“Mas. Mas Dion?” seruku terkejut tak percaya dengan penglihatan sendiri. “Maaf mas, saya tidak jadi ikut lomba itu.” keluhku penuh sesal.
“Coba kamu lihat ini,” mas Dion menyerahkan tablet ke arahku. “Perhatikan baik – baik. Ada nama kamu di situ, kamu jadi pemenang juara pertama dalam lomba itu Fin.”
“Ini pasti bohong. Aku kan belum sempat mengirimkan naskah cerpenku ke panitia lomba. Mana mungkin bisa menang. Mungkin Fini lain, bukan aku, mas.” kataku.
“Maafkan mas yah, Fin. Atas permintaan papahmu, jam sepulu saat kamu sudah dibawa ke rumah sakit ini, papahmu menelepon mas meminta tolong mas untuk melihat karya kamu yang kamu tulis malam itu sebelum akhirnya kamu jatuh sakit. Ternyata sebuah cerpen yang kamu persiapkan untuk lomba. Mengingat hari itu waktu terakhir pengiriman naskah, maka mas menggunakan alamat email mas sendiri untuk mengirimkan naskah kamu. Dan itulah hasilnya,” jelas Mas Dion, “impianmu tercapai Fin. Karya kamu akan dibukukan bersama pemenang lainnya dan akan menjadi proyek nasional untuk mengisi rak buku perpustakaan di setiap sekolah se-Nusantara.”
“Kamu hebar Fin,” puji papah, “papah kagum padamu, nak,” puji papah sambil memluk tubuhku.
“Mah, Fini melakukan ini semua demi mamah. Fini mengikuti lomba itu karena tertarik untuk memperoleh hadianya. Hadiahnya uang mah. Dan uang itu akan Fini berikan ke mamah agar dapat mengangkat kanker ganas yang menggerogoti rahim mamah. Fini sayang mamah. Fini ingin melihat mamah sekat,” kupeluk tubuh mamah dengan penuh kasih.
Air mata mamah mengalir deras tak tertahankan. “terima kasih sayang. Mamah bangga mempunyai anak seperti kamu.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H