Keempat, menyampaikan informasi tentang seksualitas secara hati-hati, jelas serta dalam waktu yang tepat. Penggunaan kata-kata tidak harus vulgar tetapi juga tidak samar-samar. Memberikan begitu banyak detail kepada anak merupakan tindakan yang ceroboh, tetapi menunda memberikan informasi juga tidak bijaksana, karena setiap pribadi mempunyai keingingan alamiah untuk mengetahui apa yang ada dalam dirinya sendiri, terutama dalam budaya dimana banyak hal dapat dilihat, bahkan di depan umum.
Kelima, perlu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan khusus anak sesuai dengan perkembangannya. Sebagai contoh menghadapi anak pada masa puber, dimana mereka mulai menemukan diri serta dunia batinnya sendiri, munculnya rencana-rencana yang mencerminkan idealisme, masa bangkitnya perasaan mencintai, masa mulai berkembangnya tanda-tanda seks sekunder disertai naluri-naluri biologis seksualitasnya.
Pada masa ini remaja menginginkan kebersamaan, kegembiraan, tetapi juga merupakan masa pancaroba, penuh gejolak dan krisis, masa mencari diri yang kadang-kadang disertai frustasi. Orangtua hendaknya mampu memberi perhatian secara khusus, menjelaskan segala perubahan yang terjadi pada diri mereka.
Semuanya itu dapat terlaksana jika dilakukan secara arif dalam melihat berbagai persoalan, serta mampu menjaga hubungan yang harmonis, terbuka, saling respek, dan berdasarkan kasih sayang. Ini berarti mampu mengembangkan cara berkomunikasi yang efektif dengan remaja. Dengan memberikan empati, berusaha untuk mengerti dunia dari sudut pandang khas anak-anak, banyak mendengar, dan menghindari berbagai hambatan komunikasi seperti menuntut, mengancam, marah-marah, cerewet, merendahkan dan menghina. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H