Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist. I believe my fingers...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Packing Beras dari Kampung

1 September 2023   12:52 Diperbarui: 1 September 2023   13:08 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sydney International Airport (Sri NurAminah, Agustus 2020)

#cerpeningatan

#pulpen

#sayembarapulpen

Setelah melalui perjuangan berat, aku dan  Liana mendapatkan beasiswa melaksanakan kegiatan magang di Brisbane selama tiga bulan. Tentunya aku merasa sangat berbahagia dengan kesempatan ini. Untuk masyarakat di Kampung Duri, prestasi kami sebagai putri daerah sungguh luar biasa dan sangat membanggakan. Rumah kami bersebelahan di kampung sehingga  hingar bingar orang yang berkunjung ke rumah Liana terdengar sampai ke rumahku.

"Sejak pengumuman itu, rumah kak Liana ramai mulai pagi sampai menjelang dini hari. Malahan ibunya Kak Liana meminjam kursi dan meja di rumah kita," lapor adikku saat menelponku di siang nan terik. Aku tertawa kecil mendengarnya.

"Biasalah, namanya orang berbahagia kan?"

"Menurutku norak. Kudengar suara kak Liana memekik menyombongkan diri, hanya dia satu-satunya yang lulus disitu. Padahal Kakak juga lulus program itu kan? Seingatku dia malah ikut-ikutan kirim form karena mendapat infonya dari kakak. Isi form pendaftarannya juga hasil nyontek berkas Kakak,"

"Ih...kamu cerita apaan sih?"

"Kenyataannya memang begitu, semoga saja Kakak tidak kerepotan menghadapi ulah norak kak Liana saat sudah berada di Brisbane," aku tertawa mendengar celoteh kesal adikku terhadap Liana. Kenyataannya memang demikian,  selama aku bersahabat dengan Liana, dia kerap menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisinya.

Kekuatiran adikku terbukti. Liana yang menjadi New Idol di Kampung Duri mengabaikan himbauan sponsor yang menginginkan kami tiba tepat waktu di Brisbane. Aku yang memilih tetap tinggal di kota supaya mudah mengurus dokumen dimanfaatkan Liana untuk mengikutkan dokumennya dalam pengurusan  visa.

"Besok kamu harus kembali ke kota untuk mengurus dokumen visamu. Kita injury time nih," aku memberitahukan hal itu via telpon.

"Tolonglah aku, Ge. Aku sedang menunggu kedatangan Pamanku dari Malaysia. Dia bangga sekali keponakannya mau ke Australia. Kamu saja yang mengurus visa itu,"

"Tapi Liana..."

"Kamu kabari aku kalau sudah terbit visanya ya," Liana segera menutup pembicaraan. Aku merasa kesal betul dengan gaya sok boss-nya.

Akhirnya visa kami terbit dan jadwal keberangkatan sudah fix walaupun molor seminggu. Dua hari sebelum berangkat, keluarga besar Liana tiba dari Kampung Duri membawa banyak sekali ole-ole untuk dibawa ke Brisbane. Tempat kos kami langsung penuh sesak. Aku menolak tegas  permintaan Liana supaya memberikan space di kamarku untuk keluarganya yang mau beristirahat.   Bukan hanya itu, Liana juga menghendaki aku membawakan semua  barang yang tidak muat di dalam kopernya.

"Ayolah Ge, aku butuh semua barang itu di Brisbane."

"Maaf Liana, aku tidak dapat membantumu. Kamu tahu kan, aku pernah mengalami cedera punggung yang melarangku membawa beban berat. Bawalah barang yang diperlukan selama di sana."

"Kamu memang pintar membuat alasan. Katakan saja kamu iri melihat semua keluarga besarku datang mengucapkan selamat untukku," Liana membanting pintu kamarku dengan keras.

Aku sudah berada sejam yang lalu di bandara ketika Liana datang sambil berjalan tertatih-tatih menarik kopernya. Dia terlambat karena menunggu seluruh keluarganya yang mau ikut mengantar ke bandara.

"Muatanmu tampaknya berat sekali, jangan sampai kamu over baggage dan harus membayar banyak sekali. Ingat ya, jatah kita hanya 23 kg."

"Aku membawa beras yang berasal dari sawah orang tuaku, ada 10 kiloan," Liana menunjuk kopernya yang tampak nyaris jebol kelebihan muatan.

"Tidak perlu segitu banyaknya berasmu Liana, cukuplah setengah kilo saja untuk dimakan saat baru tiba. Aku juga bawa rice cooker dan sedikit beras dari Ibuku."

"Aku tidak dapat makan nasi selain dari padi sawah milik Bapakku. Sekalian kubawa juga cobek kayu milik Nenekku."  

"Kamu mau apa membawa cobek kayu?"

"Untuk membuat sambal dan makanan kesukaanku," Liana menjelaskan dengan ketus.

"Astaga Liana, barang itu pasti menambah berat bagasimu."

"Aku tidak peduli saranmu, ini perjalananku dan aku berhak menentukan barang apa yang akan kubawa."

Aku menghela nafas dan membiarkan Liana melakukan semua keinginannya.

Kami tiba di Jakarta saat matahari bersinar terik. Menurut flight schedule, semua penerbangan internasional  mulai berangkat jam 22.00 malam. Waktu yang tersisa kugunakan untuk beristirahat di dalam musholla. Liana menyimpan kopernya dan pergi bertualang sendiri mengelilingi bandara Soekarno-Hatta International Airport.   Penerbangan dari Jakarta menuju ke Sydney sebagai tempat transit berjalan lancar. Drama dimulai saat kami transit dan pemeriksaan barang bawaan di Sydney Airport. Hari apes tidak ada dalam kalender dan hal itu menimpa Liana.

 Tas tentengannya  berisi pasta gigi ukuran jumbo, lotion dan beberapa barang lainnya yang seharusnya masuk ke dalam bagasi. Mata Liana berkaca-kaca saat opsir bandara menyita semua barang yang dianggap tidak memenuhi prosedur yang berlaku. Sepanjang perjalanan aku hanya menjadi penonton karena setiap penumpang mempunyai tanggung jawab personal berkaitan dengan isi kopernya. Aku bertanya di dalam hati, ini baru tas tentengan, bagaimana dengan bagasi kami nantinya di Brisbane?

Dari Sydney, perjalanan diteruskan menuju ke Brisbane yang memakan waktu 2,5 jam. Pesawat berlogo kanguru mendarat mulus di Brisbane Domestic Airport. Kami segera menuju line untuk memeriksa bagasi dan drama kembali terjadi pada koper Liana. Opsir lelaki bermata biru itu memintaku membuka koper. Kukeluarkan sebuah rice cooker mungil berwarna putih dari dalam koper. Sang opsir tertawa kencang memandang rice cookerku. Ingatanku melayang kepada isi email Emerald yang kuterima beberapa hari sebelum berangkat ke Brisbane.

"Remember Gege, don't bring something fun to Brisbane."

Aku sempat menanyakan apa yang dimaksud something fun kepada Emerald tetapi tidak dijawabnya. Then the reality in the  Brisbane Airport Quarantine,  my rice cooker is something fun to him.

Kulihat seorang opsir lelaki lainnya membuka koper milik Liana. Drama kejadian di bandara Sydney terulang kembali  dan lebih heboh. Opsir itu mengobor-obok seluruh isi koper. Dia mengeluarkan mie instan, berbagai bumbu kemasan, terasi, cobek kayu dan packing beras kiloan berisi beberapa biji pala utuh. Muka opsir itu merengut masam melihat cobek kayu, diperiksanya dengan teliti produk kayu tersebut. Awalnya dengan lancar Liana menjelaskan tentang pala, tiba-tiba aku menginjak kaki Liana dengan keras. Musibah besar akan datang jika anak piyik ini kelepasan omong cerita tentang pala sebagai pengusir kutu beras.

"Aduh....sakit," Liana mengaduh dan mendorong bahuku.

"What you mean Ma'am?" opsir itu bertanya penasaran kepada Liana.

"Actually she will explain, the nutmeg giving an aromatic fragrance in our rice," aku menjawab cepat pernyataan sang opsir. Kulirik muka Liana yang merah padam menahan marah gegara aku menginjak kakinya. Menurutku ini hal terbaik yang kulakukan. Jika Liana kelepasan omong tentang beras yang harus diberikan buah pala supaya tidak diserang kutu beras, itu pertanda kami harus membuangnya ke recycle bin.   Untuk masyarakat Kampung Duri, menyisakan sebutir nasi di atas piring adalah pamali, apalagi membuang beras utuh ke tong sampah. Para opsir dengan bola mata sebiru langit musim panas ini hanya menjalankan tugasnya menjaga keamanan negaranya yang tidak mengenal filosofi pamali yang kami anut di kampung.

Koperku telah selesai diperiksa namun aku tidak boleh meninggalkan ruangan itu karena koper Liana mengalami pemeriksaan total sampai ke bagian dalamnya. Kulihat barangnya berhamburan ke sana kemari. Krim malam, body lotion, sikat gigi dan printilan lainnya sukses terserak di atas meja. Ternyata Liana tidak mengikuti prosedur packing barang untuk bagasi yang telah dijelaskan saat Pre Departure Orientation (PDO) beberapa minggu sebelum keberangkatan.

"Astaga, lihatlah barangmu Liana. Kamu tidak menaruhnya dalam kantong bening sesuai anjuran saat kita PDO kemarin?"

"Bapak dan Ibuku yang packing semua barang itu,"  Liana menjawab pendek.  Kini semuanya sangat clear untukku. Liana tidak mengikuti prosedur standar packing barang internasional dan membebankan orang tuanya untuk menyimpan barang itu di dalam koper.  Nyaris tiga jam kami berdiri menanti. Akhirnya koper Liana selesai diperiksa dan opsirnya memanggil Liana.

"Please put this stuff into the trash," opsir itu menyodorkan onggokan barang untuk dibuang ke dalam tempat sampah. Mataku  membelalak melihat kopi instan 2 renceng, beberapa botol krim racikan tanpa label dan aneka barang unidentified lainnya. Dengan berat hati Liana membuang barang itu.

"Welcome to Brisbane, Ma'am." 

Kami keluar dari ruangan pemeriksaan barang. Liana menarik kopernya dengan lesu. Tampak rangka kopernya patah akibat over loading barang, cobek kayu plus sekantong beras yang dibawanya. Raut wajah Liana menyisakan rasa kesal dan terlihat sangat lelah karena perjalanan panjang. Aku menahu benar, Liana yang amat perhitungan untung rugi tidak akan pernah mengikhlaskan barang bawaannya menghuni tong sampah. Apa mau dikata, aturan ketat negara tujuan memang menghendaki demikian adanya (srn). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun