Ketika berkomitmen dengan pasangan, pertama kali yang kubahas, apabila tidak bisa hamil, memiliki keturunan, atau anak meninggal.
Mungkin, asal saja lelaki itu legowo, menerima ku apa adanya jika tidak bisa memiliki keturunan. Cinto Buto (cinta buta, istilah ku). Tapi sejak sedini mungkin, kujelaskan jika berkemungkinan menikah, lalu tak memiliki anak. Ketika itu usia ku 17-18 tahun.Â
Rupanya setelah menikah, permasalahan berkembang luas, pernah memiliki pasangan yang tidak ingin memiliki anak. Karena 'Cinto Buto' maka sempat menyetujuinya. Namun istilah Child free sepertinya tidak sesuai dengan diriku.
Dengan sekuat tenaga kukatakan diriku ingin punya anak, baik yang bisa kulahirkan sendiri atau jika tidak bisa melahirkan, tentunya aku akan mencari cara mengadopsi.
Akhirnya punya satu anak perempuan, pinter, cerdas, cantik, dan hiperaktif. Sekuat tenaga aku belajar dari nol bulan dan ia sebelum lahir, berusaha belajar, dari manapun untuk menjadi ibu dan orang tua yang baik.
Masih ingat kalkulasi biaya susunya saja 250 ribu rupiah perbulan hingga usia 5 tahun kala itu. Dengan ekonomi sulit, ikhtiar seorang ibu, dari doa, usaha dan bekerja ternyata Allah SWT selalu mencukupi.
Punya ayah, ada suami, tapi.. absurd, sebab kesalahan fatal perempuan sepertiku, berusaha tiada henti, atas nama cinta pada keluarga.Â
Sementara alam pikiranku berkecamuk, berkembang. Sudah lah, cukup satu saja, hingga anak tersebut yang berceloteh.
"Dinda teman ku sudah punya adik. Kom, aku cuma sendiri?"
Bom waktu dan egois anak perempuan pertama, cucu perempuan pertama, luar biasa tiap hari merengek.