Teori-Komunikasi yang Relevan
Sejumlah teori komunikasi politik menjelaskan terjadinya pencitraan politik di media sosial. Salah satu teori tersebut adalah Teori Spiral Keheningan oleh Elisabeth Noelle-Neumann. Hipotesisnya menyatakan bahwa orang cenderung diam atau menyembunyikan pendapatnya jika mereka menganggapnya tidak populer dan bertentangan dengan tren yang ada. Contoh umum dari hal tersebut, dalam media sosial, adalah "efek ruang gema" (echo chamber effect) Â misalnya individu menjadi lebih komunikatif terhadap pemikir politik yang serupa, dibandingkan meremehkan orang lain yang tidak memiliki keyakinan politik yang serupa.
Kesimpulan
Media sosial memberikan peluang baru untuk mengembangkan brand politisi secara lebih cepat, langsung, dan dalam skala yang lebih luas, sehingga menciptakan perubahan dalam komunikasi politik Indonesia. Hal ini juga membuktikan bahwa komunikasi politik pada dekade sekarang dapat dilakukan kepada lebih banyak orang melalui platform media sosial tertentu seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Media sosial memungkinkan mereka untuk menonjolkan sisi kemanusiaan mereka, kedekatan mereka dengan masyarakat, dan membangun reputasi mereka sebagai pemimpin yang mudah didekati dan penuh perhatian. Sebuah senjata yang berguna untuk memenangkan simpati dan dukungan; citra pribadi yang baik lebih mudah menarik dibandingkan ideologi dan program politik yang abstrak atau lebih teknis.
Namun, sisi sebaliknya dari fenomena ini tetap ada meskipun visual memungkinkan politisi untuk lebih dekat dengan masyarakat: sebuah gambar, yang sering kali terlalu dipoles atau dibesar-besarkan, dapat mengungkapkan pemahaman bahwa para pejabat lebih mengkhawatirkan opini publik dan perasaan populer dibandingkan apa yang mereka pikirkan. kebijakan sebenarnya mengatakan. Terlebih lagi, para politisi seringkali lupa bahwa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat adalah program politik yang akan mereka laksanakan, bukan citra yang mereka bangun. Misalnya, beberapa iklan tidak menekankan jawaban terhadap permasalahan besar masyarakat Indonesia, seperti lapangan kerja, pendidikan, dan perekonomian.
Namun penggunaan media sosial juga meningkatkan perpecahan politik di Indonesia. Ide-ide yang dihasilkan oleh beberapa lingkaran pertemanan dapat dengan mudah menciptakan polaritas di dunia maya karena percakapan media sosial seperti itu sering kali hanya memperkuat bias atau keyakinan sebelumnya dan tidak pernah memberikan peluang untuk pertukaran pandangan yang konstruktif. Selain itu, diskusi politik sering kali dihiasi dengan ujaran kebencian, serangan personal, dan penyebaran hoax sehingga menimbulkan ketegangan yang merugikan hubungan kelompok sosial dan juga menghambat proses demokrasi. Penggunaan media sosial untuk menciptakan citra yang tidak didasarkan pada sesuatu yang nyata atau substansial hanya akan meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik dan politisi.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa teknologi digital, bahkan dengan perkembangan dan evolusinya, pencitraan politik yang baik berkaitan dengan keseimbangan: bagaimana mengkomunikasikan kebijakan dan program yang jelas, memberikan solusi, dan mengembangkan hubungan pribadi yang nyata dalam masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan media sosial yang bertanggung jawab oleh para politisi, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap demokrasi di masa depan. Citra transparansi, kejujuran, dan substansi akan melahirkan hubungan yang lebih baik antara masyarakat dan politisi. Di sisi lain, menonjolkan citra dan memanipulasi opini hanya akan semakin memperdalam perpecahan dan melemahkan demokrasi Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI