Lelaki yang menjadi mentorku di bimbel.
Lelaki cinta-cintaku di masa lalu...
Ceritaku dengan Thomas mulai saat usiaku masih 18 tahun, baru tamat SMU dan persiapan masuk perguruan tinggi. Ayahku sangat mengharapkan aku melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi favorit satu-satunya yang berada di kotaku. Semua orang berlomba-lomba ingin masuk berkuliah di sana. Di dalam upaya menunjang keinginan putri kesayangannya masuk ke universitas, ayahku  segera mengirimkanku masuk ke bimbingan belajar alias bimbel ternama. Aku masuk 'kawah candradimuka' dengan setengah hati karena sangat percaya diri lulus tes seleksi masuk universitas tujuan. Namun ayahku mempunyai pikiran lain, percaya diri boleh saja namun perlu ditunjang  usaha maksimal. Salah satu usahanya ya itu, masuk bimbel walaupun ayahku harus membayar biaya ekstra mahal.
Hari-hari bimbel berlalu tanpa kejadian istimewa. Matahari terbit dan terbenam melalui rute normal, timur ke barat. Sejujurnya aku adalah gadis introvert yang tidak mudah percaya kepada sipapun. Mungkin ini adalah imbas dari sikap ayahku yang otoriter. Tanpa pernah kuduga, kehidupan dan aktivitasku berubah drastis saat bertemu Thomas, salah satu mentor di bimbel tersebut. Lelaki berkulit terang dan ceria itu mempunyai penampilan berbeda dengan mentor lainnya karena dia begitu care padaku. Rasanya malu dan tidak percaya diri diantar menaik motor oleh lelaki yang baru dikenal. Awalnya Thomas menawarkan diri mengantar pulang karena hujan begitu deras dan malam semakin larut. Tidak ada lagi kendaraan umum yang lewat di depan tempat itu. Ayahku sedang diluar kota sehingga tidak datang menjemput. Sebelum sampai ke rumah, Thomas mengajakku makan malam ke warung bakso karena dia merasa perutnya sangat lapar. Kami bercerita tentang keseharian dan tidak ada kejadian istimewa di dalamnya.
Sejak saat itu Thomas selalu hadir saat aku mengikuti bimbel walaupun bukan waktunya mengajar. Setelah kegiatan belajar selesai, secara rutin dia mengantarkanku pulang ke rumah menaik motor jadul milik kakaknya. Favoritnya memakai baju kaus berwarna hitam dan sangat keren karena merknya disulam memakai benang berwarna merah. Keunikan lainnya karena bagian depan kaosnya lebih pendek dari bagian belakang. Thomas terlihat begitu tampan memakai baju tersebut dipadukan dengan blue jeans. Pokoknya tidak memalukan kalau dibawa ke arisan, begitu pikiranku kalau melihat penampilannya. Â Thomas sangat suka menulis memakai pulpen gambar mahasiswa arsitek yang menjadi trendsetter-nya saat itu. Pernah sekali pulpennya macet dan dia meniup penanya yang tersumbat. Tanpa sengaja, tinta menempel di giginya dan aku tertawa kencang melihat penampilannya kala itu. Thomas memang periang dan murah senyum.
Di awal perkenalan, aku tidak pernah menganggap Thomas istimewa walaupun dia selalu mengantarku kemanapun. Dia juga tidak pernah mengatakan sesuatu yang merembet ke masalah perasaan, namanya teman baru pasti ada rasa sungkan. Aku menganggap sangat wajar, toh dia kan mentorku yang harus mengajariku dengan sebaik-baiknya saat bimbel. Namun demikian, perasaan biasa-biasa itu perlahan mulai berubah saat aku dibawa bertemu dengan neneknya. sikapku yang dingin perlahan berubah melihat betapa sayangnya Thomas kepada neneknya. Thomas menyajikan makan siang boga bahari yang dimasak neneknya dan membuatkan teh campur madu. Aku meminum sedikit teh buatannya dan dia meminum teh di gelas yang ada bekas bibirku. Rumah kecil berdinding batako itu sepi, neneknya sudah terbang ke alam mimpi di siang nan terik. Thomas memutar lagu favoritku, Yesterday-nya The Beatles. Kami duduk berdua di ruang tamu, bercerita tentang hari yang telah berlalu plus cita-cita mendapatkan pekerjaan bagus.
Rumah neneknya Thomas menjadi base camp-ku melarikan diri dari tekanan belajar terus menerus. Ayahku tidak pernah memberikan ijin aku punya teman dekat berlawanan jenis, padahal saat itu aku mulai timbul rasa suka kepada cowok. Ayahku selalu mengantarku kemanapun, termasuk ke tempat bimbel. Aku merasa minder dengan sikapnya yang over protective karena menjadi bahan tertawaan di antara teman. Tekanan akibat perlakuan ayahku menimbulkan pikiran selalu ingin melarikan diri dari rumah. Minimal kabur sejenak ke caf atau rumah teman untuk menenangkan diri. Pada saat itu sosok Thomas mulai memasuki kehidupanku. Berkenalan secara dekat dengan seorang lelaki penuh perhatian membuatku begitu bahagia.
Sejak mengenal Thomas, aku sering membolos saat bimbel karena itulah kesempatan satu-satunya keluar rumah. Pergi bimbel adalah sangat diijinkan dan didukung full oleh ayahku yang super protektif. Momen sangat langka itu kugunakan dengan sebaik-baiknya untuk pergi bersama Thomas. Belajarnya nanti saja, yang penting dapat waktunya jalan bareng, itu yang selalu ada dalam pikiranku. Aku jalani hubungan backstreet dengan Thomas. Kami selalu pergi bareng dan waktu dihabiskan  dengan berbagai cerita seru. Selama periode tersebut, tempat ketemuanku adalah rumah neneknya. Thomas setia mengantarku pulang kembali ke rumah sebelum langit gelap, seperti tidak pernah terjadi apapun. Itulah ritual harianku  yang dijalani dengan penuh semangat. Sebelum berpisah, kami janjian untuk bertemu lagi di tempat dan jam yang telah disepakati bersama. Aku merasa luar biasa senang, bagaikan burung terlepas dari sangkarnya.
Rumah neneknya yang berdinding batako menjadi saksi Thomas memintaku menjadi pacarnya. Tangannya  hangat menyeka wajahku yang penuh air mata. Dia memeluk tubuhku yang bergetar hebat dan membisikkan janji bahwa dia akan selalu menjagaku.  Itulah pelukan pertama dari seorang lelaki yang mendapat tempat istimewa di hatiku. Sejak kedatangan Thomas, aku sudah melupakan bimbel. Di dalam otakku hanya ingin bertemu Thomas setiap saat. Begitulah dahsyatnya cinta sehingga aku sering membolos. Aku pamit kepada ayahku untuk pergi bimbel tetapi jalurnya malah ke rumah neneknya Thomas. Aku suka disana karena neneknya sangat penuh perhatian kepadaku. Nenekku selalu memasakkan makanan kesukaanku dan kami makan siang bertiga. Kehangatan keluarga Thomas membuatku betah dan menjadi alasanku untuk melupakan perasaan stres menghadapi ayahku. Ternyata aku melupakan satu hal penting, ayahku sering  mengontrol kehadiranku  di tempat bimbel dengan menelpon Pak Andre, manager bimbel. Suatu waktu aku ditegur oleh Pak Andre karena ketahuan sering membolos. Kursiku berada di sudut paling depan sehingga tidak dapat berbohong tentang ketidak hadiranku di kelas. Aku menunduk, merasa sangat bersalah.  Pak Andre mempunyai beban dan tanggung jawab besar di dalam menjagaku selama berada di bimbel. Telepon ayahku sudah cukup membuat sang manager kalang kabut setiap kali aku bolos dalam kelas. Padahal aku selalu minta ijin ayahku setiap hari pergi ke bimbel. Kalau aku menghilang, apa yang terjadi?siapa yang harus bertanggung jawab?
Saat aku ditegur Pak Andre, Thomas berdiri di belakang sang manager  bimbel dengan perasaan was was. Aku menunduk, terasa mau menangis sekeras-kerasnya. Aku marah, kesal dan sangat malu dimarahi oleh manager bimbel. Aku melirik wajah Thomas kemudian menunduk kembali memandang jejeran ubin lantai bimbel. Tidak mungkinlah aku bercerita  kepada Pak Andre bahwa hari itu dan sebelumnya aku berada di rumah neneknya Thomas dan menghabiskan sore hari bersama lelaki itu. Biarlah itu menjadi rahasia  antara aku, Thomas dan Tuhan pencipta alam semesta yang menjadi saksi cinta kami. Tidak mungkinlah aku bercerita tentang godaan dan ciuman mesra Thomas yang dilakukan di hadapan neneknya, segala janjinya untuk membahagiakanku yang akan membuat ayahku marah besar.
Suatu hari, tanpa sengaja aku mendengarkan percakapan ayah dan ibuku dari dalam kamar tentang perseteruannya dengan Pak Sam. Tanpa kuketahui, ternyata orang ini adalah Paman Thomas. dari balik pintu kamar, aku menjadi gemetar tidak karuan. Kupegang bibirku yang pernah merasakan first kiss dari Thomas. Tangisanku pecah dalam diam. Kudengar kembali makian dan puluhan kalimat sumpah serapah dari orang tuaku yang berjanji bahwa tidak ada keturunannya yang menikah dengan musuh bebuyutannya itu. Dunia serasa runtuh, ternyata kisahku lebih tragis dari Romeo dan Juliet karena Thomas adalah bagian dari keluarga Pak Sam. Bagaimana jika Pak Sam datang melamarku untuk keponakannya yang bernama Thomas? Ya Tuhan, aku tidak mau kehilangan Thomas dan juga restu orang tuaku. Rasanya sulit sekali menelan makanan setelah mendengar bisik-bisik orang tuaku. Mataku sembab karena sepanjang malam menangis membayangkan nasib burukku bersama Thomas. Akhirnya aku membuat satu keputusan dahsyat yang sangat menyakitkan demi menyelamatkan perasaan orang tua dan mengorbankan semua rasa cintaku  kepada Thomas. Aku nekad membumihanguskan semua janjiku pada Thomas sebagai penebus dosa kebohonganku pada orang tua.  Doktrin ayahku yang bersumpah anaknya durhaka jika menikah dengan keluarga Pak Sam membuat badanku bergetar hebat. Kubayangkan azab Tuhan akan menimpaku sepanjang hidup jika aku melawan perintah orang tua. Bukankah orang tua adalah wakil Tuhan yang ada di muka bumi?