Masyarakat Kampung Duri  dilanda gundah gulana. Selain kekeringan berkepanjangan karena climate change, panen kelapa sawit terancam gagal karena serangan tikus hama.  Tikus hama ini 'sangat cerdas' karena makan buah kelapa sawit daripada rodentisida yang menjelma sebagai gula-gula tikus. 'Permen' beracun pembasmi tikus hama berbentuk dadu  berwarna biru kehijauan sangat gencar dipromosikan oleh  kios pertanian di kampung itu. Semua petani kelapa sawit membelinya  namun tidak ada hasilnya.Â
Kabar maraknya serangan tikus  hama di kebun kelapa sawit milik bapaknya juga terdengar oleh Rahmat.  Dia sedang mempersiapkan kepulangannya setelah studinya selesai.
"Kamu akan membawa Papabur bersamamu?" tanya Budi teman satu kosnya.
"Iyalah, saya mau terapkan hasil penelitianku di kebun kelapa sawit milik bapakku yang terserang tikus hama," Rahmat memandang kandang berisi burung hantu itu.Â
"Kamu adalah manusia yang bertanggung jawab pada kemajuan kampungmu," Budi mengacungkan dua jempolnya untuk Rahmat.Â
Saat Rahmat dan sepasang burung hantunya tiba di tempat tujuan, masyarakat sekitarnya menampakkan roman ketakutan pada barang yang dibawanya. Masyarakat Kampung Duri percaya mitos burung hantu pembawa bencana. Mereka menunjukkan rasa tidak suka melihat Rahmat dan  burung pemakan tikus yang dibelinya dari Perusahaan tempatnya melakukan penelitian. Salam  Rahmat tidak dijawab namun suara bernada miring terdengar menyentuh gendang telinganya.
"Beberapa hari yang lalu anak Papa Anto sakit keras. Setelah terdengar suara burung hantu melintas di atap rumahnya, si anak langsung meninggal," Â mulut nyinyir Mak Onah mengeluarkan kalimat sumbang.Â
"Memangnya anak itu sakit apa?" terdengar suara seorang ibu bertanya.Â
"Katanya demam, karena suara burung hantu, beberapa jam kemudian anak itu meninggal."
"Anak Papa Anto meninggal karena sakit tipes sangat parah, bukan karena suara burung hantu.  Aku yang memeriksa anak itu sebelum meninggal. Jangan mengaitkan kematian seseorang dengan burung hantu. Itu namanya fitnah," seorang suster  yang bekerja di Puskesmas  menengahi percakapan yang mulai mengarah sembarangan.Â
Rahmat menemukan rumahnya dalam keadaan kosong karena bapaknya masih berada di kebun.  Sore harinya pulang dari kebun, Pak Abidin melihat anaknya  membaca buku di beranda. Â
"Jam berapa kamu tiba?" Pak Abidin merangkul anaknya. Matanya membelalak melihat kandang berisi burung hantu berada di belakang Rahmat. Â
"Apa itu?" jari Pak Abidin menunjuk ke kandang, ekspresi wajahnya kurang senang.
"Itu Papabur dan Mamabur, burung hantu yang saya pakai untuk  penelitianku. Saya mau gunakan  untuk mengendalikan tikus hama yang menyerang kelapa sawit di kebun kita."
"Tahu apa kamu tentang serangan tikus hama? Gula-gula tikus saja tidak mempan."
"Burung hantu ini berjasa menyelamatkan kebun kelapa sawit di tempatku melakukan penelitian," Rahmat membanggakan kinerja burung hantunya.Â
"Aku tidak percaya omong kosongmu."
"Berilah saya kesempatan membuktikan bahwa mitos tentang burung hantu merupakan kepercayaan perusak akal sehat. Apakah Bapak menahu bahaya menggunakan gula-gula tikus? Itu adalah rodentisida, bahan kimia beracun untuk membunuh tikus. Jika tikus hama mati memakan rodentisida dan dimakan anjing atau kucing, kedua hewan itu ikut mati karena racun rodentisida cepat menyebar di dalam badan tikus. Cara paling aman dan ramah lingkungan memakai burung hantu untuk menangkap tikus."
Pak Abidin melengos kesal mendengar penjelasan Rahmat dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk membersihkan badan. Rahmat adalah anak yang gigih mempertahankan kebenaran pendapatnya. Secara diam-diam Rahmat membangun sebuah rumah burung hantu di kebun kelapa sawit bapaknya. Digunakannya papan dan seng bekas yang teronggok di emperan rumah. Dibelinya paku dan balok kayu memakai uang tabungannya selama mahasiswa. Rahmat yang kreatif berhasil menciptakan rumah mungil untuk Papabur yang berada di tengah kebun kelapa sawit.
Prahara dahsyat mulai menimpa Pak Abidin saat Rahmat telah melepaskan burung hantunya di kebun kelapa sawit. Â Saat tengah malam Pak Abidin mendengar suara ribut menggedor pintu rumahnya. Saat membuka tirai jendela, dilihatnya rombongan lelaki dan perempuan datang membawa obor dan menyerukan namanya.
"Pak Abidin, cepat buka pintunya," massa berteriak sambil menggedor pintu tua itu.
"Iya tunggu," setengah berlari Pak Abidin membuka pintu rumahnya.
"Bapak harus bertanggung jawab, lihat anak saya menjadi sakit gegara mendengar suara burung hantu melintas di atas rumah kami malam ini," Mak Onah menunjukkan anak lelaki kecilnya yang gemetar ketakutan dalam gendongannya.
"Memangnya anakmu sakit apa?"
"Dia mulai seperti ini karena mendengar suara burung hantu milik Rahmat."
"Ah masa? Mana ada burung hantu milik Rahmat berkeliaran malam-malam begini," Pak Abidin  meraba kening anak lelaki dalam gendongan Mak Onah, suhu tubuhnya normal dan tidak ada kelainan.
"Suamiku melihat Rahmat melepaskan burung hantu di kebun kelapa sawitmu. Ada rumahnya juga disana."
"Anakmu tidak apa-apa, Onah. Berikan saja segelas minuman hangat, mungkin dia terkejut karena mimpi buruk. Bapak dan Ibu lainnya silahkan pulang ke rumah masing-masing. Hari sudah larut malam."
Pak Abidin segera menutup pintu rumahnya dan berjalan ke dalam kamarnya.Â
Pak Abidin mendatangi Rahmat yang sedang berada di kebun kelapa sawit.  Tangan Rahmat memegang  kantong kresek dan sebuah buku catatan.
"Siapa yang menyuruhmu membuat rumah burung hantu di kebun kelapa sawitku?"Â
"Ini ide saya Pak."
"Kamu ini benar-benar keras kepala. Masyarakat Kampung Duri sangat membenci burung hantu karena dianggap burung pembawa penyakit, kabar kematian. Kamu sudah lupa saat rombongan Mak Onah mendatangi rumah kita beberapa malam yang lalu? Seandainya mereka kalap, pasti rumah kita dibakarnya."
"Masya Allah, apakah Bapak tetap percaya dengan  mitos zaman dahulu? Menurut hasil penelitianku, burung hantu yang paling bagus mengendalikan tikus hama dan pastinya ramah lingkungan. Cukup dibuatkan rumah di kebun kelapa sawit, mereka akan mencari sendiri tikus hama yang merusak tanaman.  Aku yakin kinerja Papabur dan pasangannya  mampu menyelamatkan hasil panen di kebun kita."
Muka Pak Abidin merengut melihat anaknya yang sibuk memberikan pencerahan tentang pengendalian tikus hama secara ramah lingkungan memakai burung hantu.
"Kalau saat ini kita kendalikan tikus hama memakai burung hantu, gerombolan tikus hama tidak akan menyerang kebun kelapa sawit kita termasuk tetangga kebun juga mendapatkan manfaatnya. Lihatlah Pak, ini  adalah sisa tikus hama yang dimakan oleh Papabur, sengaja aku kumpulkan untuk kumasukkan dalam catatanku," Rahmat menunjukkan isi kantong kresek yang dipegangnya. Pak Abidin melompat kaget mencium bau busuk berasal dari isi kantong itu.
"Bagaimana kalau ada orang jahat yang  membunuh burung hantumu?" wajah Pak Abidin terlihat cemas. Sudah terbayang kemungkinan adanya oknum yang terganggu dan menginginkan kematian burung pembawa sial itu. Keberhasilan Papabur berpotensi menimbulkan konflik dengan penjual  gula-gula tikus yang gencar berpromosi  di Kampung Duri.
"Insya Allah, Tuhan akan selalu melindungi burung hantu ini."
Sayangnya niat baik Rahmat mengendalikan tikus hama yang menyerang kebun bapaknya tidak sejalan dengan pemikiran  segelintir orang yang merasa bisnisnya terancam. Respon masyarakat yang mengalami ketakutan luar biasa karena burung hantu telah dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Mereka gencar meniupkan kabar bohong tentang burung hantu kepada masyarakat Kampung Duri. Melihat kegigihan Rahmat, pemilik kios pertanian dan pemasok  rodentisida sepakat membinasakan burung pemangsa itu dengan menembaknya.Â
Mereka merakit senapan angin dan berniat mengakhiri burung hantu  itu secepatnya. Komplotan ini menyebar berita ke masyarakat bahwa bunyi burung hantu identik dengan adanya kematian beruntun yang menimpa warga Kampung Duri. Sontak kabar ini mengguncang ketenangan seisi kampung, bagaikan sarang lebah yang dipukul tongkat. Semua orang sibuk memasang telinga setiap malam untuk mendengar suara para pemburu senyap itu.  Â
Akhirnya di suatu pagi yang dingin.Â
Saat Rahmat pergi memantau rumah burung hantunya, dilihatnya Papabur tewas menggeletak di tanah. Di mulutnya terdapat seekor tikus gemuk. Tampaknya burung hantu yang mempunyai nama ilmiah Tyto alba tidak sempat menyelesaikan santap malamnya karena keburu diterjang timah panas yang bersarang di dada dan perutnya.  Rahmat menengok ke dalam rumah Papabur dengan memakai tangga yang tergeletak di tanah. Kandangnya kosong, tidak ada tanda kehadiran Mamabur disana.  Pemuda berkaca mata ini mendesah sangat kecewa bercampur sedih. Musnah impiannya mengamankan kebun bapaknya dengan merealisasikan hasil penelitiannya.Â
Dari kejauhan dilihatnya Pak Abidin berjalan menghampirinya.Â
"Apa yang terjadi?"
Rahmat menunjuk bangkai Papabur yang tergeletak di tanah.Â
"Apa kesalahan Papabur sampai harus mati Pak?"
"Sudah cukuplah usahamu sampai disini."
Rahmat memungut bangkai Papabur dengan pilu, air matanya menetes saat memandang awan yang berarak di langit. Dia akan menguburkan burung hantu kesayangannya di kebun belakang rumah (srn).
#cerpenlingkungan
#pulpen
#sayembarapulpen
Tentang Cerpenis
Sri Nur Aminah adalah  perempuan peneliti yang sangat suka belajar tentang serangga, traveling dan menulis cerpen. IG: @srifirnas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H