Mohon tunggu...
Bonaventura Suprapto
Bonaventura Suprapto Mohon Tunggu... -

pendidik dan menyukai pendidikan sepanjang hayat. Senang membaca.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kekerasan Seksual dan Pendidikan dalam Keluarga

6 Februari 2015   18:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:43 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali kita membaca berita mengenai kasus kekerasan seksual yang menjadi korban adalah anak-anak. Seperti yang dialami Indah (nama samaran), anak yang masih duduk di kelas VI SD kawasan Surabaya Utara tersebut menjadi korban kekerasan seksual hingga hamil lima bulan. (J. Pos, 23/10/’14).

Berita mengenai kekerasan seksual terhadap anak-anak bukan hal baru. Pada tahun 2009, secara berturut-turut Jawa Pos memuat kasus pencabulan dan pemerkosaan anak-anak dibawah umur. Di Kediri, Jawa Timur terjadi peristiwa pemerkosaan yang dilakukan oleh lima pria terhadap gadis  berusia 14 tahun. (30/9/2009). Di Surabaya,  dua remaja berusia 16 tahun dan 13 tahun,  mencabuli enam bocah perempuan. ( 2/10/2009).

Yang membuat kita miris adalah kasus percabulan,  yang dilakukan oleh empat bocah sekolah dasar di Trenggalek terhadap seorang teman perempuan, meskipun pelakunya diseret ke pengadilan, namun akhirnya dikembalikan  kepada orang tuanya plus membayar denda Rp. 5.000,--  Persoalannya adalah, mengapa kasus kejahatan seksual terhadap anak terus berlanjut?

Menelisik peristiwa kekerasan seksual tersebut di atas, ada dua penyebab, pertama, ringannya sanksi yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan seksual. Kedua, kurangnya perhatian dan lemahnya pengawasan orangtua terhadap anak-anak mereka.  Tidak salah jika kemudian, kejahatan seksual menjelma menjadi virus yang dalam waktu singkat menyebar ke segala arah  bisa terjadi setiap saat, di mana saja, dan menimpa siapa saja.

Data yang dihimpun oleh Samitra Abhaya, General Koordinator Kelompok Perempuan Pro Demokrasi tahun 2001 melalui empat media, Kompas, Jawa Pos, Memo, dan Metro, menemukan 199 kasus pemerkosaan terhadap perempuan di Jawa Timur. Dengan kata lain, dalam  dua hari ada  satu  korban kekerasan seksual. Kasus terbanyak terjadi di Surabaya, yakni 65 kasus atau 32,67 persen, menyusul Sidoarjo sebanyak 22 kasus, dan Mojokerto 17 kasus. Sisanya tersebar di berbagai wilayah Jatim. Korban berusia 11-18 tahun  94 kasus (40%), di bawah 10 tahun  54 kasus (22,93 persen). Korban berstatus pelajar sebanyak 66 kasus, buruh pabrik 11 kasus, dan lainia pendidikan nya dari berbagai profesi.

Fenomena meningkatnya  kejahatan seksual terhadap anak-anak membuat cemas tidak hanya  orangtua, tetapi juga masyarakat. Sekolah yang diharapkan mampu menjadi benteng moral, sudah tidak berdaya membendung kekerasan seksual. Kini saatnya bagi orangtua mengambil peran dengan menjadi pendamping putera-puterinya,  dari mulai lahir sampai menuju pada kedewasaan. Anak-anak tidak hanya membutuhkan kasih sayang dengan mencukupi kebutuhan materi, tetapi mereka juga membutuhkan waktu untuk bisa menikmati kasih sayang bersama orangtua. Sayangnya banyak orangtua tak mempunyai waktu untuk anak-anaknya, seluruh waktunya dihabiskan untuk pekerjaan, aktivitas dan karier mereka. .

Peran Orangtua

Menurut kodratnya peran mendasar  orangtua adalah sebagai pendidik nilai-nilai (values) yang pertama dan utama, sebagai teman dalam perjalanan hidupnya, sebagai komunikator yang baik bagi putera-puterinya, dan sebagai panutan. Pendidikan seksual sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan sistem nilai, menjadi tanggung jawab orangtua.

Beberapa pendekatan yang mungkin  bisa dilakukan oleh orangtua dalam menyampaikan informasi mengenai seksualitas: Pertama, dilakukan secara individual, sebab masing-masing anak merupakan pribadi yang unik serta tak ada duanya. Proses pendewasaan masing-masing anak sebagai pribadi  berbeda, sehingga masalah yang mendalam, entah aspek biologis maupun aspek emosional hendaknya dikomunikasikan dalam suatu dialog pribadi.

Kedua, dimensi moral harus selalu menjadi bagian integral dan esensi persoalan. Orangtua harus dapat mengamati aktivitas seksual yang naluriah dalam diri anak-anaknya sedini mungkin.. Kalau perlu mengoreksi kebiasaan-kebiasaan yang mungkin dapat menyesatkan. Adalah penting untuk memberikan penilaian moral, menolak sikap-sikap, tertentu yang bertentangan dengan martabat pribadi manusia serta kemurnian, berdasarkan alasan-alasan yang memadai, sah dan meyakinkan secara rasional.Sehingga anak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Ketiga, pembinaan dalam kemurnian dan informasi tentang seksualitas harus diberikan dalam konteks pendidikan cinta dalam artinya yang paling luas, yaitu cinta kepada Allah dan cinta terhadap sesamanya. Mengajar anak untuk menilai lingkungan sekitarnya dengan sikap kritis, tidak mudah terpengaruh oleh media masa, tv, internet, gadget dan audiovisual lain.

Keempat, menyampaikan informasi tentang seksualitas secara hati-hati, jelas serta dalam waktu yang tepat. Penggunaan kata-kata tidak harus vulgar tetapi juga tidak samar-samar. Memberikan begitu banyak detail kepada anak merupakan tindakan yang ceroboh, tetapi menunda memberikan informasi juga tidak bijaksana, karena setiap pribadi mempunyai keingingan alamiah untuk mengetahui apa yang ada dalam dirinya sendiri, terutama dalam budaya dimana banyak hal dapat dilihat, bahkan di depan umum.

Kelima, perlu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan khusus anak sesuai dengan perkembangannya. Sebagai contoh menghadapi anak pada masa puber, dimana mereka mulai menemukan diri serta dunia batinnya sendiri,  munculnya rencana-rencana yang mencerminkan idealisme, masa bangkitnya perasaan mencintai, masa mulai berkembangnya tanda-tanda seks sekunder disertai naluri-naluri biologis seksualitasnya.

Pada masa ini remaja menginginkan kebersamaan, kegembiraan, tetapi juga merupakan masa pancaroba, penuh gejolak dan krisis, masa mencari diri yang kadang-kadang disertai frustasi. Orangtua hendaknya mampu memberi perhatian secara khusus, menjelaskan segala perubahan yang terjadi pada diri mereka.

Semuanya itu dapat terlaksana jika dilakukan secara arif dalam melihat berbagai persoalan, serta mampu menjaga hubungan yang harmonis, terbuka, saling respek, dan berdasarkan kasih sayang. Ini berarti mampu mengembangkan cara berkomunikasi yang efektif dengan remaja. Dengan memberikan empati, berusaha untuk mengerti dunia dari sudut pandang khas anak-anak, banyak mendengar, dan menghindari berbagai hambatan komunikasi seperti menuntut, mengancam, marah-marah, cerewet, merendahkan dan menghina. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun