Impianku untuk menjadi penulis memang begitu kuat. Sejak masuk SMP keinginan menjadi penulis sudah membenih dalam dada. Walau hanya baru sebatas menulis puisi dan memajangnya di mading sekolah atau menulis buku harian saja.
Keberanian memulai mengirim cerpen dan puisi ke media cetak tumbuh saat baru masuk sekolah SMA, sekedar mencoba-coba. Dan entah memang karyaku yang buruk atau selera redakturnya yang berbeda semua karyaku kembali ke alamatku melalui pak pos. Hhal itu membuatku jenuh. Bahkan pudarkan keyakinan akan bakatku yang awalnya begitu membara. Aku pun mengubur mimpi itu dalam – dalam.
Di kelas 11, aku berkenalan lewat facebook dengan seorang penulis dunia maya yang sudah berkali – kali menjadi juara dalam event di penerbit indie. Bahkan beberapa buku novelnya sudah diterbitkan secara mayor. Memang sih belum seterkenal Raditia Dika atau Asma Nadia, namun bagiku mengenalnya memberikan motivasi tersendiri untuk menggali potensi yang sudah lama terkubur. Dia bernama Dion Prasaja.
“Kalau kamu yakin dengan kemampuanmu, awali dunia literasimu dengan mengikuti lomba. Lomba adalah sarana mengukur kemampuan kamu, Fin,” Mas Dion memotivasiku saat meng-in boxes link pengumuman lomba yang kali ini sangat aku impikan mengikutinya.
“Tapi saingannya pasti penulis – penulis hebat. Aku ini kan hanya penulis pemula yang belum layak disandingkan dengan mereka.” Kilahku.
“Itu kan menurutmu.” Mas Dion membujuk “Ayolah aku yakin kamu bisa.” Bujuknya lagi.
Bujukkan itu pula lah yang membuatku rela begadang malam ini, melawan ngantuk dan menjadi santapan nyamuk, dan satu lagi menikmati angin malam yang menurut menyelusup hingga tulang.
“Fini, sudah jam tiga sayang. Belum selesai juga nulisnya ?” usik papah tiba-tiba mengejutkanku selepas shalat malam.
“Sebentar lagi pah. Naskahnya harus segera di email hari ini. Jam 12.00 batas akhir pengiriman naskahnya,” jalasku sambil menahan kantuk yang bukan alang kepalang. “mengirim setelah jam 12.00 tidak akan dinilai pah. Begitu peraturannya,” lanjutku.
Nampak papah menggeleng, mendekatiku untuk sekedar mengusap kepalaku, lalu kembali ke kamarnya. Aku berusaha tersenyum sambil terus menahan kelopak mata yang berat ingin segara dipejamkan.
Naskah pun selesai seiring suara ajan subuh berkumandang. Tinggal kukirim lewat email ke alamat panitia. Tapi… gawat, jaringannya lambat. Loadingnya lama. Untuk membuka akun email-ku saja lama sekali. Aku menunggu dan terus menunggu, hingga akhirnya tak sadarkan diri, entah apa yang terjadi kemudian.