Mohon tunggu...
Hafidz Nafi Maula
Hafidz Nafi Maula Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dari Ilmu Komunikasi. Hobi makan dan minum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Media Sosial sebagai Arah Baru Poilitik Indonesia: Pencitraan dalam Era Digital

27 Desember 2024   13:11 Diperbarui: 27 Desember 2024   13:11 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Media sosial dan teknologi digital memberikan dampak yang besar pada hampir seluruh aspek kehidupan saat ini, termasuk kehidupan politik. Indonesia selalu menjadi negara yang dinamis dan dinamis secara politik, dan media sosial telah menjadi alat penting bagi politisi dan partai politik untuk membangun citra mereka, menarik perhatian, dan membentuk opini publik. Praktik branding politik di era media sosial  di platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok  mendapat tempat dalam diskusi tentang demokrasi, polarisasi politik, dan hubungan antara masyarakat dan politisi.

Pencitraan Politik di Era Sosial Media

Branding dalam politik tentu bukan hal baru dalam politik Indonesia. Secara tradisional, para politisi menggunakan segala cara yang mungkin untuk menciptakan citra positif di kalangan masyarakat melalui pidato, penampilan di media, dan kampanye yang terkoordinasi. Sejak media sosial muncul, gambaran ini telah berubah secara signifikan. Melalui Instagram, Twitter, dan TikTok, para politisi kini memiliki lebih banyak fasilitas untuk menjangkau lebih banyak orang secara langsung, terutama meningkatnya jumlah populasi muda, yang semakin hari semakin bertambah, dan melakukan interaksi secara online. Citra di media sosial ternyata menjadi salah satu senjata utama untuk melibatkan masyarakat dalam opini publik.

Instagram: Memanipulasi Visual untuk Kedekatan Emosional

Instagram kini menjadi salah satu tempat terbaik bagi politisi untuk mengembangkan citranya karena format visualnya yang banyak. Citra seorang politisi di bidang politik mencakup kepribadian publik dan perkataannya. Gambar politisi yang berinteraksi dengan masyarakat secara tatap muka, terlibat dalam acara sosial, atau berbagi momen kemanusiaan sering kali digunakan untuk menyampaikan rasa kedekatan dan kepedulian. Politisi yang sering membagikan foto dirinya di lingkungan sosial atau sehari-hari biasanya dianggap lebih mudah didekati dan didekati.

Misalnya, pejabat Indonesia sering menggunakan Instagram untuk menampilkan perjalanan mereka ke lokasi yang jauh untuk bekerja, kehadiran mereka di acara-acara komunitas, atau momen pribadi mereka, seperti menghabiskan waktu bersama keluarga atau pergi ke tempat ibadah. Mereka berusaha menampilkan citra sebagai "pemimpin yang peduli" dan terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat melalui gambar atau video tersebut. Gagasan bahwa politisi hanya berinteraksi dengan masyarakat pada waktu-waktu tertentu atau ketika pemilu sudah dekat, secara efektif terhapuskan oleh hal ini.

Politisi juga dapat membagikan cerita pribadi mereka melalui Instagram. Dengan kemampuan menambahkan teks yang menyampaikan pesan atau permintaan tertentu, politisi dapat memusatkan perhatian pada apa yang ingin mereka komunikasikan di luar gambar itu sendiri. Menambahkan filter atau efek lain ke foto membantu menyempurnakan gambar yang diinginkan; pada saat yang sama, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang validitas gambar yang dibuat melalui media ini.

Twitter: Menyampaikan Pesan Cepat dan Langsung

Berbeda dengan fokus visual Instagram, Twitter memungkinkan politisi menjangkau pengikutnya dengan pesan teks yang singkat, jelas, dan padat. Tagar yang sedang tren (#) juga digunakan oleh politisi di Twitter untuk memantau perdebatan terkini, bereaksi terhadap peristiwa, dan mengungkapkan pendapat.

Kecepatan dan tempo Twitter memudahkan politisi membalas pernyataan atau klarifikasi mengenai topik yang sedang tren. Politisi dapat dengan cepat meredakan kritik, membersihkan mitos apa pun, dan memberikan pendiriannya di Twitter jika suatu topik kontroversial diliput oleh media. Kecepatan mungkin menjadi salah satu keuntungan besar terkait laju arus informasi online; oleh karena itu, hal ini memungkinkan para politisi untuk membangun cerita mereka lebih cepat.

Kecepatan juga memiliki beberapa kelemahan. Beberapa orang yang memposting sesuatu tanpa banyak pertimbangan biasanya cukup sering terlibat dalam kontroversi atau ingkar janji. Tweet yang terdistorsi atau disalahpahami di Twitter dapat merusak reputasi politik seorang politisi. Jadi, meskipun Twitter mengizinkan fasilitas komunikasi langsung, politisi harus tetap waspada saat memilih kata-kata dan menjawab pertanyaan.

TikTok: Menjangkau Generasi Muda dengan Kreativitas

Perusahaan yang terkenal dengan video pendek dan imajinatif ini semakin banyak digunakan oleh para politisi untuk menjangkau audiens yang lebih muda. TikTok akan memberikan kesan santai kepada para politisi ketika menyampaikan pesan-pesan politik kepada target mereka, dimana menjangkau mereka menggunakan metode kampanye politik konvensional melalui media cetak atau televisi bisa dibilang sedikit lebih sulit. TikTok memberi para politisi kebebasan berekspresi yang lebih luas dan bermain-main dengan format video yang menghibur sambil mempertahankan pesan politik mereka.

Terlepas dari kelebihannya, ada juga beberapa kesulitan yang bisa dibayangkan jika penggunaan TikTok untuk tujuan politik. Meskipun platform ini mungkin membantu para politisi untuk menjangkau khalayak yang lebih luas secara lebih efektif, platform ini juga dapat menurunkan kualitas diskusi politik dengan menjadikan politik di media sosial hanya tentang hiburan atau topik-topik ringan. Daripada berfokus pada apa yang ada dalam kebijakan dan memberikan jawaban atas isu-isu terkini, hal ini lebih pada popularitas dan citra diri saya. Hal yang terakhir ini pada akhirnya dapat memperburuk demokrasi dan mengubah politik menjadi sebuah hiburan.

Strategi Pencitraan dan Pengaruhnya terhadap Persepsi Publik

Teknik pencitraan media sosial ini dapat menjadikan persepsi masyarakat terhadap politisi berdasarkan pendekatan pencitraan media sosial ini. Salah satu ciri politik yang paling penting untuk mendapatkan penerimaan dan dukungan adalah merek atau reputasi politik. Media sosial memberikan penggunanya kemampuan untuk "memanipulasi" foto-foto tersebut dengan berbagai cara yang dapat disesuaikan dengan jenis audiens yang dilihat.

Mereka kerap memotret acara-acara sosial, pertemuan dengan masyarakat biasa, dan kunjungan ke tempat-tempat terpencil. Kebanyakan politisi berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah manusia agar tidak dipandang sebagai anggota kelas politik. Taktik ini ditujukan pada orang-orang yang berada di pinggiran kekuasaan.

Namun pencitraan ini tidak selalu berhasil dengan baik. Karena penekanan media sosial pada citra diri dibandingkan konten atau kebijakan politik yang dipromosikan, citra di media sosial sering kali terasa palsu atau berlebihan, kata para kritikus. Hal ini mungkin membuat pemirsa mempertanyakan seberapa besar kepedulian politisi terhadap masalah masyarakat yang tercermin dalam visual ini. Selain itu, alih-alih menunjukkan rekam jejak atau pencapaian nyata dalam menjalankan pemerintahan, gambaran ini cenderung menciptakan kesan palsu mengenai hubungan sosial dan emosional.

Dampak terhadap Polarisasi Politik

Polarisasi dalam politik Indonesia juga terjadi bersamaan dengan meningkatnya pencitraan politik di media sosial. Media sosial, yang awalnya dirancang untuk mempertemukan orang-orang yang berbeda pandangan, sering kali justru menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Hal ini terutama terjadi ketika para politisi menyebarkan narasi yang memecah belah atau menggunakan media sosial untuk mencemarkan nama baik lawan politik mereka. Politisi yang menikmati pengikut media sosial dapat dengan mudah menyampaikan pesan-pesan yang meningkatkan ketegangan dan mengusulkan "musuh bersama."

Foto media sosial hanya akan memperburuk keadaan. Dalam memobilisasi kelompok tertentu atau menjelek-jelekkan pesaing politik, politisi yang mendasarkan karier politiknya lebih pada popularitas dan citra diri dibandingkan percakapan politik yang lebih dalam sering kali menghasilkan kepribadian yang memecah belah. Alih-alih berfokus pada siapa yang memiliki solusi konkrit terhadap permasalahan mendesak di negara ini, politik sering kali berubah menjadi kontes popularitas media sosial.

Sementara itu, alih-alih menciptakan lingkungan yang inklusif dan produktif, polarisasi ini malah memecah belah dua kelompok, sehingga merugikan demokrasi. Selain itu, perpecahan yang semakin besar dapat memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap individu dan partai politik tertentu, sehingga akan menurunkan standar keterlibatan politik.

Teori-Komunikasi yang Relevan

Sejumlah teori komunikasi politik menjelaskan terjadinya pencitraan politik di media sosial. Salah satu teori tersebut adalah Teori Spiral Keheningan oleh Elisabeth Noelle-Neumann. Hipotesisnya menyatakan bahwa orang cenderung diam atau menyembunyikan pendapatnya jika mereka menganggapnya tidak populer dan bertentangan dengan tren yang ada. Contoh umum dari hal tersebut, dalam media sosial, adalah "efek ruang gema" (echo chamber effect)  misalnya individu menjadi lebih komunikatif terhadap pemikir politik yang serupa, dibandingkan meremehkan orang lain yang tidak memiliki keyakinan politik yang serupa.

Kesimpulan

Media sosial memberikan peluang baru untuk mengembangkan brand politisi secara lebih cepat, langsung, dan dalam skala yang lebih luas, sehingga menciptakan perubahan dalam komunikasi politik Indonesia. Hal ini juga membuktikan bahwa komunikasi politik pada dekade sekarang dapat dilakukan kepada lebih banyak orang melalui platform media sosial tertentu seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Media sosial memungkinkan mereka untuk menonjolkan sisi kemanusiaan mereka, kedekatan mereka dengan masyarakat, dan membangun reputasi mereka sebagai pemimpin yang mudah didekati dan penuh perhatian. Sebuah senjata yang berguna untuk memenangkan simpati dan dukungan; citra pribadi yang baik lebih mudah menarik dibandingkan ideologi dan program politik yang abstrak atau lebih teknis.

Namun, sisi sebaliknya dari fenomena ini tetap ada meskipun visual memungkinkan politisi untuk lebih dekat dengan masyarakat: sebuah gambar, yang sering kali terlalu dipoles atau dibesar-besarkan, dapat mengungkapkan pemahaman bahwa para pejabat lebih mengkhawatirkan opini publik dan perasaan populer dibandingkan apa yang mereka pikirkan. kebijakan sebenarnya mengatakan. Terlebih lagi, para politisi seringkali lupa bahwa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat adalah program politik yang akan mereka laksanakan, bukan citra yang mereka bangun. Misalnya, beberapa iklan tidak menekankan jawaban terhadap permasalahan besar masyarakat Indonesia, seperti lapangan kerja, pendidikan, dan perekonomian.

Namun penggunaan media sosial juga meningkatkan perpecahan politik di Indonesia. Ide-ide yang dihasilkan oleh beberapa lingkaran pertemanan dapat dengan mudah menciptakan polaritas di dunia maya karena percakapan media sosial seperti itu sering kali hanya memperkuat bias atau keyakinan sebelumnya dan tidak pernah memberikan peluang untuk pertukaran pandangan yang konstruktif. Selain itu, diskusi politik sering kali dihiasi dengan ujaran kebencian, serangan personal, dan penyebaran hoax sehingga menimbulkan ketegangan yang merugikan hubungan kelompok sosial dan juga menghambat proses demokrasi. Penggunaan media sosial untuk menciptakan citra yang tidak didasarkan pada sesuatu yang nyata atau substansial hanya akan meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik dan politisi.

Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa teknologi digital, bahkan dengan perkembangan dan evolusinya, pencitraan politik yang baik berkaitan dengan keseimbangan: bagaimana mengkomunikasikan kebijakan dan program yang jelas, memberikan solusi, dan mengembangkan hubungan pribadi yang nyata dalam masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan media sosial yang bertanggung jawab oleh para politisi, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap demokrasi di masa depan. Citra transparansi, kejujuran, dan substansi akan melahirkan hubungan yang lebih baik antara masyarakat dan politisi. Di sisi lain, menonjolkan citra dan memanipulasi opini hanya akan semakin memperdalam perpecahan dan melemahkan demokrasi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun