Awal tahun 90an aku mulai kuliah di Kota Gudeg Yogyakarta, saat itu perdebatan batin untuk kuliah silih berganti mengenai pilihan jurusan. Sebetulnya enggan kuliah di Yogya kala itu, sebab lebih memilih kuliah di Palembang di kota kelahiran dan dekat dengan orang tua.
Pemikiranku juga lebih hemat di dekat orang tua dari pada kost di luar kota. Benar saja ketika sudah sampai di Yogya jauh lebih merepotkan lagi, banyak hal yang tak bisa terbayang di depan mata. Dan semua meleset dari yang dibayangkan, masuk jurusan kuliah yang tidak dikehendaki.
Tempat kost yang awalnya menumpang, terpaksa kost jauh semua aturan yang ditetapkan orang tua, beberapa perjanjian yang harus kutaati sebagai target menyelesaikan kuliah tepat waktu atau sebelum deadline orang tua.
Lewat masa orientasi untuk seorang seperti ku kuliah santai kujalani. Berkenalan dengan banyak teman di sekolah teknik, bisa dibayangkan kebanyakan lelaki.
Suatu hari aku berkenalan dengan Hilal mahasiswa jurusan elektro yang kulihat baik dan hangat, ukuran cewek-cewek teknik cukup ganteng dan rapi, daripada anak mesin atau geologi.
Pemuda asal Pati, Jawa Tengah yang tinggal di dekat pesantren Krapyak. Ia lebih dulu kuliah dibandingkan aku di sana, dan jauh lebih tua. Ketaatannya pada agama membuat aku semakin dekat.
Karena lingkungan tinggalku di tempat kost rata-rata orang Sumatera dan orang Indonesia timur, biasanya panggilan untuk lelaki yang lebih tua kupanggil abang. Saat berkenalan tak terlihat logat Jawa atau tampilan orang Jawa. Kupanggil saja abang. Setelah sekian lama berkenalan baru kutahu jika pemuda ganteng ini berasal dari Pati, Jawa Tengah.
Jaman itu belum ada handphone, masih telpon kabel biasa, mana pernah janjian untuk bertemu, hanya kebiasaan mempertemukan kami. Kebiasaan berjumpa di kampus dan perpustakaan, atau terkadang di kantin membuat kami semakin dekat.
"Mau makan mie ayam belakang kampus?"
"Hari ini kutraktir makan di sana, mau?"
Mie ayam legendaris yang dia tahu favorit ku yang susah menelan nasi menjadi tawaran menarik. Kusetujui tawarannya dengan mengganggukkan kepala.Â
Aku terkadang tanpa sadar memandangi punggungnya yang atletis 180 sentimeter, sebagai pemain band dan pemain basket. Kusadari sebagai perempuan bertampang standar, tanpa dandan, sementara kampus ekonomi dan pertanian di sebelah kami berseliweran gadis-gadis wangi nan ayu penuh dandan.Â
Sementara ia betah bersama ku. Mahasiswi teknik dengan jeans robek di kulit, bersepatu kets biru lusuh sewarna dengan celana belel, tas kanvas jahitan sendiri, memegang banyak diktat dan buku seni dan budaya yang tidak ada hubungannya dengan sekolah teknik. Rambut dikuncir asal sebahu, dengan kemeja kotak-kotak. Jauh dari dandan cantik di balik minus kacamata 2.5 kala itu.
Mall bukan jadi tempat favorit ku meski saat itu sudah ada mall dan plaza. Ia sering menemukanku sedang asyik di Taman Dari, atau di pengrajin batik yang saat waktu luang kupelajari batik dan kerajinan di sebuah cerita terpencil di Ngasem. Atau aku belajar ke Desa Kasongan untuk membuat keramik. Waktu luang di sela kuliah kupakai mencari celah lain untuk mencari uang. Saat itu uang saku yang kukantongi lebih dari cukup Rp 250.000,- untuk kantong mahasiswa lebih dari cukup rasanya. Kusisihkan mengambil kursus desain grafis yang saat itu.Â
Aku jarang menemani Bang Hilal nge-band atau main basket. Justru ia yang sering menemani latihan renang anak-anak di IKIP Yogya (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta). Bang Hilal tahu, bahwa aku pelatih renang pemula.Â
Semakin hari ketertarikan padaku, membuatnya terikat mengantar dan menjemputku kuliah. Padahal ia paham bahwa awal pertemanan selalu kutolak. Ia sering melihatku enggan naik bis, tapi jalan kaki keluar masuk jalan tikus sekalian latihan jalan alasanku.Â
"Sehari kamu jalan kaki, latihan lari dan renang cukup jauh Non."
Aku cuma terkekeh, sebab ia tidak pernah kuceritakan latihan ketiga olahraga itu setiap hari saat masih di dekat bapak. Awalnya cuma untuk menghindari asthma, tapi jadi candu.
Rupanya Bang Hilal lambat laun tidak melepasku, terang-terangan ia mengungkapkan keseriusannya yang tidak pernah kutanggapi serius. Dan dengan keyakinan juga bahwa aku menyukainya.
Setiap mudik ke Palembang ia selalu was-was aku tidak kembali ke Yogya. Dan sudah pasti ia rutin menelpon supaya aku pulang. Setelah ia bekerja di perusahaan elektronik dan Nyambi main musik di hotel-hotel semakin berani ia mengikatku lebih erat.
Beberapa kali ke Pati dikenalkan pada keluarga dan teman-temannya. Pada orang tuanya ia mengatakan calon istrinya, tentang aku. Dan tak sekalipun mengelak.
Hingga di suatu Ramadhan aku pulang ke Palembang tanpa sebab yang jelas tidak kembali. Cuma aku yang tahu saat itu bersikap menjauhinya. Apalagi kuliahku selesai dan beberapa pekerjaan di Yogya kutinggal kan.Â
Bang Hilal tahu bahwa aku pulang mendadak, karena bapak sakit dan mamak tak bisa sendiri merawatnya. Aku sebagai anak tunggal sudah pasti harus merawat bapak. Padahal sakit bapak tidak parah, dan setelah seminggu perawatan sudah pulih.
Ada hal lain yang juga tak kuceritakan pada mamak dan bapak yang sudah tahu hubungan ku dengan Bang Hilal. Kebiasaan semua kupendam sendiri. Alasannya mereka tahu, aku bekerja di sebuah kontraktor di Palembang.
Hari itu mendekati lebaran Idul Fitri, dan mamak ribut dengan perseteruan informasi yang diterimanya tentang hari lebaran, kukatakan tunggu saja pengumuman di televisi dan radio.Â
"Mak tenang bae, gek kan ado pengumuman."
"Perhitungan hilal sudah nampak biasanya setelah Magrib dan berbuka ada pengumuman."
Perdebatan sengit kami hilang ditelan air. Mamak bisa dijelaskan, hanya saja ia was-was. Dan persiapan hidangan lebaran lebih awal sudah di stok di kulkas. Tinggal mengeluarkan dan dipanasi saja. Siang itu aku masih di tempat kerja dan mamak menelpon.
"Kau baleklah sudah sore."
"Si Hilal sudah nampak dan besok lebaran."
Ngotot tanpa goyah kalimat mamak ditelpon menyuruhku pulang. Kubatin, tidak mungkin pengumuman hilal siang seperti menjelang sore ini. Tapi tidak mungkin membantah cecar mamak yang berdesing di telinga. Kuikuti ucapannya dan berjanji pulang.Â
Sampai di rumah niat mengadu pada bapak, langsung menerobos rumah. Batinku tercekat pada yang kulihat.
"Bang Hilal sudah datang, Mak."
Dan akupun terpaku dengan lelaki yang kucintai, namun tidak pernah kuungkapkan. . Lesu menatap tanya yang tak mungkin kukatakan. Setelah pengumuman dari radio selepas Maghrib, bahwa esok lebaran. Perhitungan hilal sudah tampak dari informasi di radio.
Seusai takbiran, Bang Hilal mengajak ku keluar. Di sebuah tempat romantis ia memberikan sebuah kotak kecil, tanpa kata. Langsung dibuka, tampak sebuah cincin.
"Usai lebaran menikahlah denganku!"
Ucapan itu perintah, bukan tanya yang harus kujawab. Langsung aku mengatakan, penolakan, apalagi kutahu dari temannya, ia menemui Vicka dan sejak bekerja mereka dekat satu sama lain. Terkekeh ia membalas kumenjelaskan bahwa Vicka adalah saudara jauh.
Barulah ia menangkap kecemburuan dan alasan ku menjauhinya. Dengan beberapa rencana dan pembicaraan sebelum aku pulang. Rupanya bapak dan mamak ikut ambil bagian dari kejutan kedatangan Bang Hilal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H