Mohon tunggu...
hanny kurnia
hanny kurnia Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Political Science. Part time blogger.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kemelut Pola Relasi Bisnis dan Partai Politik

21 Oktober 2019   20:00 Diperbarui: 21 Oktober 2019   20:05 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanny Kurnia

Mahasiswa 17 Agustus 1945 Jakarta

Pembangunan ekonomi di Indonesia merupakan bagian besar dari keputusan ekonomi politik. Bukan lagi menjadi suatu rahasia umum apabila pelaku usaha atau bisnis di Indonesia, menginginkan juga sebuah korelasi dengan politik, yaitu adanya kebijakan yang menguntungkan para pelaku usaha, akan tetapi para pelaku usaha justru tidak jarang juga terjerat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme karena kepentingan bisnisnya.

Tidak jarang dikarenakan kepentingan bisnis melahirkan sebuah pola relasi menjadi politik kartel hingga partai kartel yang wujud di Indonesia diyakini sebagai sumber utama terjadinya korupsi politik yang melibatkan elit politik Indonesia. Tidak adanya sistem check and balance yang berkelanjutan dalam sistem pemerintahan di Indonesia akan memberikan peluang yang besar bagi terus berlakunya praktik korupsi politik di pemerintahan dan parlemen, hal ini terjadi untuk memenuhi kepentingan kelompok partai kartel akan sumber dana yang bergantung kepada negara sehingga menjadikan korupsi sebagai jalan pintasnya.

Partai politik terkadang tidak lepas dari kebutuhan pendanaan pada saat berkampanye. Keterlibatan politik dengan bisnis menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan begitu saja, para pelaku bisnis terkadang juga berkecimpung dalam politik, yang tidak lain adalah Money and Power, yaitu uang dan kekuasaan. Menurut Budiardjo (1982:8), politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Sedangkan definisi dari bisnis adalah organisasi yang menyediakan barang dan jasa dengan tujuan mencari profit (Griffin, 2007: 4). Jadi dapat disimpulkan bahwa objek dari politik adalah negara maka objek dari bisnis adalah perusahaan.

Bisnis dan politik menjadi persahabatan yang begitu erat, ditambah dengan pemangku jabatan yang berasal dari partai politik sekalipun juga berasal dari kalangan professional pengusaha. Di dalam politik, tidak lagi jadi hal lazim dalam kehidupan politik, dan menjadi realitas politik yang sesungguhnya bahwasanya berpolitik pun melingkupi 3 hal utama untuk berpolitik [1] yaitu:

Cost of Entry : biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti ajang politik terutama biaya dalam berkampanye dalam pileg, pilkada dan juga pemilu.

Probability In Election : kemungkinan dalam perolehan suara. Misalnya dengan biaya sekian , berapa persentase atau seberapa besar kemungkinan untuk memperoleh kemenangan dalam pileg, pilkada atau pemilu.

Beneficial : yaitu faktor-faktor keuntungan dari sekian banyak biaya yang dikeluarkan dan memikirkan secara immaterial seberapa besar kemungkinan menang.

Hingga pada akhirnya ketika dalam panggung politik, pencalonan memperoleh suara kemenangan dalam kontestasi pemilu, maka terjadi sistem mutualisme didalam nya, yang dimana didalamnya juga didukung oleh sokongan dana para pelaku usaha, himpunan para pengusaha. Interest group yang begitu besar dari kalangan pengusaha dan pelaku bisnis, menjadi tolak ukur independensi yang terpilih dalam pencalonan legislative, eksekutif dan kepala daerah.

Sumber utama untuk dapat memperoleh modal keuangan yang besar bagi partai politik didapatkan melalui usaha mereka untuk mendapatkan kedudukan dalam lembaga pemerintahan. Oleh karena itu, saat ini kelompok oligarki tidak lagi memainkan peranannya di luar pemerintahan, tetapi mulai mengatur negara langsung ke dalam lembaga-lembaga negara melalui partai politik dan dari dalam sistempemerintahan, secara perlahan mereka mulai membentuk sebuah kelompok yang lebih matang untuk mempertahankan kekuasaan yang mereka capai, yaitu partai kartel.

Kartel politik yang menjelma sebagai koalisi partai politik menjadi sebuah sistem yag melindungi dan mendukung penyalahgunaan kekuasaan oleh elit partai di pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga ataupun instansi yang memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengendalikan pemerintahan hanya menjadi sebuah simbol bagi terciptanya demokrasi yang sebenarnya hanyalah demokrasi semu.

Pola relasi antara bisnis dan politik menjadi titik awal munculnya politik kartel menjadi terbentuk karena adanya praktik dari partai politik kartel. Partai politik kartel terbentuk karena adanya karena adanya kepentingan individu dari masing-masing anggota partai politik kartel.

Politik kartel terbentuk karena adanya keterpaduan antara bisnis dan politik yang dapat membentuk suatu praktik-praktik rent seeking/rent seeker hingga monopoli perdagangan. Dimana pelaku bisnis berkecimpung di bidang politik, dan begitupun politik yang bersimbiosis mutualisme membutuhkan pendanaan yang besar.

Para pelaku politik kartel memahami betul jika setiap keputusan politik dan kebijakan publik dapat mempengaruhi kepentingan bisnis dan situasi kondisi ekonomi politik di Indonesia. Politik kartel membentuk suatu perkongsian yang ekstrim hingga dapat menimbulkan monopoli harga dan monopoli perdagangan di Indonesia dengan sistem koalisi.

Tidak jarang, dari praktik politik kartel sendiri membentuk suatu pola relasi antara bisnis dan politik yang rentan akan monopoli harga dan perdagangan juga rentan akan korupsi politik yang transaksional. Dalam praktek rent seeking dapat menimbulkan dampak oligarki juga pemerintah yang patrimonial, para pelaku bisnis tidak lain seperti bayangan dalam pemerintahan, yang memiliki pengaruh yang begitu besar, karena ada nya kondisi saling menguntungkan yang juga besar-besaran. Hingga pada praktek rent seeking yang menjalar begitu luas menyebabkan sistem pemerintahan yang bad governance.

Fenomena rent seeking pada saat ini , mungkin lebih kenal sebagai perantara atau para makelar proyek pengadaan pemerintah dalam bentuk barang atau jasa. Oknum pemerintahan pun terlibat dalam zona politik yang tak beretika. Tindakan yang dilakukan tidak jarang seperti commitment fee yang diterima oleh oknum penguasa oleh para pelaku usaha yang berperan sebagai makelar proyek atau rent seeker.

Motif terselubung para rent seeker dan rent seeking adalah dengan mendirikan perusahaan yang menyelendup masuk dalam pengadaan barang dan jasa, dengan harapan para oknum penguasa juga dapat memberikan ruang bagi mereka memperoleh pendanaan melalui APBN/APBD hingga dana lainnya yang berasal dari perekonomian negara. Melalui ketidakadaannya keterbukaan kontrak menjadi jalur permainan bagi ruang tikus untuk memuluskan praktek rent seeking dalam bisnis dan politik.[2]

Indonesia menjadi salah satu negeri terkorup di dunia, dan mencerminkan fenomena yang oleh Bank Dunia (dalam Tjokrowinoto, 2001:6) disebut bad governance dengan ciri-ciri: (1) Failure to make a clear separation between what is public and what is private, and hence a tendency to di vert public resources for private gain; (2) Failure to establish a predictable framework of law and government behaviour conducive to development, or arbitrariness in the application of rules and laws; (3) Excessive rules, regulation, licencing requirement and so forth which impede the finctioning of markets and encourage rent seeking; (4) Priorities inconsistent with development, resulting in misalocation of resources; (5) Excessisively narrowly based or non transparent decision making.

Indonesia telah mengalami bagaimana buruknya birokrasi hingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat dikarenakan oleh pola bisnis dan politik yang begitu kental dan menjadi hal biasa dalam keseharian para pelaku hingga menimbulkan benih pemikiran di zaman sekarang ini bahwasanya politik adalah suatu hal yang begitu keji dan kotor.

Pasca reformasi menjadi titik awal untuk membentuk suatu birokrasi yang lebih baik, ketika reformasi birokrasi saja tidak cukup untuk menuntaskan hal yang membudaya di Indonesia yaitu praktek rent seeking dengan sistem kolonialisme seperti upeti, yang sesungguhnya tidak ada bedanya dengan zaman sekarang seperti suap atau gratifikasi yang diberikan rent seeking kepada oknum penguasa, dan oknum penguasa menjadi tameng juga garda paling depan dalam memuluskan dahaga kerakusan para rent seeking.

Reformasi birokrasi dibutuhkan untuk menciptakan good governance melalui pencegahan hingga menuntaskan para rent seeking beserta dengan oknum penguasa. Good governance menjadi awal mula untuk membentuk suatu sistem pemerintah yang lebih baik. Penerapan sistem informatika di dalam birokrasi mempersempit ruang praktek rent seeker dan makelar proyek untuk memperoleh akses pada pendanaan, karena penelusuran melalui daring, dapat membuka pelaku usaha yang terlibat dalam monopoli perdagangan.

Good governance bercirikan sebagai berikut : ciri-ciri good governance meliputi hal-hal sebagai berikut : [3]
a) Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

b) Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.

c) Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.

d) Responsiveness. Lembaga-lembaga publik harus cepat tanggap dalam melayani stakeholder.

e) Consensus orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.

f) Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.

g) Efficiency and Effectiviness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).

h) Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

i) Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan.

REFERENSI

Sejarah Korupsi Soeharto Seri I,melalui ipusnas diunduhkan pada hari kamis tanggal 19 September 2019 pada pukul 1:41pm

wacana politik diunduhkan pada hari rabu tanggal 18 September 2019 pada pukul 7:53pm

UNY diunduhkan pada hari kamis tanggal 19 September 2019 pada pukul 12:50Pm

catatan kecil dalam seminar kesbangpol angkatan IV tahun 2019

icw-lkpp_mengawal_pbj_di_indonesia diunduhkan pada hari kamis tanggal 19 September 2019 pada pukul 1:33pm

USU diunduhkan pada hari kamis tanggal 19 september 2019

UNNES diunduhkan pada hari sabtu tanggal 28 September 2017 pada pukul 7:28 pm

peneliti-lipi-sebut-revisi-uu-kpk-ulah-kartel-politik diunduhkan pada tanggal 28 september 2019 pada pukul 7:31pm

korupsi-kementerian-dan-kartel-politik/ diunduhkan pada hari minggu tanggal 29 september 2019 pada pukul 8:32 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun