Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

(Fiksi) Kisah Sarung Tajung dan Blongsong

14 Mei 2020   23:52 Diperbarui: 14 Mei 2020   23:55 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada sahutan kemenangan dari bapak. Tapi bapak dan bocah itu beradu pandang dan tersenyum nakal. Sebelum mengelar sajadah, dan memakai sarung keduanya berbisik dan terbahak. Melanjutkan shalat berjamaah, sebab mereka berdua takut ibu mencuri dengar percakapan tersebut. Aroma rencana nakal antara anak dan bapak terendus ibu. Meski ibu membiarkan saja hingga shalat usai dan Husain merapikan sajadah dan sarung yang dipakai.

Sarung Blongsong, koleksi pribadi
Sarung Blongsong, koleksi pribadi

Ibu pura-pura tidak tahu dengan bisik-bisik mereka, sibuk melipat beberapa sarung dan mukena sebagai ganti saat beribadah untuk keluarga kecil itu. Kalimat ibu tetap sama pada ketiga anaknya, sarung, sajadah dan mukena yang dipakai usai subuh harus dijemur, jangan lupa semprot peralatan shalat dengan desinfektan. Anak-anak sudah tahu demi kesehatan mereka. Dan seminggu sekali perangkat shalat harus di cuci.

"Ini sarung tenun dari kakek atau nenek?"
"Kenapa motif dan namanya berbeda-beda?"

Sebelum pertanyaan melebar, beberapa sarung tenun pemberian kakek dan nenek, dilipat rapi oleh ibu. Dahulu biasanya ada wewangian tradisional seperti kayu cendana, lerak sebagai pencuci, tapi sekarang ibu mencuci dengan shampo saja. Atau di angin-anginkan saja kain tenun ini.

Namanya Blongsong, kain tenun yang dijahit nenek menjadi sarung yang biasanya dipakai perempuan dan ada selendangnya. Satu lagi tenun Palembang ini bernama Tanjung dipakai laki-laki perbedaan motif laki-laki dari garis tegas dan lebih rapat, berbeda dengan motif perempuan yang lebih lebar jaraknya. Semua dijahit nenek menjadi sarung dengan teknik jelujur. Ibu memperlihatkan pada Husain perbedaan kedua sarung tenun dan jahitan tangan nenek. 

Sambil tersenyum ia pun berkata.

"Ajak aku nanti ke tukang tenun kain ini juga jika ke Palembang."
"Kakek dan nenek suka memakai kain sarung ini untuk shalat kah?"

Ibu menjawab bahwa sehari-hari biasa dipakai untuk shalat selain dahulu juga saat pergi hajatan memakai sarung. Bahwa kakek memiliki sejumlah koleksi sarung yang dipakai setiap hari, terutama jika beribadah ke masjid ia akan memakai sarung yang bagus dan wangi, berselempang sajadah di bahunya.

Saat Ramadhan, kakek lebih rajin lagi ke masjid. Ia sudah memasang alarm jam di atas lemari kecilnya untuk waktu-waktu shalat. Di kursi rotan sudah tersedia sajadah, sarung dan tongkat.

Meski ada nenek, kakek menyiapkan semua sendiri. Nenek hanya membantu menyiapkan sarung-sarung ke masjid dan untuk shalat pasti lebih bagus, dari pada yang dipakai sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun