Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Flashback untuk Berkaca

28 Februari 2020   22:40 Diperbarui: 28 Februari 2020   22:40 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponsel saat itu yang kugengam BlackBerry Gemini Amstrong, jadi kira-kira bisa tahu flash back atau kembali ke masa sekitar tahun berapaan.

Tapi aku sudah 50 % sembuhlah dari penyakit masa lalu. Jangan tanya metode penyembuhan diri sendiri yang sepertinya saya sudah gila. Meski lafal doa tak kunjung lepas, puasa, sholat, plus sholat sunnat, meditasi, yoga, wes pokoke embuh lah. Tahukah rasanya jadi dokter bagi diri sendiri, saat sudah hampir gila. Rasanya sendiri, mengurung diri, takut digunjingkan orang lain, dan dihantui rasa bersalah. Harusnya saat itu ada keluarga jadi peneduh rasa, nyatanya kenyataannya harus kututupi dari ibuku sendiri. Mencari cara, upaya yang paling halus untuk mengatakan. 

"Bu, anakmu saiki wes ora nduwe bojo."

"Bu, aku minta maaf, nyuwun ampun, gagal menjadi istri dan berumah tangga."

"Bu, anakmu sudah pisah dari suami dan kini cuma sama anak-anak."

Kala itu yang terpikir ibuku yang sepuh dan anak-anak. Selama hampir dua dekade aku merasa tersiksa, tapi tidak mampu mengakhiri. Dendam dan benci justru makin menumpuk lekat di pelupuk mata.

Diawal pernikahan sudah terlihat percikan api, rasa curiga, rasa dikucilkan keluarga suami, bahkan sayup-sayup terdengar beberapa rencana jahat saudaranya. Semua kutepis, kupandangi anak pertama yang masih di kandungan. Tekad untuk sekuat tenaga mempertahankan rumah tangga hingga titik darah penghabisan.

Hey... You... Nobody perfect. Tidak ada manusia yang sempurna. Untuk mempertahankan rumah tangga, tidak cukup satu kepala yang yang berjuang keras harusnya kedua belah pihak, saling terikat erat untuk bertanggung jawab mempertahankan.

Sejak awal tidak ada dorongan kuat lelaki itu untuk bertahan dan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga. Baginya bekerja, bertanggungjawab menafkahi keluarga adalah beban yang dia lemparkan ke istri. 

Hidup dari nol, dianggapnya istri dan anak tidak makan wes ora opo-opo. Dikasihani mertua terus berasa biasa saja. Cinta tidak cukup kuat jika tidak dikokohkan. Dan sebagai perempuan, si istri rela menutupi kekurangan-kekurangan suami dengan cara apapun. Atas nama cinta, gitu katanya. Rumah tangga, tidak cukup jika hanya cinta. Cinta itu saling, saling setia, saling menghargai, saling memiliki, dan banyak saling yang lainnya.

Pecahnya perang kedua setelah memiliki tiga anak, saat itu pikiran masih waras, keuangan sudah mapan, dengan berat hati kuceritakan pada bapak mertua, dan kakak mertua. Mohon petunjuk dan bantuan mereka untuk menjembatani pembicaraan, agar si suami tahu bertanggung jawab pada anak-anak dan istri. 

Nol besar ternyata, kalimat yang menusuk kalbu, adalah "masalah elu, itu derita elu."

Hebat keluarga itu, padahal setiap curahan hati mertua selalu kudengarkan dan kupatuhi. Mengurangi konflik, setiap bulan ada upeti buat keluarga suami yang ternyata biadab. Mereka tidak berempati sedikitpun pada masalahku.

Aku sendiri takut berbicara pada keluargaku, takut bayang-bayang keributan dan caci maki, sebagai perempuan yang tidak becus. Rupanya kerugian yang kuderita, baik tekanan fisik, psikologis dan keuangan memuncak. 

Harusnya saat itu baik buruk keluargaku harus tahu, harusnya saat itu aku ke ustadz, ke psikolog rumah tangga. Bukan tentang kandas atau tidak, tapi supaya aku tidak menjadi gila, up normal, dan paling penting anak-anak terselamatkan.

Si lelaki diajak berkomunikasi pun makin membumbung tingkat egoismenya. Ku putuskan meninggalkan rumah, membawa 4 anak. Menyewa di sebuah kontrakan kecil untuk memberikan shock therapy, gagal juga. Karena dimasuki perempuan lain yang menjalin hubungan dengannya melalui sosial media Facebook. Lelaki itu akhirnya pergi untuk selamanya. Ternyata lelaki itu memang doyan berpaling.

Wajarlah kalau harus ditinggalkan, setahun berpisah, kuputuskan menyelesaikan administrasi negara, supaya bisa legowo masing-masing.

Sendiri kulalui hari, bahkan aku berteriak kencang menangis setelah sidang. Tak ada yang menghibur.

Kau tahu rasanya kehilangan

Jangan tanya rapuh

Jangan tanya ditinggal mati atau hidup yang enak.

Setahun mengurung diri, ketakutan melihat orang, melihat matahari, kulalui dengan banyak menulis, banyak bekerja, banyak belajar, lalu kuatur langkah untuk sembah sujud pada Tuhan Allah Subhanahu waa ta'ala..

Matur minta maaf pada ibu baru di akhir 2017 lalu. Alhamdulillah ibuku memang baik. Ketika mulai bisa membuka diri, dan ditinggal kan kekasih yang kucintai, kurelakan hati yang tercabik.

Saat ini, jauh lebih ikhlas diatas semua prahara. Airmata dan doa menjadi teman kantuk bercerita. Melihat anak-anak tumbuh menjadi obat nelangsa.

Kukatakan pada lelaki yang dekat saat ini. Aku sudah ikhlas, karena tidak ada yang abadi. Meski cintaku membumbung tinggi. Jika tak cukup komunikasi, jika di sekitarku ada banyak perempuan muda yang lebih menarik, dan berambisi. Aku sudah ikhlas.

Lahat, 27 Februari 2020

note : terimakasih teman-teman Kompal, Kompasianer Palembang terutama, yang sering saya simak untuk belajar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun