Pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfer dan lautan Bumi yang terjadi secara bertahap akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Fenomena ini utamanya dipicu oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil (misalnya, batu bara, minyak, dan gas alam), deforestasi, serta kegiatan industri yang menyebabkan peningkatan konsentrasi gas-gas tersebut di atmosfer. Pemanasan global menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini, dan upaya penanganannya memerlukan kerjasama global serta perubahan besar dalam cara kita memproduksi dan mengkonsumsi energi.
Dampak
Dampak pemanasan global menyebabkan peningkatan suhu rata-rata Bumi, yang mengarah pada perubahan pola cuaca. Hal ini meningkatkan risiko penyakit menular, seperti malaria dan demam berdarah. Peningkatan polusi udara dan bencana gelombang panas, banjir, hingga kekeringan yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, pemanasan global juga dapat menyebabkan dampak lainnya, seperti kelangkaan dan penurunan kualitas air, serta maraknya kebakaran hutan. Pada beberapa dekade terakhir, dampak panjangnya musim kemarau telah memicu banyak kasus kebakaran hutan meluas di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Bisa dibayangkan bagaimana kebakaran hutan akan terjadi ketika bencana kekeringan panjang berpadu dengan peningkatan suhu di bumi.
Kebakaran hutan dalam skala besar tidak hanya akan melenyapkan daratan hijau dan ekosistem di dalamnya tetapi juga memicu bencana asap, Â pencemaran air dan tanah secara global, hingga polisi udara. Polusi udara menjadi salah satu akibat dari pemanasan global, hal tersebut memberikan dampak signifikan terhadap kualitas udara. Suhu yang semakin meningkat mempengaruhi pola cuaca dan memperburuk polusi udara. Udara yang lebih panas mempercepat reaksi kimia antara polutan seperti nitrogen dioksida (NO) dan senyawa organik volatil (VOC), yang menghasilkan ozon troposfer atau ozon permukaan. Ozon ini berbahaya bagi kesehatan manusia karena dapat menyebabkan iritasi pernapasan, memperburuk penyakit asma, serta meningkatkan risiko infeksi paru-paru dan penyakit kardiovaskular.
Selain itu, pemanasan global menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan yang dapat mempengaruhi distribusi polutan udara. Misalnya, polutan dapat terperangkap di atmosfer dalam waktu yang lebih lama karena berkurangnya hujan yang biasanya membantu membersihkan udara. Fenomena ini, yang disebut "stagnasi atmosfer," dapat meningkatkan konsentrasi polusi di daerah tertentu dan memperburuk kualitas udara di wilayah tersebut.
Dampak ini tidak hanya terasa secara lokal tetapi juga global. Polutan seperti partikel halus (PM2.5) yang disebabkan oleh kebakaran hutan, polusi kendaraan, dan pembakaran bahan bakar fosil dapat terdistribusi oleh angin ke wilayah yang jauh, bahkan lintas negara. Ini menyebabkan peningkatan risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular di berbagai belahan dunia, terutama pada populasi rentan seperti anak-anak, lansia, dan mereka yang memiliki penyakit kronis. Secara keseluruhan, pemanasan global memperburuk polusi udara yang mengancam kesehatan manusia dan keberlanjutan ekosistem secara luas.
Jakarta adalah salah satu kota dengan tingkat polusi udara yang tinggi di dunia. Faktor-faktor penyebabnya antara lain tingginya jumlah kendaraan bermotor, pembakaran sampah, aktivitas industri, dan asap dari kebakaran hutan di daerah sekitar. Kualitas udara yang buruk ini mengandung polutan berbahaya seperti PM2.5 (partikel halus yang berdiameter lebih kecil dari 2.5 mikron), NOx, dan SO2.
Sebanyak hampir 2.000 anak-anak meninggal dunia setiap hari akibat masalah kesehatan yang berkaitan dengan polusi udara. Polusi kini menjadi faktor risiko terbesar kedua untuk kematian dini di seluruh dunia. Laporan Health Effects Institute yang berbasis di Amerika Serikat, Rabu (19/6) menunjukkan bahwa paparan polusi udara berkontribusi pada kematian 8,1 juta orang, sekitar 12 persen dari seluruh kematian, pada tahun 2021. Hal itu menjelaskan bahwa polusi udara telah melampaui penggunaan tembakau dan pola makan yang buruk, menjadi faktor utama kedua penyebab kematian dini, setelah tekanan darah tinggi.
Studi dari WHO dan UNICEF menunjukkan bahwa anak-anak sangat rentan terhadap polusi udara karena paru-paru mereka masih dalam tahap perkembangan dan mereka cenderung bernapas lebih cepat daripada orang dewasa, yang membuat mereka menghirup lebih banyak udara (dan polutan) relatif terhadap berat badan mereka. Beberapa konsekuensi kesehatan yang mungkin terjadi pada anak akibat polusi udara meliputi:
Penyakit pernapasan, seperti asma dan bronkitis
Penurunan fungsi paru-paru
Infeksi saluran pernapasan akut
Meningkatnya risiko kematian dini
Tantangan terbesar adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya polusi udara serta minimnya penegakan regulasi terkait emisi dari kendaraan dan industri. Dari kasus ini dapat dilakukan:
Kolaborasi multi-sektoral diperlukan untuk mengatasi polusi udara, termasuk partisipasi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Pendidikan dan kesadaran publik harus ditingkatkan untuk memotivasi perubahan perilaku, seperti menggunakan transportasi ramah lingkungan.
Pemantauan kualitas udara secara real-time dan transparan, agar masyarakat bisa mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan.
Solusi Pemanasan Global
Pemanasan global merupakan tantangan yang memerlukan tindakan nyata dari setiap individu dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan menghemat energi; matikan lampu dan perangkat elektronik saat tidak digunakan, serta beralih ke lampu LED yang lebih efisien. Selain itu, penggunaan transportasi berkelanjutan, seperti menggunakan transportasi umum, bersepeda, atau berjalan kaki, dapat membantu mengurangi emisi karbon. Pengelolaan sampah juga sangat penting; pisahkan sampah untuk daur ulang dan kurangi penggunaan plastik sekali pakai dengan memilih tas belanja yang dapat digunakan kembali. Di sisi lain, penggunaan air yang efisien, seperti mematikan keran saat menyikat gigi, juga berkontribusi dalam menghemat sumber daya. Dalam hal konsumsi makanan, membeli produk lokal dan mengurangi konsumsi daging dapat membantu mengurangi jejak karbon dari transportasi makanan. Edukasi dan kesadaran tentang isu lingkungan dapat ditingkatkan dengan berbagi pengetahuan dengan orang lain dan berpartisipasi dalam kegiatan komunitas, seperti bersih-bersih lingkungan atau penanaman pohon. Selain itu, memilih produk ramah lingkungan saat berbelanja dan menghindari bahan kimia berbahaya juga merupakan langkah yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H