Sejarah
Konsep zero waste terkait erat dengan praktik daur ulang. Meskipun daur ulang sekarang dianggap sebagai langkah terakhir dalam pendekatan zero waste modern, tanpa kebangkitan minat terhadap daur ulang, mungkin kita tidak akan berada pada tahap perkembangan seperti saat ini. Saat ini, para pendukung zero waste lebih berfokus pada pencegahan limbah daripada hanya mengelola limbah di akhir siklusnya. Namun, daur ulang tetap menjadi komponen penting dalam pendekatan ini. Meskipun praktik daur ulang sudah ada sejak awal peradaban manusia, investasi besar dalam industri daur ulang baru dimulai pada 1970-an. Saat itu, ada potensi penghematan energi dan biaya dengan mendaur ulang bahan seperti aluminium. Diiringi oleh munculnya gerakan ekologi dan Hari Bumi pada 1970, masyarakat mulai mempertimbangkan ulang pengelolaan limbah. Pada masa itu, plastik sekali pakai belum banyak digunakan, dan pembakaran limbah di insinerator dianggap sebagai solusi yang efektif untuk mengurangi limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Sejak saat itu, penelitian tentang perubahan iklim berkembang pesat, dan pendekatan zero waste mengalami pergeseran besar---dari sekadar pembakaran sampah menjadi fokus pada pengurangan dampak lingkungan dari seluruh rantai produksi dan konsumsi. Gerakan ini juga menyoroti praktik "sekali pakai" yang dianggap boros. Gerakan zero waste mulai berkembang pesat pada 1980-an dan terus mengalami kemajuan signifikan dalam 40 tahun terakhir. Perjalanan sejarah ini dapat disimak lebih lanjut dalam buku The Zero Waste Solution: Untrashing the Planet One Community at a Time karya Paul Connett.
Zero waste atau yang biasa disebut dengan gaya hidup bebas sampah bertujuan untuk meminimalkan jumlah sampah yang dihasilkan setiap harinya. Hal ini diharapkan dapat menjaga sumber daya dan melestarikan alam. Dalam gaya hidup ini menekankan untuk menghindari penggunaan produk sekali pakai.Selain bermanfaat untuk mengurangi sampah, gaya hidup zero waste memberikan beberapa manfaat seperti mengurangi pemanasan global, menghemat  pengeluaran, menjaga kesehatan, dan meningkatkan kreativitas. Konsep ini mengedepankan upaya untuk mengurangi volume sampah yang dihasilkan, baik di tingkat individu, komunitas, maupun industri.
Permasalahan sampah hingga sekarang sangat kompleks terutama di Indonesia dari penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan bahwa perilaku masyarakat yang kurang sadar terhadap pengelolaan sampah menjadi faktor utama meningkatnya volume sampah. Masukan sampah plastik ke lautan di seluruh dunia sekaligus menempatkan negara Indonesia sebagai penyumbang terbesar kedua pencemaran plastik. Sebagai negara terpadat keempat di dunia, kota dan kotamadya di Indonesia menghasilkan sekitar 105 ribu ton sampah per hari hingga jumlah yang diprediksi dapat meningkat sekitar 150 ribu ton pada tahun 2025, menurut proyeksi Bank Dunia. Terlepas dari upaya yang signifikan, 40% dari 142 juta penduduk perkotaan di negara ini masih belum memiliki akses ke layanan pengumpulan sampah dasar.
Gaya hidup modern mendorong manusia untuk terus menerus membutuhkan banyak barang. Tanpa kita sadari pembelian barang yang dilakukan terus menerus dapat menghasilkan sampah, apalagi barang sekali pakai. Aktivitas manusia semakin beragam setiap harinya, dan semakin banyak pula barang dan produk yang dibeli sehingga sampah yang dihasilkan sudah melebihi dari kemampuan alam untuk menyerapnya. Perairan sudah tercemar, serta miliaran ton tumpukan sampah yang dihasilkan manusia tidak bisa terurai atau didaur ulang. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah meluap dan tidak lagi bisa menampung timbunan sampah.Â
Dikutip dari Tempo.co, Kota Bandung dianggap berpotensi membantu pencapaian target pengurangan emisi karbon sesuai National Determined Contribution (NDC) yang telah ditetapkan. Aliansi zero waste Bandung, Indonesia melakukan pendekatan zero waste, pengurangan emisi karbon melalui pendekatan zero waste pada kota bandung sudah mencapai hampir 2 persen dari target NDC. Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) juga menyatakan sistem zero waste merupakan cara tercepat dan paling terjangkau untuk menghambat pemanasan global. "Bila Kota Bandung menerapkan teknologi termal berbasis sampah tercampur sebagai kebijakan utama, maka emisi karbon yang dihasilkan empat kali lebih besar dibandingkan pendekatan zero waste," kata Yobel Novian Putra, Climate and Clean Energy Campaigner dari GAIA Asia Pasifik. Teknologi termal berbasis sampah tercampur dapat menggunakan teknologi hidrotermal atau insinerasi yaitu teknologi konversi termokimia yang dapat mengolah sampah homogen atau campuran, termasuk sampah organik dengan kadar air tinggi. Teknologi termal berbasis sampah tercampur bekerja dengan cara mengubah sampah menjadi bahan bakar padat atau cair, kemudian membakarnya untuk menghasilkan energi yang kemudian dimanfaatkan untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik, basis teknologi seperti ini yang dimanfaatkan warga bandung untuk mengurangi emisi karbon.
Tantangan dan HambatanÂ
Penerapan konsep zero waste pada kehidupan sehari-hari memiliki tantangan dan hambatan tersendiri, baik di tingkat individu maupun komunitas. Beberapa tantangan utama yang dihadapi adalah sebagai berikut:
Kurangnya fasilitas daur ulang : Tidak semua wilayah memiliki fasilitas daur ulang yang memadai, akibatnya masyarakat kesulitan mengelola sampah dengan benar.
Budaya konsumsi sekali pakai : Kebiasaan menggunakan produk sekali pakai dan mudah pakai masih sangat tinggi, sehingga memerlukan waktu yang lumayan lama untuk mengubah kebiasaan tersebut.
Produk ramah lingkungan yang memiliki nilai ekonomi tinggi : Produk yang ramah lingkungan sering kali lebih mahal, sehingga menjadi kendala terhadap anggaran bagi sebagian orang.
Kurangnya edukasi dan kesadaran : Banyak orang belum memahami pentingnya zero waste dan dampaknya pada lingkungan. Rendahnya kesadaran ini membuat gerakan zero waste sulit diterapkan secara luas.
Infrastruktur yang kurang mendukung : Sistem pengelolaan limbah masih konvensional pada beberapa tempat, sehingga upaya masyarakat dalam zero waste tidak sepenuhnya didukung oleh infrastruktur kota atau pemerintah.
Produk dengan kemasan berlebihan : Banyak produk yang dijual dengan kemasan plastik berlebihan.Â
Kurangnya dukungan kebijakan : Dukungan kebijakan yang kuat akan sangat membantu khususnya dukungan kebijakan yang berasal dari pemerintah yang diharapkan dapat menginfluence masyarakat
Kesulitan mengubah gaya hidup : Perubahan menuju zero waste memerlukan penyesuaian gaya hidup dan kebiasaan yang sudah terbentuk bertahun-tahun, sehingga perlu kesabaran dan konsistensi.
Terdapat beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai bentuk pengimplementasian zero waste di kehidupan sehari-hari:
Mengurangi Penggunaan Plastik Sekali Pakai, dengan mengganti botol air, tas belanja, sedotan, dan peralatan makan plastik dengan alternatif yang dapat digunakan berulang kali, seperti botol kaca, tas kain, atau peralatan dari bahan stainless steel.
Membawa Wadah Sendiri, seperti membawa kantong belanja untuk mengurangi plastik kresek.
Membeli Barang Bekas atau Barang Berkualitas Tinggi, dengan memilih barang bekas yang masih bagus, atau beli barang baru yang tahan lama sehingga dapat mengurangi konsumsi barang sekali pakai atau yang cepat rusak.
Menghindari Produk dengan Kemasan Berlebihan, memilih produk yang dikemas seminimal mungkin atau yang memiliki opsi kemasan yang dapat didaur ulang.
Membuat Kompos dari Sampah Organik, menjadikan sampah dapur seperti sisa sayuran dan sisa makanan sebagai pupuk kompos. Selain mengurangi limbah, kompos juga bermanfaat untuk menyuburkan tanaman.
Menerapkan Prinsip 5R (Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot), dengan tegas untuk menolak barang yang tidak perlu (refuse), mengurangi pembelian (reduce), menggunakan barang berulang kali (reuse), mendaur ulang (recycle), dan membuat kompos untuk bahan organik (rot).
Membuat Produk Perawatan dan Pembersih Rumah Tangga Sendiri, seperti memproduksi pembersih dan perawatan yang dapat dibuat dari bahan-bahan alami seperti cuka dan soda kue. Ini mengurangi ketergantungan pada produk kemasan plastik.
Mengelola Pakaian dengan Bijak, dengan mengurangi kebiasaan membeli pakaian baru secara berlebihan. Daur ulang atau donasikan pakaian yang sudah tidak terpakai.
Menghindari Kertas dan Penggunaan Elektronik yang Tidak Perlu, menggunakan teknologi untuk mengurangi penggunaan kertas, seperti membuat catatan digital, atau memanfaatkan aplikasi untuk transaksi tanpa kertas.
Penerapan zero waste memiliki berbagai manfaat penting, baik bagi lingkungan maupun masyarakat secara umum. Beberapa manfaat utamanya seperti limbah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) bisa berkurang, dapat menghemat sumber daya alam, mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi polusi dan pencemaran, mendorong ekonomi sirkular, meningkatkan kesadaran lingkungan, menghemat biaya, dan masih banyak lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H