyakit itu, beliau kerap mencubit pahaku jika aku bandel tidak mau tidur siang. Dua sampai tiga biji spot berwarna merah kebiruan menyebar cantik di pahaku dan meninggalkan rasa sakit sampai keesokan harinya. Bukan hanya aku saja yang mendapat imbas kumatnya penyakit darah tinggi Dato Bu.  Galek, Kondo dan anak lelaki lainnya yang ribut bermain sepak bola di jalanan depan rumah sering disiram air karena mereka mengganggu kenyamanan tidur siang nenekku yang pemarah.

Sri NurAminah (September,2020)
Sri NurAminah (September,2020)

Badanku yang kurus dan berkulit hitam terbakar matahari membuat aku sering dibully oleh teman sekelasku. Otak naifku mendapatkan benefit dari sifat pemarah Dato Bu. Rasa sayang seorang nenek terhadap cucu memang tidak ada bandingannya. Marabahaya apapun akan diterjang demi kebahagiaan sang cucu kesayangan.  Setiap hari aku diantar Dato Bu ke sekolah, kami menaik becak Daeng Liwang, tukang becak kepercayaan keluargaku. Dato Bu mengantar dan menungguiku sampai  pulang sekolah. Setelah itu kami singgah ke pasar untuk berbelanja.

Wali kelasku yang bernama Ibu Maria terpaksa menempatkan nenekku duduk dalam kelas, di bangku paling belakang. Tampaknya beliau kuatir ditegur Kepala Sekolah karena dianggap menelantarkan seorang nenek di pekarangan sekolah.   Kujadikan kehadiran Dato Bu sebagai perisai untuk para pembully di sekolahku yang tidak mempan dimarahi oleh Ibu Maria. Ternyata strategi ini luar biasa jitu. Beberapa orang murid perempuan yang kerap membullyku mati kutu. Mereka tidak berkutik melihat nenekku menjadi bodyguard andalan yang menjagaku selama di sekolah.

"Delima, nenekmu seng ada lawan (dari bahasa Maluku berarti tidak ada lawan)" kata Rita sahabatku sambil cekikikan melihat Dato Bu memarahi Hasnah, pembully berbadan besar yang sudah dua kali tinggal di kelas satu karena tidak lancar calistung. Aku tersenyum menang.

Baca juga: Tragedi Papabur

"Hasnah jahat, dia suka mencubitku jika tidak kukasih contekan PR. Makanya dia kuadukan ke nenekku," aku memperlihatkan beberapa spot bekas cubitan Hasnah yang berwarna kehitaman di lenganku. Rita terlompat kaget melihatnya.

"Kamu sudah boleh tenang sekarang, Delima. Lihat itu,  Hasnah sedang panen  karma dari perbuatan jahatnya padamu," Rita menghiburku penuh sayang. Aku tersenyum puas, siapa yang berani melawan amukan kemarahan Dato Bu? Ayah dan Ibuku juga tidak berkutik dan menuruti titah perempuan paling dihormati di keluarga kami.

Suatu malam, aku bangun dalam keadaan kaget. Kudengar sayup-sayup suara beberapa orang lelaki bernyanyi diiringi ritme dinamis pukulan kaleng, denting kaca dan baskom plastik yang ditabuh. Arahnya dari rumah Daeng Narang, tukang becak yang bertinggal di sebelah rumah. Aku tidur bersama Dato Bu dan tempatnya disisiku sudah kosong. Kudengar suara Dato Bu dan Tante Imah dari arah ruang tamu.

"Besok pagi kau lapor ke pak RT kelakuannya ini tetangga sebelah. Sampaikan bahwa rumahnya  Daeng Narang sudah jadi tempat minum ballo' (minuman tradisional fermentasi khas Makassar, berasa kecut dan memabukkan terbuat dari air nira.) dan mengganggu kenyamanan tidur warga," kudengar suara nenekku bernada tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun