Mohon tunggu...
Rudi Dari Rumpin
Rudi Dari Rumpin Mohon Tunggu... -

Sekarang mengajar di SDN Sukasari 04 Rumpin Bogor. Aktip di Pengurus Cabang PGRI Kecamatan Rumpin. Aktif menulis puisi dan Cerpen , serta menjadi blogger di http//www.bloggurudarirumpin.blogspot.com. \r\ndan http//www.rumpinnews.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fini Sayang Mamah

30 Oktober 2016   05:58 Diperbarui: 30 Oktober 2016   07:24 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam kian larut, dingin gigilkan tubuh. Kantuk mengusik konsentrasiku mereka imajinasi di depan laptop. Harapanku hanya satu, Allah memberikan kekuatan dan kemudahan segera dapat selesaikan cerita cerpen ini. Yah…malam ini juga, soalnya pukul 09.00 esok deadline, menjadi kesempatan terakhir pengiriman naskah ke alamat email panitia Lomba Menulis Cerpen Pendidikan Tingkat Nasional. Aku tidak boleh terlambat mengirimnya. Tidak boleh menyia – nyiakan peluang emas untuk meraih hadiah puluhan juta rupiah. Hadiah yang nantinya dapat dipergunakan untuk membatu papah membiayai operasi kangker yang sudah hampir dua tahun menggerogoti rahim mamahku.

Sedih rasanya melihat papah yang sampai sekarang belum dapat mewujudkan keinginnya mengangkat kangker ganas itu. Menurut dokter, satu – satunya cara menangani kangker di rahim mamah hanya dengan cara diangkat, itu pun resikonya rahim mamah akan kering dan tidak dapat dibuahi lagi. Artinya aku akan menjadi anak tunggal untuk selamanya.

Bukan tidak berusaha, sebenarnya papah berkali-kali membawa mamah berrobat ke dokter bahkan ke pengobatan alternative, dengan harapan mamah tidak perlu dioperasi, namun hasilnya nihil. Hanya menghaburkan biaya saja.

Belakangan kangker ganas itu semakin menjalar, sempat membuat mamah dirawat di rumah sakit selama 4 hari. Dokter berulang kali menyarankan agar mamah segera dioperasi, namun apa daya, biayanya belum mencukupi. Sedih rasaku menerima kenyataan ini.

Ajang lomba ini melecutku memaksimalkan bakat menulis, berharap keberuntungan berpihak padaku. Meraih hadiah Rp 35.000.000,00. Setidaknya memiliki harapan bisa bantu meringankan beban ayah atasi penyakit mamah. Sayangnya informasi lomba Menulis Cerpen ini sangat terlambat kuperoleh. Itu pun karena kebaikan Mas Dion Prasaja yang tanpa sengaja menemukan link tentang lomba itu di sebuah webside..

“Masih belum tidur, Fin..!?” tegur papah sambil melongokkan kepalanya di pintu kamarku yang sengaja tidak ditutup. Aku menoleh, melempar senyum ke arah papah yang wajahnya basah terbasuh whudu sebelum shalat malam.

“Belum pah, tanggung. Mood-nya lagi kencang nih.” Sahutku.

“Sudah shalat isya belum ?” Tanya papah.

“Alhamdulillah sudah pah.” Sahutku.

“Kalau sudah lelah dan mengantuk, tunda saja dulu menulisnya, nanti kamu lanjutkan lagi sepulang sekolah.” Pesan papah. “Ingat, pagi ini kamu harus sekolah. Nanti kamu tidur di kelas lagi.” Papah mengingatkanku sambil beranjak ke kamarnya.

Yah seharusnya memang segera kutunda saja pekerjaan ini. Tapi mau bagaiamana lagi, kebiasaan buruk otakku ini, kalau sedang ada idea bagus untuk menulis dan tidak tuntas, meski sudah berbaring di kasur empuk pun tidak akan bisa lelap tidur. Rangkaian kata terus memenuhi otak, meronta ingin segera dicurahkan menjadi kalimat dan paragraph hingga tuntas dan diakhir dengan kata “Selesai”.

Impianku untuk menjadi penulis memang begitu kuat. Sejak masuk SMP keinginan menjadi penulis sudah membenih dalam dada. Walau hanya baru sebatas menulis puisi dan memajangnya di mading sekolah atau menulis buku harian saja.

Keberanian memulai mengirim cerpen dan puisi ke media cetak tumbuh saat baru masuk sekolah SMA, sekedar mencoba-coba. Dan entah memang karyaku yang buruk atau selera redakturnya yang berbeda semua karyaku kembali ke alamatku melalui pak pos. Hhal itu membuatku jenuh. Bahkan pudarkan keyakinan akan bakatku yang awalnya begitu membara. Aku pun mengubur mimpi itu dalam – dalam.

Di kelas 11, aku berkenalan lewat facebook dengan seorang penulis dunia maya yang sudah berkali – kali menjadi juara dalam event di penerbit indie. Bahkan beberapa buku novelnya sudah diterbitkan secara mayor. Memang sih belum seterkenal Raditia Dika atau Asma Nadia, namun bagiku  mengenalnya memberikan motivasi tersendiri untuk menggali potensi yang sudah lama terkubur. Dia bernama Dion Prasaja.

“Kalau kamu yakin dengan kemampuanmu, awali dunia literasimu dengan mengikuti lomba. Lomba adalah sarana mengukur kemampuan kamu, Fin,”  Mas Dion memotivasiku saat meng-in boxes link pengumuman lomba yang kali ini sangat aku impikan mengikutinya.

 “Tapi saingannya pasti penulis – penulis hebat. Aku ini kan hanya penulis pemula yang belum layak disandingkan dengan mereka.” Kilahku.

“Itu kan menurutmu.” Mas Dion membujuk “Ayolah aku yakin kamu bisa.” Bujuknya lagi.

Bujukkan itu pula lah yang membuatku rela begadang malam ini, melawan ngantuk dan menjadi santapan nyamuk, dan satu lagi menikmati angin malam yang menurut menyelusup hingga tulang.

“Fini, sudah jam tiga sayang. Belum selesai juga nulisnya ?” usik papah tiba-tiba mengejutkanku selepas  shalat malam.

“Sebentar lagi pah. Naskahnya harus segera di email hari ini. Jam 12.00 batas akhir pengiriman naskahnya,” jalasku sambil menahan kantuk yang bukan alang kepalang. “mengirim setelah jam 12.00 tidak akan dinilai pah. Begitu peraturannya,” lanjutku.

Nampak papah menggeleng, mendekatiku untuk sekedar mengusap kepalaku, lalu kembali ke kamarnya. Aku berusaha tersenyum sambil terus menahan kelopak mata yang berat ingin segara dipejamkan.

Naskah pun selesai seiring suara ajan subuh berkumandang. Tinggal kukirim lewat email ke alamat panitia. Tapi…  gawat, jaringannya lambat. Loadingnya lama. Untuk membuka akun email-ku saja lama sekali. Aku menunggu dan terus menunggu, hingga akhirnya tak sadarkan diri, entah apa yang terjadi kemudian.

“Fini..!! Fin..!! Bangun Fin.” Tiba-tiba suara mamah terdengar sambil menepukkan telapak tangannya ke pundakku. “Sudah siang Fin. Bangun… nanti kesingan berangkat sekolah,” suara mamah menjadi aneh di telingaku. Kepalaku berat berputar-putar. Telinga terasa panas mendengung.

 “Kamu sakit Fin..?” mamah terdengar khawatir. Panik melihat kondisiku, ”kamu berkeringat dingin Fin. Dan dahimu panas sekali,” kata mamah semakin risau.

“Pah..! Papah, sini pah. Fini sakit pah,” teriak mamah memanggil papah.

“Tuh kan, papah sudah mengingatkan dari tengah malam tadi. Istirahat dulu jangan memaksakan untuk begadang. Tunda dulu pekerjaan menulisnya,” gerutu papah sambil mengangkat tubuhku dan memindahkannya ke tempat tidur. Setelah itu, aku tidak mengingat apa – apa lagi. Semuanya menjadi gelap gulita.

Ketika kembali sadar aku sudah berbaring di sebuah ruangan pasien rumah sakit. Jarum infuse tertancap di pergelangan tangan, kepala masih terasa pening. Samar – samar aku melihat wajah mamah di sisiku, semakin lama semakin nampak jelas. Wajahnya agak pucat, matanya sembab.

“Fini. Alhamdulillah,kamu sadar sayang,” mamah memeluk tubuhku, “ini mamah sayang. Ini mamah,” suara mamah parau nampak bibirnya berusaha tersenyum meski terlihat air matanya mengalir membasahi pipi.

“Iya mamah. Fini kenapa, mah?” tanyaku.

“Sudah tiga hari kamu berbaring lemah tanpa sadarkan diri. Darahmu ngedrop sayang, hanya 70. Kami khawatir terjadi apa – apa atas kamu,” jelas mamah.

Aku menghela napas sangat berat. Sirna sudah impianku mengikuti lomba menulis cerpen itu. Aku kalah sebelum sempat bertanding. Kalah oleh kondisi badanku yang belum kuat melawan ganasnya angin malam.

Di hari ke 5 di rumah sakit teman – teman sekolah dan guru menjenguk, terhibur juga melihat mereka. Ingin rasanya kembali sehat seperti sedia kala, melanjutkan sisa mimpi yang belum kuraih dengan sempurna. Kali ini boleh aku kalah sebelum mulai bertanding, berikutnya aku harus menang, menang, dan menang. Merajai setiap pertandingan dengan segenap kemampuanku.

Sepulang teman dan guruku, papah datang,“coba kamu lihat, siapa orang yang bersama papah ini?” tanya papah.

“Mas. Mas Dion?” seruku terkejut tak percaya dengan penglihatan sendiri. “Maaf mas, saya tidak jadi ikut lomba itu.” keluhku penuh sesal.

“Coba kamu lihat ini,” mas Dion menyerahkan tablet ke arahku. “Perhatikan baik – baik. Ada nama kamu di situ, kamu jadi pemenang juara pertama dalam lomba itu Fin.”

“Ini pasti bohong. Aku kan belum sempat mengirimkan naskah cerpenku ke panitia lomba. Mana mungkin bisa menang. Mungkin Fini lain, bukan aku, mas.” kataku.

“Maafkan mas yah, Fin. Atas permintaan papahmu, jam sepulu saat kamu sudah dibawa ke rumah sakit ini, papahmu menelepon mas meminta tolong mas untuk melihat karya kamu yang kamu tulis malam itu sebelum akhirnya kamu jatuh sakit. Ternyata sebuah cerpen yang kamu persiapkan untuk lomba. Mengingat hari itu waktu terakhir pengiriman naskah, maka mas menggunakan alamat email mas sendiri untuk mengirimkan naskah kamu. Dan itulah hasilnya,” jelas Mas Dion, “impianmu tercapai Fin. Karya kamu akan dibukukan bersama pemenang lainnya dan akan menjadi proyek nasional untuk mengisi rak buku perpustakaan di setiap sekolah se-Nusantara.”

“Kamu hebar Fin,” puji papah, “papah kagum padamu, nak,” puji papah sambil memluk tubuhku.

“Mah, Fini melakukan ini semua demi mamah. Fini mengikuti lomba itu karena tertarik untuk memperoleh hadianya. Hadiahnya uang mah. Dan uang itu akan Fini berikan ke mamah agar dapat mengangkat kanker ganas yang menggerogoti rahim mamah. Fini sayang mamah. Fini ingin melihat mamah sekat,” kupeluk tubuh mamah dengan penuh kasih.

Air mata mamah mengalir deras tak tertahankan. “terima kasih sayang. Mamah bangga mempunyai anak seperti kamu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun