Tahun 2024 adalah momentum penting dalam peta politik nasional, termasuk di daerah seperti Bulukumba. Pemilu yang diwarnai kampanye besar-besaran, baik melalui media konvensional maupun digital, membawa dampak signifikan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk bahasa dan sastra sebagai bagian dari budaya lokal. Ambisi politik sering kali beriringan dengan manipulasi terhadap nilai-nilai budaya, menciptakan tantangan tersendiri bagi kelestarian identitas lokal.
Bahasa Daerah: Alat Pemersatu atau Komoditas Politik?
Bahasa Bugis dan Konjo adalah warisan luhur masyarakat Bulukumba yang mencerminkan jati diri dan kebanggaan daerah. Namun, di tahun politik, bahasa daerah sering kali digunakan secara pragmatis oleh aktor-aktor politik untuk mendekatkan diri dengan masyarakat.
Para kandidat politik kerap menggunakan bahasa daerah dalam pidato, baliho, atau iklan kampanye untuk menciptakan kesan bahwa mereka "bagian dari masyarakat." Sayangnya, penggunaan ini sering kali hanya berhenti pada permukaan. Setelah pemilu selesai, tidak ada langkah konkret untuk mendukung pelestarian bahasa daerah, seperti integrasi bahasa dalam pendidikan atau dukungan terhadap seni tradisional. Bahasa daerah menjadi sekadar alat retorika politik, bukan sebagai elemen budaya yang dirawat dengan sepenuh hati.
Sastra: Dari Kritik Sosial ke Ajang Pencitraan
Sastra Bulukumba, baik yang berbasis tradisi lisan maupun karya modern, seharusnya menjadi medium untuk mengekspresikan kondisi sosial dan budaya masyarakat. Namun, di tahun politik, sastra kadang diarahkan untuk melayani kepentingan pencitraan politik.
Syair-syair tradisional, seperti pa'rapa, atau karya sastra modern yang memuat pesan-pesan moral sering kali dipakai dalam kampanye politik untuk mengangkat citra kandidat sebagai sosok yang peduli terhadap budaya. Padahal, esensi sastra adalah kebebasan berekspresi, bukan sekadar alat propaganda. Ketika sastra dijadikan sarana untuk memuluskan ambisi politik, maknanya sebagai cermin masyarakat dan alat kritik sosial menjadi kabur.
Media Lokal: Penghubung atau Pengabur Fakta?
Media lokal Bulukumba seharusnya menjadi jembatan informasi yang obyektif dan edukatif. Namun, tahun politik sering kali menggeser fungsi media menjadi alat propaganda. Beberapa media terjebak dalam polarisasi, lebih memihak pada pihak tertentu dibanding menyampaikan informasi yang netral.
Lebih dari itu, media sosial lokal dipenuhi dengan berita-berita yang sering kali sulit diverifikasi. Disinformasi dan hoaks kerap digunakan untuk memengaruhi opini publik. Akibatnya, masyarakat tidak hanya terpecah, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada media sebagai sumber informasi yang dapat diandalkan.
Menjaga Identitas Budaya di Tengah Ambisi Politik
Di tengah derasnya arus politik tahun 2024, masyarakat Bulukumba perlu bersikap kritis terhadap pengaruh yang mengusik nilai-nilai budaya. Berikut langkah-langkah yang dapat diambil untuk menjaga kelestarian bahasa dan sastra lokal:
- Pelestarian Bahasa Melalui Pendidikan
Pemerintah daerah dan lembaga pendidikan harus mendorong penggunaan bahasa Bugis dan Konjo di sekolah, baik melalui mata pelajaran khusus maupun kegiatan ekstrakurikuler. Festival budaya yang melibatkan generasi muda juga dapat menjadi langkah efektif untuk memupuk kebanggaan terhadap bahasa daerah. - Memerdekakan Sastra sebagai Kritik
Komunitas sastra lokal harus didukung untuk terus berkarya dengan kebebasan penuh. Sastra tidak boleh dikooptasi oleh kepentingan politik, melainkan tetap menjadi alat kritik dan refleksi sosial. Pemerintah dapat memfasilitasi lokakarya, penerbitan, atau festival sastra tanpa intervensi politik. - Menguatkan Media Lokal yang Independen
Media lokal harus menjaga netralitasnya dengan menolak intervensi politik. Selain itu, literasi media perlu ditingkatkan agar masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan bermanfaat. - Meningkatkan Kesadaran Kolektif
Masyarakat perlu menyadari bahwa bahasa dan sastra adalah warisan budaya yang harus dijaga bersama. Partisipasi aktif dalam kegiatan budaya lokal dapat menjadi langkah nyata untuk melawan homogenisasi budaya yang diakibatkan oleh ambisi politik.
Penutup
Politik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, tetapi ambisi politik tidak boleh mengorbankan nilai-nilai budaya. Bahasa dan sastra Bulukumba adalah kekayaan yang harus dijaga dari pengaruh pragmatisme politik. Tahun 2024 seharusnya menjadi momen untuk memperkuat identitas budaya lokal, bukan sekadar panggung bagi para aktor politik untuk meraih kekuasaan.
Dengan komitmen bersama, Bulukumba dapat melindungi warisan budayanya dari ancaman homogenisasi dan manipulasi politik. Pada akhirnya, menjaga identitas budaya adalah cara terbaik untuk membangun masyarakat yang kuat dan berdaya di tengah dinamika politik modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H