Ribli si penyandang disabilitas adalah anak petani  yang bertinggal di Kampung Duri. Walaupun terlahir cacat, Ribli pandai berhitung dan suaranya sangat merdu saat melantunkan ayat suci Al Qur'an. Rumah panggung  kayu yang ditempati keluarga Ribli juga menyulitkan mobilitas sang anak. Untunglah Ribli mempunyai sahabat bernama Mail yang bertinggal di sebelah rumahnya. Secara sukarela Mail selalu menggendong Ribli kemanapun dia pergi. Hal ini sangat menolong mobilitas Ribli naik turun tangga karena rumah panggung kayu merupakan hunian dominan di  kampung itu.
Selain kesulitan berjalan, Ribli harus berlapang dada mengatasi perundungan orang yang tidak menyukai kehadirannya.
"Tampaknya saat hamil, Mak Ribli tidak kesampaian icip-icip makanan yang diidamkannya, makanya lahir anak yang seperti itu tuh," Mak Odah memandang sinis kepada Ribli. Dia mengusap bongkahan gondok yang menggelantung di lehernya. Beberapa pasang mata  ibu lainnya yang berada dekat Mak Odah segera melihat Ribli yang digendong Mail dari kejauhan.
"Iya benar. Kita beranak untuk dilayani anak, bukan untuk dibikin susah. Jadi beban saja kalau seperti Ribli modelnya."
"Saya setuju, kita butuh anak yang sehat jasmani supaya mampu merawat kita di hari tua. Hayo Nak, kamu harus banyak makan, kalau malas makan nanti kakinya bengkok seperti Ribli," seorang ibu lain menakut-nakuti anaknya  yang ogah membuka mulut saat disuapi makanan. Ibu itu menunjuk Ribli yang melintas di depan tangga kayu yang menjadi tempat ngerumpi para ibu kala sore hari.
"Makanya kalau miskin jangan ngidam macam-macam, makan saja nasi jagung dan minum air yang banyak kalau seret di kerongkongan," sambung ibu lainnya yang disambung gelak tawa membahana.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Ribli lahir dengan kaki yang tidak sempurna sehingga tidak dapat digunakan untuk berjalan. Masyarakat berpendidikan rendah di lingkungan tempat tinggal Ribli tampaknya percaya benar dia cacat gegara ibunya yang mengalami ngidam tidak kesampaian. Kampung Duri tempat Ribli dilahirkan sepuluh tahun yang silam adalah daerah pegunungan tandus. Penduduknya dominan makan nasi jagung, sayur daun ubi, lauk ikan kering dan sambal terasi. Secara logika, kampung Duri yang terletak di daerah dataran tinggi memang rawan mengalami kekurangan yodium. Â
Hal ini dapat dilihat pada performa penduduknya banyak yang menderita gondok. Bahkan ada beberapa ibu penderita penyakit gondok yang ikut membully Ribli. Â Protein hewani berasal dari ikan laut merupakan makanan sangat mahal di Kampung Duri karena harus dipesan dari daerah lain yang punya sumber daya bahari. Ikan mas atau mujair yang menjadi penghuni air tawar juga sulit diperoleh. Pasar yang hanya buka dua kali dalam seminggu menjajakan sayuran lokal dengan harga yang dapat dinegosiasi.
Sebaliknya kebutuhan rumah tangga lainnya yang termasuk langka dijual dengan harga selangit. Pendapatan rendah menyebabkan kebutuhan itu tidak terbeli. Â Inilah alasan mengapa banyak ibu memilih membuat sendiri minyak kelapa yang berasal dari hasil kebunnya. Â
Petani yang mempunyai sapi atau kerbau juga membuat keju tradisional dari susu untuk memenuhi protein keluarganya. Kampung Duri memang daerah miskin yang masuk dalam black list prioritas Pemerintah lokal. Banyak tenaga guru honorer menolak ditempatkan bekerja disitu karena sulitnya transportasi, kurangnya air bersih dan keterbatasan pasokan listrik untuk digunakan masyarakat. Inilah sisi kelam dari negeri gemah ripah loh jinawi yang terlihat bagaikan zamrud khatulistiwa dari luar angkasa.